Hari Otonomi Khusus Papua, Jalan Panjang Mencapai Sejahtera
Program otonomi khusus di Papua butuh perbaikan untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan.
Setelah berlangsung selama 22 tahun, pelaksanaan otonomi khusus atau otsus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua masih menemukan sejumlah tantangan. Sejumlah sektor krusial, seperti bidang pendidikan dan kesehatan, perlu mendapat penekanan prioritas untuk meningkatan capaian hasilnya.
Berlakunya otonomi khusus untuk Papua tersebut mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Selanjutnya, UU ini kemudian disempurnakan dan diubah melalui UU No 2/2021 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Undang-undang tersebut menjadi payung hukum yang kuat untuk mengimplementasikan sejumlah program guna membantu masyarakat Papua, khususnya orang asli Papua, demi mencapai taraf kesejahteraan yang lebih baik. Dengan demikian, secara bertahap masyarakat Papua akan sejajar dengan wilayah lainnya di Indonesia.
Hanya saja, kebijakan otsus yang sudah bergulir lebih dari 20 tahun itu masih memerlukan sejumlah catatan perbaikan. Salah satu indikasinya terlihat dari capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) wilayah Papua. IPM ini menjadi parameter penting untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum, terutama dari sisi kualitas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hingga kualitas kehidupan secara umum. Semakin tinggi angka IPM, maka kualitas kehidupan suatu masyarakat kian bermutu baik.
Pada 2004, IPM di Provinsi Papua mencapai besaran 60,9 dan Provinsi Papua Barat sebesar 63,7. IPM kedua provinsi ini berada di bawah IPM rata-rata nasional yang kala itu mencapai 68,7. Jika dihitung selisihnya, IPM Papua tertinggal 7,8 poin dan Papua Barat berada 5 poin di bawah IPM rata-rata nasional tahun 2004.
Baca juga: Otonomi Khusus Papua Belum Memberi Manfaat
Berselang 19 tahun kemudian pola ini masih sama. Data BPS tahun 2023 menunjukkan bahwa rata-rata IPM nasional sudah meningkat mencapai 74,39. Capaian IPM di wilayah Papua juga menunjukkan tren peningkatan. IPM Papua meningkat menjadi 63,01 dan Papua Barat naik menjadi 67,47. Bila dilihat selisihnya dengan tahun 2004, IPM nasional pada 2023 meningkat 5,69 poin. Sementara, peningkatan IPM Provinsi Papua sebesar 2,11 poin dan Papua Barat 3,77 poin.
Deskripsi data tersebut menunjukkan bahwa kualitas kehidupan di Papua mengalami peningkatan. Namun, kenaikan IPM wilayah Papua ini masih di bawah akselerasi peningkatan IPM nasional. Dengan melihat indikator pembentuk IPM, yaitu umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, serta standar hidup layak, beberapa poin yang harus ditingkatkan sebagai perhatian penting melalui kebijakan otsus itu ialah alokasi program terkait sektor pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Pandangan kaum muda
Pembenahan sektor-sektor tersebut menjadi harapan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Hal ini tidak terlepas dari pentingnya pembangunan sektor kesehatan, pendidikan, dan ekonomi di mata publik Papua, terutama bagi generasi muda Papua.
Pada Mei 2022, Litbang Kompas melakukan survei terhadap 400 responden di lima kota di tanah Papua yaitu Jayapura, Merauke, Sorong, Manokwari, dan Timika. Survei ini untuk menjaring pendapat kaum muda berusia 20-39 tahun untuk menilai pelayanan di bidang kesehatan dan pendidikan di Papua.
Hasil survei menunjukkan bahwa masalah kesehatan (23,7 persen) berada di peringkat pertama sebagai hal yang paling genting untuk segera diatasi di Papua. Selanjutnya, disusul oleh persoalan pendidikan yang oleh 21,7 persen responden dianggap harus segera dicarikan solusinya. Untuk permasalahan ekonomi menempati posisi ketiga dengan jumlah responden yang menyatakannya sebesar 14,9 persen.
Baca juga: Terobosan Papua Pegunungan Mengatasi Ketertinggalan Pembangunan Manusia
Khusus terkait soal pendidikan, sebagian besar responden muda Papua menilai akses edukasi masih relatif minim. Akses dan hak memperoleh pendidikan dipandang sebagai sesuatu yang masih timpang. Terdapat 45,4 persen responden yang menyatakan bahwan pendidikan di Papua belum adil dan belum merata.
Meskipun demikian, para generasi muda Papua tetap memiliki rasa optimistis yang tinggi. Ketika ditanya ”seberapa besar kakak merasa percaya diri dengan pendidikan yang sudah kakak capai saat ini dan kemampuan bersaing di dunia kerja dan usaha?”, sebagian besar menyatakan keyakinannya yang tinggi. Sebanyak 8 dari 10 responden anak muda meyatakan bahwa mereka merasa percaya diri akan mampu berkompetisi di ranah dunia professional.
