Perayaan Natal ”Green Christmas” demi Kelestarian Lingkungan
Perayaan Natal mulai memperhatikan isu keberlanjutan lingkungan. Perubahan itu perlu dilakukan mengingat Natal menjadi salah satu perayaan dengan limbah sampah terbanyak sepanjang tahun.
Oleh
DEBORA LAKSMI INDRASWARI
·5 menit baca
Perayaan Natal terus bertransformasi sesuai perubahan zaman. Dalam beberapa tahun terakhir, perayaan Natal mulai memperhatikan isu keberlanjutan lingkungan. Perubahan itu sangat perlu dilakukan mengingat Natal menjadi salah satu perayaan dengan limbah sampah terbanyak sepanjang tahun.
Meriahnya suasana Natal tidak hanya dirayakan oleh umat Kristiani, tetapi juga berkembang menjadi momen untuk menikmati musim liburan akhir tahun yang dinantikan oleh masyarakat luas. Berbagai pernak-pernik natal berikut tradisinya membaur dalam kegiatan dan aktivitas masyarakat di pengujung tahun.
Tidak heran jika kerlap-kerlip lampu, berbagai hiasan berwarna hijau-merah-putih, Santa Claus, kado natal, hingga berbagai kuliner natal dipasang dan dijajakan hampir di setiap ruang publik jelang akhir tahun. Semarak Natal itu sudah berlangsung sejak berabad-abad silam dan perayaannya berkembang seiring dengan perubahan zaman, termasuk ornamen-ornamen dalam kemeriahannya.
Natal tidak semata-mata untuk memperingati hari kelahiran Yesus, sebagaimana dirayakan umat Kristiani. Namun, juga bertepatan dengan perayaan musim dingin yang sudah ada sejak masa lampau seperti halnya di Eropa.
Bangsa Inggris, misalnya, pada abad pertengahan merayakan Natal dengan pesta meriah lengkap dengan dekorasi, pemberian hadiah, jamuan makanan dan minuman yang melimpah, serta melantunkan lagu-lagu natal.
Selain Inggris, warga Jerman memiliki tradisi festival titik balik matahari dengan mengadakan perjamuan hingga memperindah rumah dengan lilin serta hiasan lain. Bahkan, negeri Jerman ini juga menyumbangkan tradisi yang kemudian menjadi ciri khas perayaan Natal di seluruh dunia. Perayaan yang berakar dari tradisi Pagan itu ialah menghias ranting-ranting pohon yang selanjutnya diadaptasi menjadi pohon natal.
Pohon natal bagi warga Jerman berupa pohon pinus di dalam ruangan yang dihias dengan lilin dan berbagai macam kotak hadiah. Mereka menyebutnya tannenbaum.
Jika dari Jerman muncul pohon natal dan dari Inggris muncul christmas carol serta tradisi pestanya, dari kawasan Amerika Serikat perayaan Natal disemarakkan dengan simbol Santa Claus. Sosok dari kisah Santa Nicholas itu berkembang menjadi simbol Natal di AS melalui imigran asal Jerman dan Belanda pada abad ke-18 hingga ke-19.
Semua simbol perayaan Natal tersebut berkembang dari satu negara ke negara lain dan terus mengglobal dan rutin hadir setiap tahun pada Desember. Fenomena ini membuat Natal dan libur Tahun Baru menjadi perayaan terbesar di dunia yang menarik mayoritas masyarakat untuk berbelanja dan berpesta merayakannya.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kemeriahan perayaan tersebut menjadi perhatian saksama terkait dengan dampak negatif yang ditimbulkan pada lingkungan. Atensi itu terpicu dari masifnya pemberitaan perubahan iklim yang mendorong kesadaran warga dunia terhadap kelestarian lingkungan.
Perhatian itu juga tertuju pada perayaan Natal dan Tahun Baru yang memerlukan banyak energi dan juga menghasilkan banyak sampah ataupun limbah.
Ada sejumlah saran dan obrolan yang cukup marak terkait hal tersebut di media sosial. Pada media sosial Tiktok, misalnya, warganet membagikan tips dan pengalaman mereka merayakan Natal dengan ramah lingkungan.
Dengan tagar #sustainablechristmas, muncul berbagai video tentang bagaimana membuat hiasan natal dengan barang bekas, membungkus hadiah natal dengan bahan ramah lingkungan, hingga menyiapkan makanan agar tidak menghasilkan banyak sisa. Selain itu, muncul pula video-video yang menyajikan tren ”thriftmas” atau kegiatan mencari barang-barang bekas untuk digunakan dalam perayaan Natal.
Pentingnya keberlanjutan lingkungan dalam momen Natal tersebut juga diungkapkan oleh publik Inggris dalam survei pada tahun 2021 dan 2023. Survei yang dilakukan oleh WWF dan Opinium Research pada 2021 itu menyebutkan, 64 persen warga Inggris mencoba untuk lebih ramah lingkungan dalam perayaan Natal dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Pada tahun ini, hasil survei menyebutkan dua pertiga responden merasa senang jika menerima hadiah berupa barang bekas. Separuh responden juga menyebutkan akan mempertimbangkan untuk memberikan hadiah natal berupa barang bekas.
