Tiktok Shop Kembali, Regulasi Perlu Segera Disiapkan
Regulasi menjadi kata kunci untuk mendorong pertumbuhan UMKM melalui kehadiran Tiktok Shop karena melalui aplikasi ini peluang ekonominya lebih terbuka lebar.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI
·4 menit baca
Aplikasi belanja daring Tiktok Shop sempat memicu penolakan publik hingga akhirnya dilarang. Meskipun begitu, teknologi ini sejatinya memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah. Namun, tanpa regulasi yang matang, potensi ini justru bisa menjadi bumerang bagi usaha kecil.
Setelah dilarang pemerintah, fitur belanja di media sosial Tiktok Shop akan menjajaki rencana untuk kembali beroperasi di Indonesia. Hal ini telah dikonfirmasi oleh Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki, Rabu (22/11/2023). Sejauh ini, Tiktok telah berkomunikasi dengan beberapa perusahaan Indonesia, seperti Bukalapak, Tokopedia, dan CT Corp.
Seperti yang dilaporkan Kompas, Jumat (24/11/2023), saat ini Tiktok menjajaki pengurusan izin alat pembayaran ke Bank Indonesia. Penjajakan itu bagian dari upaya Tiktok ikut menikmati pasar e-dagang yang ditaksir bernilai 362 miliar dollar AS pada 2023-2025.
Tiktok Shop sempat membuat heboh publik pada September 2023. Pemerintah pun kemudian melarang praktik social commerce melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik yang diundangkan pada 26 September 2023.
Salah satu alasan di balik pelarangan Tiktok Shop ialah karena dianggap mengancam industri lokal, terutama UMKM. Kekhawatiran ini pun tertangkap pula oleh masyarakat umum. Tak sedikit dari publik yang menilai aplikasi live shopping ini merugikan dan membahayakan perekonomian Indonesia.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang diselenggarakan pada pertengahan Oktober 2023 menunjukkan, 40 persen responden mengungkapkan kekhawatiran Tiktok Shop merugikan perekonomian Indonesia. Bahkan, 5 persen di antaranya menyatakan sangat merugikan.
Sentimen negatif masyarakat terhadap fitur belanja daring dari Tiktok ini pun masih cukup besar. Nyaris sepertiga lebih responden menyatakan Tiktok Shop membahayakan perekonomian RI. Hal ini sikap yang diambil dari potensi kerugian yang sebelumnya telah dirasakan akibat fitur tersebut.
Secara umum, penggunaan fitur belanja di aplikasi Tiktok mungkin memang tidak semasif pesaingnya. Berdasarkan jajak pendapat, baru sekitar 45,7 persen dari responden yang mengaku pernah menggunakan layanan Tiktok Shop. Sementara mayoritas lainnya (51,8 persen) menyatakan tidak pernah menggunakan fitur tersebut.
Tidak heran, dilarangnya Tiktok Shop untuk beroperasi di Indonesia terbukti tidak menimbulkan banyak gejolak. Hasil dari jajak pendapat mengonfirmasi, 81,2 persen responden merasa tidak dirugikan dengan adanya pelarangan ini. Bukan hanya itu, sekitar 5 persen dari mereka mengaku justru merasa diuntungkan dengan kebijakan pelarangan tersebut.
Meskipun demikian, tidak sedikit juga yang menyayangkan pelarangan Tiktok Shop di Indonesia. Pasalnya, teknologi belanja daring secara langsung ini memiliki potensi besar. Tak menutup kemungkinan, teknologi ini bisa mendorong pertumbuhan UMKM di Indonesia.
Hasil jajak pendapat pun menunjukkan masih cukup dominan warga yang tidak merasakan bahaya dari Tiktok Shop. Sebanyak 46,4 persen dari responden survei memandang fitur Tiktok Shop ini tidak merugikan perekonomian RI. Tak hanya itu, tidak kurang dari 17,1 persen di antaranya juga menyampaikan bahwa fitur belanja daring ini justru menguntungkan mereka.
