Rohingya dan Komitmen Indonesia Lindungi Pengungsi Dunia
Masuk dan diterimanya pengungsi Rohingya ke Indonesia menjadi wujud komitmen bangsa ini terhadap perlindungan atas para pengungsi di dunia.
Sampai saat ini, tercatat lebih dari seribu pengungsi etnik Rohingya berada di Indonesia. Para pengungsi yang berasal dari Myanmar ini tersebar di beberapa lokasi, yakni di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Timur.
Berdasarkan laporan Kompas pada Selasa (21/11/2023), terdapat 721 pengungsi yang diselamatkan di Pidie. Dari jumlah tersebut, sebanyak 480 pengungsi ditampung oleh Yayasan Mina. Lebih lanjut, sekitar 200 orang sisanya ditampung di beberapa tempat di sekitar pantai.
Sementara itu, masih ada 256 pengungsi yang berada di Bireuen. Para pengungsi yang berada di tempat ini tinggal di tenda dan balai nelayan di sekitar pesisir. Adapun sisanya sebanyak 35 orang ditempatkan di wilayah Aceh Timur.
Masuknya gelombang pengungsi baru ini menambah jumlah pengungsi yang harus ditanggung Indonesia. Sampai akhir 2021, lebih dari 13.000 pengungsi dari 51 negara ditampung Indonesia. Hanya sekitar 8 persen di antaranya yang merupakan pengungsi dari Myanmar.
Baca juga : Selamatkan Nyawa Rohingya
Warga tanpa negara
Rohingya dinyatakan oleh PBB sebagai salah satu kelompok minoritas yang paling teraniaya di dunia. Situasi mereka memang sangat menyedihkan. Di tempat tinggal aslinya, mereka tidak mendapatkan hak dasar untuk hidup, seperti pangan, sandang, dan papan. Tentu saja akses lain, seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan, pun bisa dibilang tidak ada.
Hal ini disebabkan genosida yang dilakukan Pemerintah Myanmar yang secara sistematis telah dilakukan selama berpuluh tahun. Penghapusan kelompok etnis secara massal dan sistematis ini dilakukan sejak 1970-an. Puncaknya, pada awal 1980-an, Pemerintah Myanmar resmi menyatakan Rohingya bukanlah bagian dari etnik yang diakui.
Persoalan genosida Rohingya ini perlu dipahami secara multidimensi. Secara geografis, kelompok etnis Rohingya secara turun-temurun tinggal di Negara Bagian Rakhine. Di negara bagian ini terdapat dua etnik yang sama-sama beragama Islam, yakni Rohingya dan Arakan. Berbeda dengan Rohingya, kelompok Arakan diakui sebagai etnik resmi oleh pemerintah.
Tidak diberikannya pengakuan terhadap etnik Rohingya ini menjadikan mereka sebagai kelompok yang lepas dari tanggung jawab pemerintah. Nasib kelompok Rohingya makin parah karena adanya sentimen rasial dari warga Myanmar yang mayoritas memeluk agama Buddha. Sentimen ini pun makin menjadi karena perbedaan fisik yang kentara antara warga etnis Rohingya dan kebanyakan warga Myanmar yang lain.
Puncak kekerasan terhadap kelompok Rohingya terjadi pada 2017. Saat itu terjadi persekusi, pemerkosaan, hingga pembunuhan terhadap etnik Rohingya oleh warga mayoritas. Alih-alih meredakan, aparat keamanan dari pemerintah justru ikut melakukan kekerasan dan cenderung menjustifikasi persekusi yang diarahkan kepada kelompok tersebut.
Tak lama dari kejadian ini, lebih dari 742.000 warga Rohingya kabur ke Bangladesh. Yang menyedihkan, sekitar separuh dari angka tersebut adalah anak-anak. Jumlah ini pun terus bertambah dari tahun ke tahun, dengan lebih dari 1,2 juta telah tercatat mengungsi dari Rakhine.
