Strategi Gerilya Hamas Menghadapi Peperangan Asimetris
Dalam sejarah konflik dunia, strategi gerilya justru memberikan peluang kemenangan bagi sejumlah peperangan asimetris.
Strategi gerilya menjadi ujung tombak peperangan untuk menghadapi kekuatan lawan yang tidak seimbang. Dalam sejarah konflik dunia, strategi nonkonvensional ini justru memberikan peluang kemenangan bagi sejumlah peperangan asimetris. Masifnya persenjataan dan alutsista tidak menjamin akan menaklukkan lawan dengan mudah, sekalipun musuhnya minim amunisi.
Kata gerilya berasal dari bahasa Spanyol guerilla yang secara harfiah berarti perang kecil. Taktik ini diyakini pertama kali dilontarkan oleh ahli militer China, Sun Tzu. Sun Zin atau Sun Tzu itu merupakan seorang Panglima Jenderal Militer China yang lahir sekitar tahun 551 SM dan wafat pada 479 SM. Ia dikenal sebagai seorang jenderal jenius juga seorang filsuf yang menuliskan gagasan perangnya lewat buku The Art Of War. Buku ini berisikan strategi militer yang sangat berpengaruh dalam dunia militer China serta diadaptasi oleh negara-negara lainnya.
Secara kemiliteran, perang gerilya itu tergolong operasi nonkonvensional. Manuver tempurnya menggunakan satuan-satuan yang relatif kecil dan menyasar daerah belakang (pusat) lawan. Operasi gerilya ini bertujuan untuk mengacaukan pertahanan dan merongrong kekuatan musuh sehingga menghindari kerusakan ataupun pelemahan kekuatan di kubu penyusup.
Operasi gerilya itu dapat berdiri sendiri ataupun dapat berkolaborasi dengan operasi militer konvensional yang mengerahkan kekuatan secara masif dan terbuka. Namun, umumnya perang gerilya muncul untuk mengimbangi lemahnya kekuatan konvensional yang dimiliki. Gerilya menjadi pilihan strategis karena persenjataan dan alutsista yang tersedia tidak mampu menahan gempuran lawan yang sangat kuat. Bersembunyi, mengintai, menjebak, dan menyerang secara mendadak pada saat lengah menjadi pilihan para gerilyawan untuk menggerogoti kekuatan lawannya.
Strategi gerilya tersebut saat ini juga digunakan para pejuang Hamas untuk menghadapi militer Israel yang sangat kuat. Terbukti, pertempuran kota di wilayah Gaza yang sudah berlangsung sekitar 50 hari itu belum juga mampu menaklukkan para pejuang Hamas. Bombardir serangan udara dan terjangan roket dari alutsista Israel selama pertempuran kali ini belum juga menundukkan para gerilyawan itu dengan mudah. Alih-alih membinasakan para pemberontak, serangan Israel itu justru menimbulkan korban sipil yang sangat banyak. Sudah lebih dari 15.000 jiwa tewas akibat konflik Hamas-Israel, sebagian besar korban tewas adalah anak-anak dan perempuan dari wilayah Palestina.
Baca Juga: Melacak Asal Muasal Senjata dalam Perang Gaza
Secara kalkulasi kekuatan senjata, Israel jauh melampaui kekuatan Hamas. Berdasarkan data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) dan buku The Military Balance 2023 (The International Institute for Strategic Studies/IISS), Israel Defense Force (IDF) atau tentara Israel memiliki alutsista yang sangat tangguh. Mulai dari pesawat tempur canggih multiperan, seperti F35, F16, dan F15; helikopter serbu Apache dan Black Hawk, hingga tank tempur kualitas wahid, Merkava. Selain itu, IDF juga masih memiliki beberapa jenis kendaraan tempur lapis baja serta peluncur roket berdaya hancur tinggi. Di matra laut, Israel memiliki sejumlah kapal perang permukaan dan kapal selam berteknologi mutakhir. Peluru atau hulu ledak yang dipasang pada sejumlah sejumlah alutsista tersebut dilengkapi teknologi pemandu yang terkoneksi satelit sehingga memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi terhadap target yang ditentukan.
