Program Sarjana Terapan Belum Populer di Masyarakat
Konsep sarjana terapan belum begitu populer di masyarakat. Hal ini harus menjadi pekerjaan rumah pemerintah.
Peningkatan atau upgrading program studi diploma 3 menjadi diploma 4 atau sarjana terapan pada pendidikan tinggi vokasi belum begitu dikenal publik. Sosialisasi yang lebih masif diperlukan agar tujuan membangun sumber daya manusia yang terampil dan kompetitif melalui pendidikan vokasi segera terwujud.
Menuju Indonesia Emas 2045, sejumlah lembaga memproyeksikan perekonomian Indonesia akan melesat. Hasil riset McKinsey Global Institute tahun 2016 menyatakan Indonesia memiliki potensi menjadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh dunia pada 2030.
Sementara ”The World in 2050” yang dirilis PricewaterhouseCoopers pada 2015 juga memproyeksikan ekonomi Indonesia akan mengalami kenaikan sangat signifikan, yakni dari urutan kesembilan menjadi keempat dunia.
Hal senada disampaikan Goldman Sachs, perusahaan bank investasi dan jasa keuangan multinasional asal Amerika Serikat, yang pada Desember 2022 memprediksi Indonesia masuk pada urutan keempat negara dengan ekonomi terbesar di dunia tahun 2050 di bawah China, Amerika Serikat, dan India.
Analisis optimistis terhadap masa depan perekonomian Indonesia itu membawa konsekuensi dukungan tenaga kerja terdidik dan terampil yang memadai. McKinsey Global Institute menyebutkan, tahun 2030 Indonesia membutuhkan 113 juta tenaga kerja terampil. Ironisnya, Indonesia masih kekurangan tenaga kerja terampil di bidangnya.
Dilaporkan bahwa tahun 2017 tenaga kerja terampil Indonesia hanya 57 juta orang. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil tahun 2030, artinya Indonesia membutuhkan suplai tenaga kerja terampil 3,7 juta per tahun.
Tak dapat dimungkiri, kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas dan terampil dalam bidangnya semakin mendesak. Keberadaan pendidikan vokasi menjadi instrumen penting di tengah kebutuhan sumber daya manusia tersebut di Tanah Air. Berbagai terobosan untuk pengembangan pendidikan vokasi pun terus dilakukan.
Salah satunya dengan meningkatkan level program studi (prodi) diploma 3 (D-3) menjadi sarjana terapan (D-4) untuk menyelaraskan kompetensi dan karakter mahasiswa dengan kebutuhan dunia kerja dan industri.
Dukungan diberikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Program Merdeka Belajar episode ke-11 pada Mei 2021, yaitu Kampus Merdeka Vokasi, yang mempunyai visi peningkatan integrasi pendidikan tinggi vokasi dengan dunia kerja guna menghasilkan lulusan yang lebih kompeten, produktif, dan kompetitif.
Dana kompetitif (competitive fund) sebesar Rp 90 miliar pun digulirkan, antara lain, untuk upgrading prodi D-3 menjadi D-4.
Setidaknya 113 surat keputusan izin pembukaan program studi sarjana terapan diterbitkan Kemendikbudristek melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi pada Program Competitive Fund Vokasi 2022. Diharapkan, dengan program itu, masyarakat semakin berminat untuk memilih pendidikan vokasi, khususnya prodi D-4.
Baca juga : Sarjana Terapan Menjawab Kebutuhan Industri
Belum terlalu dikenal
Hanya saja, transformasi prodi D-3 menjadi D-4 yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi lulusan pendidikan tinggi vokasi yang relevan dengan kebutuhan industri, baik pada tingkatan teknisi maupun manajerial, masih menghadapi tantangan karena belum dikenal secara luas oleh masyarakat. Paling tidak, ini terekam dari jajak pendapat Litbang Kompas kepada 508 responden di 34 provinsi pada 18-20 September 2023.
Hasil jajak pendapat memotret, mayoritas responden (81,3 persen) mengaku tidak tahu apa itu program sarjana terapan. Sementara 15 persen responden lainnya menyebut pernah mendengar dan hanya 3,7 persen yang tahu dan paham mengenai program sarjana terapan.
Potret kurangnya pengetahuan tentang perbaikan program pendidikan tinggi vokasi dari D-3 menjadi D-4 ini tergambar dari semua usia responden, baik yang berstatus sebagai calon mahasiswa maupun responden yang memiliki anak atau keluarga yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Mahasiswa mengikuti sesi pelajaran teori dengan alat peraga di dojo (kelas) di Akademi Komunitas Toyota Indonesia di Kawasan Industri KJIE, Margamulya, Kecamatan Telukjambe, Karawang, Jawa Barat, Selasa (14/3/2023).
Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah pemerintah mengingat transformasi D-3 menjadi D-4 merupakan salah satu upaya meningkatkan level lulusan diploma yang selama ini masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
Anggapan tersebut mulai dari kesan tidak bergengsi, kalah bersaing dengan lulusan S-1, hingga banyak lulusan D-3 yang setelah lulus melanjutkan lagi pendidikan ke jenjang S-1, juga dengan alasan untuk mendapat gelar.
Jajak pendapat Litbang Kompas pada Mei 2017 juga menegaskan hal tersebut. Hampir separuh dari responden yang tidak berminat memilih pendidikan tinggi vokasi berpendapat, pendidikan diploma adalah pendidikan yang ”tanggung” karena harus melanjutkan lagi jika ingin mendapatkan gelar sarjana.
Lulusan pendidikan diploma juga dianggap kurang bergengsi atau identik dengan gaji yang lebih rendah ketimbang lulusan S-1 (Kompas.id, 18/7/2017).
Baca juga : Pendidikan Diploma III Ditingkatkan Jadi Sarjana Terapan
Minat dan harapan
Upaya meningkatkan kelas dengan menyetarakan pendidikan vokasi hingga setara sarjana, bahkan bisa dilanjutkan hingga ke jenjang S-2 dan S-3, juga mendapat gelar, antara lain merupakan keunggulan program sarjana terapan. Bobot perkuliahannya juga sama dengan S-1. Bedanya, persentase praktik D-4 lebih banyak dibandingkan dengan teori.
Mahasiswa jenjang D-4 akan belajar kemampuan praktik yang dibutuhkan di dunia kerja, sekaligus pengetahuan lebih lengkap. Kecakapan ini merespons kebutuhan perusahaan-perusahaan akan individu dengan keahlian praktik.
Kurikulum D-4 juga bersinergi dengan dunia kerja dengan menyertakan industri, selain kuantitas mitra dunia kerja dan kualitas kemitraan juga bertambah. Dengan demikian, lulusan punya kualifikasi kompetensi lebih tinggi dan lebih mudah terserap dunia kerja.
Keuntungan bagi industri adalah akan mendapatkan lulusan yang lebih kompeten dengan skill yang kuat. Tidak hanya hard skill, tetapi juga soft skill karena tujuan dari sarjana terapan adalah memfasilitasi peserta didik untuk tidak hanya terampil di bidang yang dipelajarinya, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menjadi kreator, inovator, manajer, ataupun pemimpin.
Sejumlah keunggulan program sarjana terapan ini bisa menjadi daya tarik minat masyarakat untuk memilih pendidikan tinggi vokasi. Apalagi semakin banyak politeknik dan universitas bonafide yang membuka program tersebut.
Bahkan, semakin banyak prodi sarjana terapan yang bisa dipilih dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru. Pada Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri 2020, ada 70 prodi pada 8 politeknik negeri yang bisa dipilih.
Pada Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri 2021, sebanyak 351 prodi sarjana terapan ikut serta, yakni 298 prodi yang diselenggarakan politeknik serta 53 prodi yang diselenggarakan universitas, institut, dan akademi.
Dari jajak pendapat terlihat adanya perubahan minat memilih jalur pendidikan vokasi dengan adanya prodi D-4. Tujuh dari sepuluh responden menyatakan berminat, baik bagi dirinya sendiri maupun akan menyarankan anggota keluarganya untuk memilih pendidikan tinggi vokasi, khususnya prodi D-4. Meski demikian, masih ada sekitar 30 persen yang menyatakan tidak berminat atau tidak tertarik.
Sebagian besar responden (69 persen) beralasan karena belum paham dengan program sarjana terapan (D-4) tersebut.
Oleh karena itu, 26 persen responden dalam jajak pendapat ini mengharapkan pemerintah lebih gencar menyosialisasikan program sarjana terapan, bukan hanya kepada siswa, melainkan juga kepada orangtua agar lebih terbuka wawasannya, bahwa gelar sarjana juga bisa diraih melalui pendidikan tinggi vokasi.
Dengan meningkatkan popularitas program ini di masyarakat, diharapkan akselerasi kebutuhan akan tenaga kerja terampil dan berdaya saing menyongsong Indonesia Emas 2045 dapat terpenuhi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Pendidikan Tinggi Vokasi Didorong Berorientasi Internasional