Sebagian besar dari pengungsi ini akhirnya tinggal di kamp-kamp pengungsian di Cox’s Bazar, sebuah kota pelabuhan di Bangladesh. Tak kurang dari 900.000 orang berkumpul di pengungsian ini. Selain itu, Indonesia, India, Malaysia, Thailand, dan Australia menjadi negara-negara tujuan lain dari para pengungsi Rohingya.
Situasi di kamp-kamp pengungsian ini tentu sangat tidak ideal. Pada masa pandemi lalu, para pengungsi Rohingya menjadi kelompok yang sangat rentan tertular. Ditambah lagi, minimnya akses pengobatan bagi para pasien yang terpapar virus Covid-19.
Jangankan untuk pengobatan pasien Covid-19 yang membutuhkan peralatan khusus dan sarana karantina, para pengungsi pun masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, seperti terkait dengan sanitasi. Tak ayal, krisis pengungsi Rohingya menjadi salah satu yang paling menyita perhatian dunia.
Baca juga : Pengungsi Rohingya di Aceh Banyak yang Sakit
Kerangka regional
Posisi Indonesia sebagai salah satu negara tujuan dari pengungsi Rohingya cukup pelik. Di satu sisi, sampai saat ini, Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 yang menjadi dasar hukum internasional terkait dengan situasi pengungsi. Maka, secara legal, Indonesia tidak wajib untuk menerima para pengungsi Rohingya yang datang.
Walakin, Indonesia masih tetap mau menerima mereka dengan tangan terbuka. Tentunya, semata karena alasan kemanusiaan. Meski tidak meratifikasi, langkah yang dilakukan Indonesia sudah sesuai dengan salah satu isi dari konvensi yang meminta negara tujuan pengungsi untuk tidak memulangkan para pencari suaka ke negara asalnya.
Namun, tentunya persoalan pengungsi ini tak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah. Diperlukan kerja sama dan uluran tangan dari negara-negara sekitar dan organisasi internasional agar penanganan pengungsi bisa lebih ideal. Sejauh ini, telah ada beberapa organisasi yang juga terlibat, seperti UNHCR dan IOM.
Dalam kerangka regionalisme, persoalan ini juga perlu dipikirkan oleh ASEAN. Faktanya, krisis pengungsi ini tidak hanya dirasakan Indonesia. Setidaknya Malaysia dan Thailand, serta beberapa negara rekanan ASEAN, seperti India, juga ikut terdampak akibat terus mengalirnya pengungsi Rohingya.
Diselesaikannya persoalan ini melalui kerangka regional juga menjadi masuk akal mengingat dimensi politik dari krisis ini. Pasalnya, selain karena adanya hukum internasional, mengembalikan para pengungsi Rohingya ke Myanmar juga tidak bisa dilakukan karena situasi politik domestik negara tersebut.
Hingga saat ini, Myanmar masih berkelut dengan krisis yang dimulai dengan kudeta oleh junta militer pada 2021. Kini, situasi makin tak pasti karena pemerintahan junta enggan menyerahkan kekuasaan dan memilih untuk menunda pemilu hingga waktu yang tak ditentukan.
Pemerintah Junta menyatakan, pemilu ditunda karena masih adanya kekerasan yang terjadi antara pihaknya dan oposisi. Namun, muncul dugaan bahwa pemerintah junta masih belum mampu menguasai tiap-tiap tempat pemilihan suara sehingga sulit untuk mengamankan kemenangan. Selain itu, suara yang mengalir untuk oposisi juga relatif masih tinggi.
Tak ayal, penyelesaian sengkarut politik di Myanmar menjadi esensial sebelum krisis Rohingya bisa disentuh. Selain itu, nasib etnik Rohingya pun harus menjadi salah satu isu yang diberi penekanan oleh organisasi regional kepada Myanmar. Jangan sampai, setelah situasi politik domestik sudah stabil, kelompok marjinal ini masih tak memiliki tanah air untuk kembali. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Konflik dan Perang, Biang Keladi 108,4 Juta Orang Terusir dari Rumahnya