Limbah sampah
Gerakan merayakan Natal dengan lebih ramah lingkungan itu bukan sekadar mengikuti isu perubahan iklim dan kelestarian lingkungan yang tengah ramai diperbincangkan dalam beberapa tahun terakhir. Sebab, faktanya, perayaan dan pesta Natal memang menyisakan dampak negatif bagi lingkungan.
Hal itu tecermin dari banyaknya limbah dan sampah yang dihasilkan selama periode perayaan Natal dan Tahun Baru. Sebagai contoh, di Inggris, limbah yang dihasilkan selama perayaan meningkat 30 persen daripada biasanya. Hal ini seiring dengan meningkatnya konsumsi rumah tangga yang berkaitan dengan agenda Natal hingga mencapai 29 persen. Bahkan, menurut data dari situs businesswaste.co.uk, pada hari perayaan Natal saja, ada 3 juta ton sampah yang dihasilkan oleh warga Inggris.
Jenis limbah terbesar yang dihasilkan adalah pembungkus barang. Setidaknya 414.700 ton pembungkus barang terbuang di pembuangan sampah. Jumlah itu terdiri dari 289.200 ton kardus dan 125.000 ton plastik. Limbah ini dihasilkan dari bungkus berbagai barang dan makanan yang dibeli semasa periode Natal.
Selain itu, banyaknya produksi sampah juga disumbang dari kartu ucapan Natal yang jumlahnya mencapai 1 miliar lembar kartu. Ada pula sampah makanan yang terbuang begitu saja dengan jumlah cukup besar, yakni 270.000 ton. Sementara itu, sampah yang dihasilkan dari tradisi memberikan hadiah natal berupa kertas pembungkus kado yang jika ditotal panjangnya mencapai 365.000 kilometer.
Dengan total limbah yang begitu besar, Natal menjadi perayaan paling tinggi dalam memproduksi sampah di Inggris. Sebagai negara dengan tradisi Natal yang kental, tentunya masa hari raya ini menjadi momen yang paling dinantikan untuk dimeriahkan. Setidaknya ada 57,8 juta orang atau hampir 85 persen dari warga Inggris yang benar-benar merayakan Natal. Kemeriahan pesta ini tentu saja akan menghasilkan sampah dalam jumlah yang sangat besar.
Apabila dibandingkan dengan perayaan lain, selisih limbah yang dihasilkan pada periode Natal sangat timpang. Sebagai contoh, pada Hari Valentine, sampah kertas pembungkus barang yang dibuang berkisar 24.800 ton. Jumlah kartu ucapan yang dibuang juga jauh lebih rendah, yakni 145 juta lembar, atau sangat jauh dari kartu ucapan Natal yang lebih dari 1 miliar lembar kartu.
Kesadaran yang bermakna
Banyaknya limbah sampah yang dihasilkan selama perayaan Natal itu tidak dapat dilepaskan dari beragam tradisi dan kebiasaan selama ratusan tahun. Berpesta, bertukar kado, menyantap kuliner khas Natal bersama keluarga ataupun teman sudah menjadi bagian dari perayaan yang sepertinya mustahil untuk ditiadakan. Tradisi yang terus berulang ini tentu saja akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan sehingga perlu ada kesadaran untuk turut mereduksi timbulan sampah yang dihasilkan.
Oleh karena itu, transformasi menuju Natal yang lebih ramah lingkungan tengah berkembang di masa-masa saat ini. Muncul berbagai gerakan yang mengarah pada kelestarian alam, di antaranya yang tertera dalam tagar #sustainablechristmas dan #thriftmas. Gerakan ini menjadi penanda adanya kepedulian warga dunia pada lingkungan di masa Natal saat ini. Upaya demikian mirip seperti adanya perubahan makna dan perayaan Natal yang pernah terjadi di masa lampau. Bila masa lalu lebih mengarah pada tradisi dan simbol-simbol, untuk masa sekarang lebih mengarah pada isu kelestarian masa depan.
Dari berbagai aktivitas di dunia maya muncul ajakan dan harapan untuk merayakan Natal dengan lebih penuh kesadaran dan pemaknaan bahwa Natal bukan hanya ajang untuk berpesta dan bersenang-senang. Namun, juga perlu merayakan Natal dengan lebih memperhatikan pada aspek lingkungan.
Hal ini bisa dilakukan dengan tingkatan yang paling sederhana, yakni menghitung tamu undangan Natal untuk memperkirakan jumlah makanan yang tersedia tanpa harus ada banyak sisa makanan terbuang. Selain itu, juga bisa dengan memanfaatkan barang yang tersedia atau barang bekas sebagai hiasan natal.
Harapannya, langkah-langkah kecil ini dapat membawa semangat perubahan ”Green Christmas” yang lebih ramah dan bermanfaat bagi lingkungan serta masa depan umat manusia. (LITBANG KOMPAS)