Di kubu lawan, persenjataan Hamas bagaikan rival tak sebanding bagi kekuatan militer Israel. Dari data SIPRI itu terlihat bahwa Hamas hanya pengandalkan misil antitank dan beberapa jenis roket ntuk menghadapi alutsista Israel yang sangat canggih. Dari perbandingan ini terlihat betapa minimnya kekuatan yang dimiliki Hamas untuk melawan Israel. Apalagi, semua persejataan Hamas itu berasal dari sejumlah negara yang kualitas produksinya tidak sebagus persenjataan Israel yang mayoritas berasal dari Amerika Serikat (AS) dan kawasan Eropa. Semua persenjataan berat Hamas diduga berasal dari sejumlah negara, seperti Korea Utara dan Iran.
Perang gerilya
Meskipun demikian, perang nyatanya juga tak kunjung usai. Hamas yang jauh menguasai medan peperangan di Gaza membuat militer Israel kewalahan menumpasnya. Strategi serangan gerilya dan jaringan terowongan yang dibangun di bawah tanah membuat Hamas dapat terus bergerak melakukan serangan mendadak terhadap Israel. Meskipun kecil sekali kemungkinan menangnya, taktik gerilya yang dilakukan Hamas ini menjadi peringatan bagi Israel untuk terus waspada dan menjadi pertanda bahwa bangsa Palestina masih terus melakukan perlawanan.
Kisah perjuangan para gerilyawan dalam peperangan asimetris tersebut pernah terjadi di sejumlah negara di dunia. Salah satunya adalah Vietnam, di mana dalam peperangan itu para gerilyawan yang akhirnya memenangkan pertempuran.
Pada 1957 sampai 1975 terjadi perang Vietnam atau perang Indocina kedua. Perang ini merupakan bagian dari perang dingin antara dua kubu ideologi besar, yakni komunis dan Pakta Pertahanan Asia Tenggara atau Southeast Asia Treaty Organization (SEATO).
Pihak yang berperang adalah Republik Vietnam (Vietnam Selatan) dan Republik Demokratik Vietnam, RDV (Vietnam Utara). Vietnam Selatan yang pro pada demokratik mendapat dukungan dari AS, Korsel, Thailand, Australia, Selandia Baru, dan Filipina. Kubu lawannya adalah Vietnam Utara yang berideologi komunis dan mendapat dukungan dari Uni Soviet, Tiongkok (RRT), Korea Utara, Mongolia, dan Kuba.
Peperangan antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan yang didukung oleh AS beserta sekutunya memberikan gambaran bahwa semangat besar perjuangan bangsa Vietnam Utara ternyata mampu memupus kekuatan besar armada militer AS. Kekuatan persenjataan yang tangguh tidak serta-merta menjamin kemenangan dengan mudah apabila pihak lawan memiliki strategi yang andal dalam peperangan. Terbukti, dengan persenjataan yang jumlahnya tidak berimbang, ternyata pasukan Vietnam cong-san (viet cong) atau komunis selatan mampu memaksa pasukan AS pergi dari negara itu. Di samping itu, peranan negara lain, seperti Rusia dan RRT, juga sangat besar dalam menunjang kemenangan pasukan viet cong.
Baca Juga: Perang Asimetris Hamas Vs Israel
Dengan bantuan persenjataan mulai dari pesawat tempur, misil udara, senapan, hingga peralatan tempur lainnya dari kedua negara besar tersebut membuat Vietnam Utara mampu mengubah peta peperangan. Selain itu, strategi pertempuran gerilya yang dilakukan para pejuang Vietnam Utara membuat pertahanan Vietnam Selatan dan tentara AS goyah. Pasukan Vietnam Utara relatif sangat susah ditaklukkan karena memiliki teknik gerilya yang luar biasa. Salah satunya dengan membangun bungker-bungker yang digali di dalam tanah dan memilki jaringan ”tikus” yang sangat banyak sehingga sulit ditangkap.