Mewujudkan kesejahteraan
Persaingan di dunia kerja dan usaha akan semakin kondusif apabila situasi ekonomi di tanah Papua terus membaik dan berkembang. Sementara itu, untuk dapat mewujudkan masyarakat Papua yang mandiri secara ekonomi, perlu diwujudkan kondisi kesehatan dan pendidikan yang memadai. Oleh sebab itu, ketiga aspek ini harus dikembangkan secara bersamaan agar kesejahteraan masyarakat Papua meningkat.
Hasil survei Litbang Kompas juga mengungkapkan bahwa kebutuhan yang paling mendesak terkait bidang pendidikan di Papua adalah penyediaan sekolah gratis dan tenaga pendidik yang kompeten dengan jumlah memadai. Hal ini tidak terlepas dari fenomena angka putus sekolah di Papua. Angka putus sekolah ini menunjukkan proporsi anak menurut kelompok usia sekolah yang sudah tidak bersekolah lagi atau yang tidak menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu.
Data Indikator Pendidikan Provinsi Papua 2022 yang disusun BPS menunjukkan angka putus sekolah pada jenjang SD mencapai 2,38 persen, jenjang SMP 3,22 persen, dan jenjang SMA 0,83 persen. Dari data ini terlihat angka putus sekolah tertinggi di Papua ada pada jenjang pendidikan SMP. Kondisi ini menggambarkan dari 100 anak pada jenjang SMP yang sedang atau pernah bersekolah terdapat tiga anak yang putus sekolah.
Secara rinci, peneliti demografi Universitas Papua, Agus Sumule, pada September 2023 menyebutkan bahwa anak putus sekolah di Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya mencapai 314.606 anak. Adapun jumlah anak tidak sekolah di Papua Pegunungan mencapai 95.022 orang dan Papua Selatan 92.988. Sementara itu, jumlah anak yang tidak bersekolah di Papua Barat Daya sebanyak 31.216 orang (Kompas, 24/9/2023).
Baca juga: Berebut Dominasi dari Pemekaran Wilayah Papua
Fenomena anak putus sekolah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Ada yang disebabkan oleh faktor internal keluarga dan juga faktor eksternal yang terkait layanan pendidikan. Dengan kualitas layanan pendidikan yang baik, diharapkan tingkat angka partisipasi pendidikan akan semakin meningkat. Begitu juga sebaliknya, dengan layanan pendidikan yang rendah, maka hasrat untuk bersekolah generasi muda juga akan berpotensi akan surut.
Salah satu indikator untuk melihat tingkat layanan pendidikan itu adalah melalui kemajuan ekonomi yang disumbang oleh sektor pendidikan. Semakin tinggi kontribusi bidang pendidikan terhadap produk domestik regional bruto (PDRB), maka mengindikasikan belanja yang dikeluarkan untuk pos pendidikan semakin tinggi. Misalnya, semakin banyak masyarakat yang antusias mengeluarkan biaya untuk pendidikan bermutu dan banyak sekolah yang meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendidikannya.
Secara nominal angka, kontribusi pendidikan bagi PDRB wilayah Papua terus meningkat, tetapi laju peningkatannya cenderung fluktuatif dan mengecil. Pada tahun 2013, laju peningkatan PDRB sektor pendidikan di Papua Barat naik hingga 10 persen, tetapi pada tahun 2022 trennya melambat hingga tinggal 0,87 persen. Kondisi serupa juga terjadi di Provinsi Papua, di mana nilai ekonomi sektor pendidikannya pada tahun 2022 susut tinggal 0,05 persen. Padahal, satu dekade silam peningkatannya hampir 10 persen.
Ragam tantangan tersebut harus menjadi perhatian pemerintah baik pusat maupun daerah untuk meningkatkan mutu kehidupan masyarakat Papua. Selain memerlukan dukungan anggaran, upaya ini juga memerlukan sumber daya yang memadai. Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan bahwa 7 dari 10 responden berpendapat bahwa tenaga pendidik seperti guru dan dosen marupakan profesi yang sangat dibutuhkan di wilayah Papua. Begitu juga dengan tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya juga sangat diperlukan. Sekitar 57 persen responden menyatakan perlunya peranan tenaga medis bagi kemajuan Papua.
Oleh karena itu, Hari Otonomi Khusus yang diperingati setiap 21 November menjadi momentum untuk kembali mendorong semangat memajukan dan menyejahterakan Papua. Kebijakan otsus Papua jilid pertama yang berlangsung sejak 2001 hingga 2021 dengan kucuran dana Rp 104 triliun menjadi titik awal pembenahan mendasar di Papua. Pada otsus jilid kedua ini, diharapkan segala rencana yang diskenariokan bagi kemajuan Papua dapat direalisasikan. Harapannya, masyarakat Papua, khususnya orang asli Papua, dapat terus meningkat kualitas hidupnya sehingga mampu sejajar dengan masyarakat Indonesia lainnya, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi. (LITBANG KOMPAS)