logo Kompas.id
RisetPemilu 2024 dan Pertaruhan...
Iklan

Pemilu 2024 dan Pertaruhan Demokrasi Indonesia

Pemilu 2024 menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat demokrasinya yang melemah beberapa tahun terakhir ini.

Oleh
YOHAN WAHYU
· 4 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/ydtrbPdyqEb4grjNhwXIHwQJxLw=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F17%2F7fd9f21a-ecf8-4591-b65f-beb90b7f18c1_jpg.jpg

Pemilihan Umum 2024 akan menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat kembali bangunan demokrasinya yang cenderung melemah dalam beberapa tahun terakhir ini. Komitmen ini dihadapkan pada tantangan terkait perilaku politik yang justru menggerus cita-cita demokrasi tersebut.

Wajah demokrasi Indonesia yang cenderung menurun sebenarnya bisa kita lihat dari sejumlah lembaga yang mengukur kualitas demokrasi di negeri ini. Mari kita lihat setidaknya dari tiga lembaga yang mengukur indeks demokrasi di sejumlah negara. Tiga indeks ini bisa menjadi acuan bagaimana wajah demokrasi di Indonesia sebagai salah satu negara yang diukur.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Dari Freedom House, misalnya, menempatkan Indonesia sejak 2014 berada dalam kategori negara yang demokrasinya bebas sebagian. Padahal, sebelumnya, Indonesia masuk kategori bebas dengan skor 2,5.

Penurunan yang sama juga ditunjukkan pada pengukuran indeks demokrasi versi Democracy Index yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU). Dalam versi ini, Indonesia masih masuk dalam demokrasi cacat sepanjang 13 tahun pengukuran terakhir.

Sementara jika merujuk Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang diukur oleh sejumlah lembaga di dalam negeri, di antaranya BPS dan Bappenas, secara umum demokrasi Indonesia masuk kategori sedang, meskipun dengan model pengukuran terbaru sejak 2022 demokrasi Indonesia masuk kategori baik.

https://cdn-assetd.kompas.id/ytxOsjocj9fG2DT5YK9yT4aLFdw=/1024x1721/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F12%2F2ab5d098-9d09-4e18-b3ed-6bf42c6b7d64_png.png

Jika bisa ditarik benang merah antara ketiga pengukuran di atas, demokrasi di Indonesia memang belum masuk pada tahap yang stabil dan terkonsolidasi dengan baik. Sejumlah peristiwa politik dan hukum kerap menjadi ”beban” bagi jalannya proses demokrasi di Indonesia.

Sepanjang 2023, misalnya, bagaimana sorotan publik pada institusi hukum yang dibalut politik cukup mewarnai sehingga isu pada erosi demokrasi Indonesia makin mencuat.

Dua isu yang cukup menyita perhatian publik adalah terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap putusan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden yang membuat heboh publik.

Isu lain adalah soal pemberantasan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kian hari makin menurun akibat kasus hukum yang menjerat ketuanya. Dalam catatan Litbang Kompas, dua lembaga hasil dari buah reformasi ini pun cenderung merosot citranya.

Baca juga: Pamor Mahkamah Konstitusi Dipertaruhkan

Putusan MK

Sorotan publik ini tidak lepas dari Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menyatakan usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden adalah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.

Kalimat ”pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pilkada” inilah yang kemudian dijadikan pintu masuk bagi siapa pun kepala daerah, meskipun usianya belum genap 40 tahun, untuk maju menjadi calon presiden ataupun calon wakil presiden.

Putusan ini pula yang kemudian menjadi karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi yang juga Wali Kota Surakarta, maju menjadi calon wakil presiden mendampingi calon presiden Prabowo Subianto.

Putusan MK yang dibacakan pada 16 Oktober 2023 ini mengundang sejumlah reaksi masyarakat. Ratusan tokoh dari guru besar, agamawan, budayawan, pegiat literasi, pegiat antikorupsi, pemerhati hak asasi manusia, tokoh pendidikan, wartawan, seniman, dan lapisan masyarakat menyampaikan keprihatinan dan kekecewaan atas putusan MK yang dinilai melanggengkan politik dinasti di Indonesia tersebut.

Iklan

Jajak pendapat Litbang Kompas pada pertengahan Oktober 2023 juga merekam bagaimana publik memandang majunya Gibran tidak lepas dari praktik politik dinasti yang selama ini menjadi isu yang cenderung kurang diterima publik dalam konteks demokrasi elektoral.