Pasukan viet cong dengan cepat melakukan serangan gerilya, tetapi dengan cepat pula menghilang di balik hutan dan perbukitan. Hutan-hutan yang dijatuhi bom dan disemprot gas beracun sekalipun tidak membuat para viet cong tertangkap dan binasa. Seolah-olah para pejuang Vietnam Utara itu hilang ditelan bumi.
Dalam pertempuran udara juga demikian. Dengan armada pesawat yang jumlahnya sangat terbatas, Pasukan Vietnamese People's Air Force (VPAF) ternyata mampu menghadapi armada militer udara AS. Tercatat setidaknya ada 2.000 pesawat AS yang dinyatakan jatuh dalam peperangan di Vietnam itu. Sebaliknya, di kubu Vietnam Utara muncul para tokoh pilot pesawat tempur yang tercatat mampu menjatuhkan pesawat AS yang jumlahnya banyak. Di antaranya Nguyen Van Coc (9 pesawat); Nguyen Rong Nhi, Pham Thanh Ngan, dan Mai Van Cuong (masing-masing 8 pesawat); Dang Ngoc Ngu (7 pesawat); dan Nguyen Doc Soat yang melumpuhkan 6 pesawat. Kepiawaian para pilot VPAF ini tidak lepas dari peranan Rusia yang memberikan bantuan pesawat tempur andalannya, yakni MiG-17 dan MiG-19. Tentu saja bantuan ini disertai pula dengan mengajarkan teknik menerbangkan serta manuver bertempurnya.
Dengan berbekal pesawat MiG tersebut, VPAF mampu meningkatkan kepercayaan diri menghadapi sejumlah pesawat andalan AS. Misalnya saja, F-4 Phantom, F-100, OV-10 Bronco, C-123, C-130, C-7 Trash Haulers, F-105, F-111, dan pesawat pengebom B-52.
Jadi, salah satu kunci kemenangan Vietnam Utara melawan Vietnam Selatan yang didukung AS itu adalah bantuan dari negara-negara adidaya lainnya, yakni Rusia dan RRT. Dengan bantuan dari negara tersebut, persenjataan yang dimiliki Vietnam Utara tergolong mutakhir pada saat itu. Sepadan dengan kualitas persenjataan yang dimiliki oleh AS. Selain itu, adanya semangat gerilya yang bergelora kuat di dalam diri para pejuang Vietnam Utara sehingga mampu mengacaukan pertahanan lawan sedikit demi sedikit. Akhirnya, memaksa AS untuk pergi dari wilayah Vietnam dan selanjutnya mendorong Vietnam Utara dan Vietnam Selatan bersatu di bawah kendali ideologi komunis hingga saat ini.
Berkaca dari perang Vietnam tersebut, ada peluang bagi Hamas dan Palestina untuk melawan dengan sengit dan kemungkinan dapat memenangi palagan melawan Israel. Hanya saja, upaya ini membutuhkan dukungan yang solid dari negara-negara yang juga kuat alutsista militernya. Tanpa dukungan dari negara kuat ini, niscaya perjuangan para militan Hamas tampaknya relatif sulit menumbangkan IDF. Apalagi, Israel memiliki keunggulan absolut berupa penguasaan akses gerbang-gerbang perbatasan yang mengelilingi Gaza. Dengan demikian, Israel akan relatif mudah memutus distribusi kebutuhan pokok dan energi bagi Gaza dan Palestina.
Oleh karena itu, jalan perundingan merupakan solusi terbaik yang perlu segera dilakukan untuk mendamaikan Palestina dan Israel. Selain menghindari jatuhnya korban rakyat sipil, resolusi damai itu juga akan memberikan jaminan mimpi masa depan lebih baik bagi generasi muda dan anak-anak di wilayah konflik tersebut. (LITBANG KOMPAS)