Kesetaraan Jender Membaik, tetapi Butuh Penguatan
Kesetaraan jender membaik namun Indeks Ketimpangan Gender masih tinggi. Perlu upaya perbaikan optimal dari semua aspek.
Isu kesetaraan jender yang pada dasarnya adalah menghilangkan diskriminasi, khususnya pada perempuan, dengan memberikan hak yang sama kepada semua individu untuk berkembang, sudah lama digaungkan.
Isu ini sudah menjadi salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang ingin dicapai pada 2030, yaitu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam pemenuhan hak dan kewajiban.
Kesetaraan jender adalah kesetaraan kondisi laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan kesempatan, hak, manfaat, dan akses yang sama sebagai manusia untuk berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Lebih jauh, kesetaraan jender akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang, termasuk mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif. Untuk mengukur sejauh mana kesetaraan jender sudah dicapai, Badan Pusat Statistik (BPS) membuat pengukuran dengan Indeks Ketimpangan Gender (IKG).
Pengukuran tersebut memiliki tiga dimensi pembentuk indeks, yaitu dimensi kesehatan reproduksi, dimensi pemberdayaan, dan dimensi pasar tenaga kerja.
Dimensi kesehatan reproduksi perempuan dibentuk dari dua indikator, yaitu proporsi perempuan usia 15-49 tahun yang melahirkan hidup tidak di fasilitas kesehatan dan proporsi perempuan usia 15-49 tahun yang saat melahirkan hidup pertama berusia kurang dari 20 tahun.
Sementara dimensi pemberdayaan dibentuk oleh dua indikator, yaitu persentase anggota legislatif dan persentase penduduk 25 tahun ke atas yang berpendidikan SMA ke atas. Terakhir, dimensi pasar tenaga kerja yang direpresentasikan dengan indikator tingkat partisipasi angkatan kerja.
Skor indeks ini memiliki empat kategori, yaitu rendah jika IKG kurang dari 0,399, kemudian menengah bawah (IKG pada rentang 0,400-0,449), menengah atas (IKG pada rentang 0,450-0,499), dan tinggi dengan IKG di atas atau sama dengan 0,500.
Baca juga : Tingkatkan Partisipasi Kerja Perempuan
Tren positif
Upaya mengikis ketimpangan jender yang menjadi perhatian pemerintah perlahan tapi pasti telah berjalan di jalur yang benar dan menunjukkan hasilnya.
Hal ini terlihat dari perkembangan Indeks Ketimpangan Gender yang dalam lima tahun terakhir menunjukkan tren positif (angka menurun), yaitu ketimpangan jender yang semakin mengecil atau kesetaraan yang membaik.
Artinya, antara laki-laki dan perempuan dalam pemenuhan hak dan kewajiban semakin setara. Dengan kata lain, potensi capaian pembangunan manusia yang hilang akibat ketimpangan jender semakin dapat diminimalkan.
Pada 2018, IKG berada di angka 0,499. Kemudian angkanya konsisten menurun setiap tahun menjadi 0,488 (2019), 0,472 (2020), 0,465 (2021), dan pada 2022 turun 0,006 poin menjadi 0,459.
Dalam kurun waktu lima tahun terjadi penurunan 0,04 poin atau rata-rata 0,01 poin per tahun. Penurunan tertinggi terjadi pada 2020 sebesar 0,016 poin dari tahun sebelumnya.
Jika diselisik lebih dalam dari dimensi dan indikator-indikator pembentuknya, terjadi perbaikan yang konsisten. Pada dimensi kesehatan reproduksi terlihat tren penurunan pada indikator proporsi perempuan usia 15-49 tahun yang melahirkan hidup tidak di fasilitas kesehatan (MTF), dari 0,214 pada tahun 2018 menjadi 0,14 pada tahun 2022.
Sementara indikator proporsi perempuan usia 15-49 tahun yang saat melahirkan hidup pertama berusia kurang dari 20 tahun (MHPK20) cenderung masih berfluktuasi di angka 0,26.
