Dalam perang yang tak kunjung padam, sejumlah wilayah di Palestina merayakan Natal secara senyap tahun ini.
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·4 menit baca
Hampir tiga bulan berkecamuk, perang Hamas-Israel menewaskan sekitar 19.000 jiwa dan melukai 50.000 warga Palestina di Jalur Gaza. Hal ini membuat sejumlah wilayah, terutama Bethlehem dan sekitarnya, menyatakan sikap solidaritas dengan tidak merayakan Natal secara meriah.
Selain sebagai aksi solidaritas, Bethlehem menjadi wilayah yang cukup terdampak, termasuk secara ekonomi, akibat perang di Gaza. Sejak awal Oktober, akses ke Bethlehem dan kota-kota Palestina di Tepi Barat semakin sulit. Hal ini membuat sektor pariwisata yang menjadi andalan di kota-kota sekitar Tepi Barat pun mati suri.
Natal biasanya akan menjadi kesempatan bagi turis-turis dari seluruh dunia bersama warga Bethlehem merayakan sukacita kelahiran Yesus dengan lampu terang warna-warni yang meriah. Namun, kali ini tidak ada gelimang cahaya berwarna di Bethlehem. Pohon natal besar yang menjulang di Lapangan Manger di depan Gereja Nativity yang dipercaya sebagai tempat lahir Yesus Kristus pun tidak ada.
Padahal, dalam perayaan-perayaan Natal sebelumnya, kemeriahan dan kemegahan di Bethlehem selalu menarik ribuan turis dari negara-negara di dunia. Perekonomian di kota ini biasanya ditopang sektor pariwisata hingga 70 persen. Hal ini termasuk dari perayaan Natal tahunan yang digelar sejumlah denominasi, baik Armenia, Katolik, maupun Ortodoks.
Kegetiran perang menjadi hal yang sangat memukul. Tak hanya orang dewasa, hingga pertengahan Desember 2023, setidaknya ada 7.000 anak tewas akibat serangan bom Israel.
Pada Sabtu, 16 Desember 2023, Lembaga Patriak Latin Jerusalem menyampaikan sebuah pernyataan tertulis bahwa seorang perempuan Kristen dan putrinya tewas akibat tembakan tentara Israel. Tragedi tersebut terjadi di halaman Gereja Katolik Holy Family di Gaza.
Lebih pahit lagi, Gereja Holy Family merupakan tempat keluarga-keluarga Kristen berlindung sejak perang Hamas-Israel berkecamuk. Dua korban, perempuan dan anak perempuannya tersebut, ditembak tanpa ada peringatan sebelum tembakan dilepaskan.
Kegetiran perang akhirnya membuat pembatalan perayaan Natal sudah diserukan oleh sejumlah pihak. Wali Kota Bethlehem Hanna Hanniyah, sejak akhir November, sudah memutuskan untuk tidak merayakan Natal dan menggantinya dengan kegiatan solidaritas terhadap warga Palestina di Gaza. Disebutkan pula, di Bethlehem, Natal tidak pernah dirayakan sesenyap ini, bahkan selama pandemi Covid-19.
Sementara itu, pemerintah kota dan dewan gereja di Ramalah, pusat administrasi Tepi Barat, pun mengeluarkan pernyataan bahwa perayaan Natal tahun ini dibatalkan. Biasanya Ramallah termasuk tempat yang paling banyak dikunjungi dengan upacara penyalaan pohon natalnya.
Para uskup gereja-gereja Kristen di Jerusalem pun meminta semua paroki Kristen membatasi perayaan Natal dan mengumpulkan sumbangan untuk para korban perang. Pun di Nazareth, kampung halaman Yesus, Uskup Ortodoks Galilea Pastor Yousef Matta juga mengatakan bahwa para pemimpin gereja sudah mengimbau segenap paroki untuk membatalkan perayaan Natal.
Merujuk berita yang ditulis The Guardian pada 20 Desember 2023, jumlah korban perang yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan di Gaza mencapai 19.667 jiwa dengan korban luka 52.000 orang.
Korban perang meninggal didominasi oleh anak-anak dan perempuan. Kantor berita Reuters menyebut persentasenya hingga 70 persen. Belum lagi ada ribuan korban yang masih berada di antara reruntuhan bangunan yang hancur.
Sebagai bentuk protes dan pesan perdamaian untuk menunjukkan simpati terhadap nasib anak-anak di Palestina, terutama yang berada di Gaza, Gereja Lutheran di Bethlehem mendekorasi goa natal mirip dengan puing-puing bangunan di Gaza yang dihancurkan bom Israel.
Munther Isaac, Imam Gereja Lutheran di Bethlehem, mengatakan, ”Jika Kristus dilahirkan hari ini, dia akan lahir di bawah reruntuhan dan penembakan Israel” (Kompas, 10/12/2023).
Kristus yang lahir di antara puing-puing peperangan seakan mengulangi peristiwa kelahiran Yesus 2.000 tahun silam. Di Bethlehem, Injil menuliskan Yesus yang lahir di kandang dan ditidurkan di tempat makan ternak.
Misteri penjelmaan ini terejawantah tidak dalam gelimang pesta, namun dalam getirnya kemiskinan dan kekurangan. Dua milenium berselang, Kristus lahir di tengah puing-puing bangunan yang hancur akibat perang.
Di belahan dunia yang lain, sejumlah orang menunjukkan aksi solidaritas di kawasan Manhattan, New York, Amerika Serikat. Sejak tahun 1933 ada tradisi penyalaan pohon natal di Rokcefeller Center. Pohon natal yang digunakan adalah pohon cemara Norwegia setinggi sekitar 30 meter. Akhir November lalu, ratusan orang berkumpul di dekat kemeriahan ini untuk menentang genosida yang terjadi di Gaza.
Masih dari Amerika Serikat, sejumlah warga keturunan Palestina yang tinggal di negara ini memilih untuk merayakan Natal secara senyap.
Seperti dikutip oleh Al Jazeera, sejumlah warga Palestina memilih mengganti dekorasi natal dengan tanda di halaman rumahnya yang bertuliskan, ”Bethlehem membatalkan perayaan Natal karena Israel membantai warga Palestina”.
Sejatinya sudah menjari tradisi turun-temurun Natal dirayakan secara meriah. Apalagi, perayaan Natal bertepatan secara waktu dengan perayaan akhir tahun menuju tahun baru. Jika melihat ke dalam negeri, kemeriahan Natal menjadi sesuatu yang wajib di pusat-pusat perbelanjaan untuk menawarkan dekorasi bernuansa pohon natal, salju, dan sinterklas.
Tak hanya itu, potongan harga spesial Natal juga menjadi tawaran rutin yang diberikan oleh gerai-gerai baju, tas, hingga mainan. Dalam semarak ini, warga akan datang bersama dengan keluarga, merayakan Natal yang juga identik dengan liburan akhir tahun.
Pada Natal 2023, Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja (KWI) menawarkan tema ”Kemuliaan bagi Allah dan Damai Sejahtera di Bumi”. Di tengah sukacita Natal dengan perayaan di tempat-tempat ramai yang bermil-mil jauhnya dari perang, selayaknya dalam waktu sunyi makna damai sejahtera di bumi tetap menjadi refleksi. (LITBANG KOMPAS)