Selaras, mereka yang tak merasa dirugikan dengan kehadiran Tiktok Shop pun tidak melihat adanya bahaya dari fitur ini terhadap perekonomian negara. Sekitar 45,7 persen dari responden jajak pendapat pun menyampaikan bahwa fitur ini tak membahayakan perekonomian nasional. Angka tersebut lebih besar dibandingkan dengan jumlah masyarakat yang khawatir (37,8 persen).
Sebanyak 46,4 persen dari responden survei memandang fitur Tiktok Shop ini tidak merugikan perekonomian RI.
Tak ayal, cukup banyak dari masyarakat yang tidak merasa keberatan jika Tiktok Shop kembali beroperasi di Indonesia. Pasalnya, separuh lebih responden jajak pendapat (59,3 persen) menilai seharusnya fitur belanja daring semacam Tiktok Shop tidak perlu dilarang. Meski demikian, ada pula sebagian kecil (1 persen) mereka yang merasa dirugikan dengan kebijakan pelarangan ini.
Namun, di sisi lain, perlu dicatat, masih ada lebih dari seperempat dari responden yang merasa fitur belanja seperti Tiktok Shop perlu ditutup meski sebagian dari kelompok ini tidak sepenuhnya menolak. Tiktok Shop dan aplikasi belanja daring yang sejenis dinilai boleh beroperasi, tetapi perlu dipagari dengan regulasi yang jelas.
Pandangan publik dari hasil jajak pendapat ini perlu untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah. Di satu sisi, seberapa pun ada tekanan dari masyarakat, sepenuhnya melarang Tiktok Shop dan platform belanja daring secara langsung (live shopping) bukanlah langkah ideal.
Pasalnya, potensi yang ditawarkan fitur ini bisa sangat menguntungkan, terutama bagi para pelaku UMKM yang tak banyak punya modal. Bagaimanapun kehadiran fitur ini bisa membuat para pedagang berinteraksi langsung dengan calon pelanggannya via daring.
Pelanggan bisa melihat produk yang didagangkan, melakukan penawaran, dan bertransaksi secara langsung layaknya berbelanja di toko luring. Bagi beberapa pedagang, teknologi ini bisa mengurangi ongkos karena tidak lagi perlu menyewa ruko atau kios untuk berdagang.
Besarnya potensi dari fitur belanja daring langsung ini pun diamini oleh masyarakat. Hasil dari jajak pendapat menunjukkan, lebih kurang sepertiga responden jajak pendapat melihat teknologi ini bisa mempermudah pelanggan karena bisa berbelanja dengan mudah dari rumah. Tidak hanya itu, sekitar 23,9 persen lainnya juga menyatakan harga barang yang diperdagangkan lebih murah ketimbang toko-toko luring.
Lebih lanjut, sebagian responden (11,3 persen) juga merasa diuntungkan dengan fitur belanja daring ini karena pengiriman barang yang aman dan murah. Bahkan, tidak sedikit dari toko yang menawarkan jasa kirim barang secara gratis. Terlebih lagi, pilihan barang yang dijajakan pun terbilang cukup beragam.
Namun, tanpa adanya regulasi yang matang, potensi ini justru bisa berbalik menjadi ancaman bagi usaha kecil. Pengalaman di Inggris menunjukkan, fitur serupa justru dimanfaatkan oleh platform untuk mengeksploitasi pasar di negara target. Dengan penguasaan murni terhadap algoritma konten, dengan mudahnya platform bisa mengatur agar para pelanggan hanya terpapar dengan barang tertentu.
Pada kasus tersebut, ByteDance sebagai perusahaan pemilik Tiktok kedapatan menjual barang-barang yang mereka produksi sendiri. Untuk menyamarkan jejak, berbagai barang yang dijajakan diproduksi oleh anak perusahaan yang disebar di sejumlah negara. Artinya, melalui fitur ini, Tiktok bisa menguasai seluruh rantai produksi, mulai dari produksi hingga distribusi.
Pada akhirnya, kembalinya Tiktok Shop ke ekosistem ekonomi digital Indonesia mungkin tidak dapat dihindari. Bagi Tiktok, Indonesia merupakan pasar dengan skala yang terlalu menarik untuk dilewatkan. Tak ayal, pemerintah perlu segera menyiapkan regulasi yang matang untuk memastikan persaingan bisnis tetap sehat ketika raksasa Tiktok kembali. (LITBANG KOMPAS)