Indeks Ketimpangan Gender juga dinilai dari aspek pemberdayaan dengan memperhitungkan persentase keterwakilan perempuan di parlemen (lembaga legislatif) dan persentase penduduk usia 25 tahun ke atas dengan pendidikan minimal setara SMA.
Capaian yang diraih lima tahun terakhir menunjukkan, persentase perempuan dan laki-laki yang berpendidikan minimal SMA mengalami peningkatan, bahkan persentase kenaikan pada kelompok perempuan lebih tinggi.
Tercatat, persentase pendidikan perempuan meningkat 5,96 persen dari 30,99 persen pada tahun 2018 menjadi 36,95 persen pada tahun 2022. Sementara persentase pendidikan laki-laki meningkat 3,79 persen, dari 38,27 persen menjadi 42,06 persen.
Peningkatan pendidikan perempuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki membuat tingkat pendidikan antara perempuan dan laki-laki cenderung lebih setara.
Statistik dan Indikator Pendidikan Berwawasan Gender yang dirilis BPS juga mencatat, terjadi peningkatan perempuan lulusan SMA dari tahun ajaran 2021/2022 sebesar 55,41 persen menjadi 55,47 persen pada tahun ajaran 2022/2023.
Persentasenya melebihi lulusan siswa laki-laki karena jumlah siswa perempuan lebih banyak. Adapun untuk siswa perempuan lulusan SMK tahun ajaran 2022/2023 tercatat 42,38 persen.
Sementara aspek pemberdayaan perempuan dalam politik dari indikator keterwakilan perempuan di parlemen juga terus menunjukkan perbaikan.
Apalagi ditunjang adanya kebijakan afirmatif melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang mengatur agar komposisi penyelenggara pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30 persen.
Sejak pemilu pascareformasi tahun 1999 hingga Pemilu 2019, persentase keterwakilan di DPR terus meningkat, tetapi belum mencapai 30 persen. Pada Pemilu 2019 tercatat 20,9 persen wakil perempuan yang terpilih duduk di Senayan.
Kontestasi Pemilu 2024 menjadi harapan keterwakilan perempuan yang terpilih akan memenuhi ketetapan undang-undang.
Kontestasi Pemilu 2024 menjadi harapan keterwakilan perempuan yang terpilih akan memenuhi ketetapan undang-undang. Daftar calon tetap (DCT) perempuan setiap partai politik secara agregat sudah memenuhi syarat keterwakilan minimal 30 persen. Dari total 9.917 DCT DPR, sebanyak 37,13 persen (3.676 orang) adalah perempuan.
Aspek pasar tenaga kerja perempuan juga memberikan andil cukup baik terhadap menurunnya ketimpangan jender. Hal ini disebabkan semakin banyak perempuan yang bekerja. Dilihat dari indikator tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) selama tahun 2018-2022, TPAK perempuan dan laki-laki semakin meningkat.
Baca juga : Pemilu 2024, Momentum Meningkatkan Keberdayaan Perempuan
Belum merata
Namun, ketimpangan jender yang semakin mengecil itu belum merata di semua wilayah. Jika dilihat berdasarkan provinsi, pada tahun 2022 masih ada 19 provinsi yang memiliki Indeks Ketimpangan Gender di atas IKG nasional (0,459). Sebelas di antaranya berada di wilayah Indonesia timur.
Lima provinsi dengan ketimpangan jender masih tinggi adalah Nusa Tenggara Barat (0,648), Jambi (0,540), Papua Barat (0,537), Maluku Utara (0,534), dan Maluku (0,527). Papua Barat dan Maluku perlu mendapat perhatian khusus karena ketimpangan jender di wilayah tersebut justru meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Tren positif yang dicapai dan tantangan yang masih dihadapi dalam tataran global menjadi catatan bahwa upaya mendorong kesetaraan jender belum optimal. Atas dasar itu, perlu ada upaya lebih yang harus dilakukan pemerintah melalui berbagai kebijakan dari sisi kesehatan, pemberdayaan, dan akses dalam pasar tenaga kerja untuk mengatasi ketertinggalan tersebut. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Menakar Pilihan Perempuan terhadap Bakal Capres di Pemilu 2024