Suasana saat Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang etik terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden di ruang sidang DKPP, Jakarta, Senin (15/1/2024).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Suasana saat Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang etik terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden di ruang sidang DKPP, Jakarta, Senin (15/1/2024).

Dalam jajak pendapat tersebut, 60,7 persen responden mengatakan, langkah Gibran Rakabuming Raka melaju dalam pemilihan presiden adalah bentuk dari praktik politik dinasti.

Apalagi, basis pijakan dari putusan MK tersebut kemudian dinilai oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sebagai bentuk pelanggaran berat yang dilakukan Ketua MK kala itu, Anwar Usman.

Akibatnya, lembaga etik tersebut menjatuhkan sanksi etik kepada Anwar Usman berupa pemberhentian dari posisi Ketua MK. Anwar dinilai terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi.

Tidak heran jika kemudian citra MK dalam survei tatap muka Kompas, Desember 2023 lalu, cenderung merosot tajam. Dalam survei tersebut, citra positif MK berada di angka 50 persen. Angka ini merupakan yang terendah jika merujuk tren citra lembaga ini dalam 20 kali survei Litbang Kompas yang digelar sejak Januari 2015.

Baca juga: Ketika KPK Tak Lagi Bersama Publik

KPK

Selain MK, fenomena merosotnya citra lembaga juga dialami institusi yang juga merupakan anak kandung reformasi, yakni KPK. Merosotnya citra KPK terekam dari hasil survei tatap muka Litbang Kompas, Desember 2023.

Dalam survei ini, citra positif lembaga pemberantas korupsi tersebut berada di angka 47,5 persen. Angka ini tercatat paling rendah, setidaknya dari 22 kali survei yang sudah dilakukan sejak Januari 2015.

Merosotnya citra KPK ini tentu tidak bisa dilepaskan dari sejumlah kasus yang menjadi sorotan publik pada lembaga ini, terutama sejak revisi terhadap Undang-Undang KPK disahkan pada akhir 2019 lalu. KPK hasil revisi ini penuh dengan polemik yang justru membuat kontraproduktif bagi upaya pemberantasan korupsi.

Sebut saja dari mulai dari hiruk-pikuk tes wawasan kebangsaan dalam proses seleksi pegawai KPK sebagai imbas revisi Undang-Undang KPK sampai pada sejumlah pelanggaran etik yang dilakukan pegawai dan komisioner lembaga antirasuah ini.

Terakhir adalah ditetapkannya Ketua KPK Firli Bahuri sebagai tersangka kasus pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Pada akhir Desember 2023, Firli pun menyatakan mengundurkan diri sebagai pemimpin KPK.

https://cdn-assetd.kompas.id/s-NNRipVetQKrZZucpLmbD6YN7E=/1024x1506/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F02%2F2a436241-3270-416c-b82a-fdb650b95770_png.png

Apa yang terjadi di tubuh MK dan KPK menjadi gambaran bahwa dua institusi yang merupakan produk reformasi sebagai bagian dari arus demokratisasi di Indonesia pun tak bisa lepas dari erosi. Hal yang sama pada akhirnya juga tergambar, bagaimana wajah demokrasi Indonesia cenderung merosot dalam beberapa tahun terakhir ini.

Pemilu 2024 semestinya menjadi momentum untuk kembali menguatkan bangunan demokrasi Indonesia. Dalam diskusi bertajuk ”Catatan Awal Tahun Pemilu 2024: Penguatan atau Disrupsi Demokrasi?” yang digelar di Universitas Muhammadiyah Jakarta pada 10 Januari 2024, pengamat politik Airlangga Pribadi menjelaskan bahwa kondisi demokrasi Indonesia saat ini cenderung mengalami pendalaman erosi.

”Hal ini terlihat dari problem intervensi aparatus negara, netralitas ASN, cawe-cawe kekuasaan, dan problem dari penyelenggara pemilu yang kesemuanya berlangsung menjelang Pilpres 2024. Kondisi ini memperlihatkan ancaman yang bisa menggerus konsolidasi demokrasi,” ungkap Airlangga.

Pada akhirnya, Pemilu 2024 akan menjadi pertaruhan, apakah demokrasi Indonesia benar-benar bisa naik kelas dengan mengedepankan nilai-nilai demokrasi atau justru terjebak pada perilaku-perilaku politik yang menggerus bangunan demokrasi itu sendiri. Bagaimanapun, kesuksesan pelaksanaan pemilu akan menjadi salah satu pilar bagi tegaknya bangunan demokrasi di Indonesia. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga: Mandeknya Demokrasi Kita

Editor:
ANDREAS YOGA PRASETYO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000