logo Kompas.id
RisetBeda Cara Pandang Cawapres...
Iklan

Beda Cara Pandang Cawapres Menyikapi Persoalan Masyarakat Adat

Setiap kandidat cawapres memiliki perspektif berbeda dalam memandang persoalan. Salah satunya terkait masyarakat adat.

Oleh
YULIUS BRAHMANTYA PRIAMBADA
· 7 menit baca
Para calon wakil presiden tampil dalam Debat Keempat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Para calon wakil presiden tampil dalam Debat Keempat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024).

Debat Keempat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Pemilu 2024 berjalan cukup sengit. Salah satu isu utama yang diperdebatkan adalah mengenai kepastian hukum dan penghormatan hak masyarakat adat. Menariknya, setiap calon wakil presiden memiliki perspektif yang berbeda dalam memandang persoalan tersebut.

Jakarta Convention Center membara pada Minggu (21/1/2024) malam. Ketiga calon wakil presiden Pemilu 2024 berdiri saling berhadapan dan beradu pendapat mengenai pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup, sumber daya alam dan energi, pangan, agraria, masyarakat adat, serta desa.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Dalam ajang debat selama 2,5 jam tersebut, Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD tanpa ragu saling menyampaikan kritik, sanggahan, dan argumentasi terbaik. Salah satu topik yang cukup mendapat sorotan adalah mengenai masyarakat adat.

Secara total, kata ”adat” disebutkan sebanyak 32 kali oleh ketiga cawapres. Muhaimin Iskandar menjadi kandidat yang paling sering menyebutkan kata tersebut, yakni 12 kali. Tak berbeda jauh, Mahfud MD menyebutkan kata ”adat” sebanyak 11 kali. Sementara Gibran mengeluarkan kata ”adat” sejumlah 9 kali.

Ketika didalami lebih lanjut, topik mengenai masyarakat adat berpusar pada isu keterlibatan, penghormatan hak, dan kepastian hukum. Di segmen pertama, yakni penyampaian visi-misi, ketiga pasangan calon tampak memiliki kesamaan titik pandang terkait masyarakat adat. Mereka secara senada mendorong keterlibatan dan keadilan dalam upaya pemenuhan hak masyarakat adat.

Baca juga: Debat Cawapres Tema Lingkungan, Pelarangan Tambang di Pulau Kecil Perlu Perhatian

https://cdn-assetd.kompas.id/hKnCGbMi-n3EvBGqOOWqj8NchIU=/1024x2302/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F22%2F71004265-b42c-49ee-a82d-2960801f0ad3_png.png

Namun, memasuki segmen ketiga debat, para kandidat wakil presiden mulai menunjukkan perbedaan titik pandang. Muhaimin cenderung berfokus pada isu kurangnya keterlibatan masyarakat adat dalam kebijakan dan proyek pembangunan. Sementara itu, argumentasi Gibran bertumpu pada RUU Masyarakat Hukum Adat dan redistribusi lahan kepada masyarakat adat. Sementara isu kurangnya kepastian dan keberpihakan hukum beserta penerapannya bagi masyarakat adat terlihat mendominasi pernyataan Mahfud.

Keterlibatan

Pokok pikiran Muhaimin mengenai kurangnya keterlibatan masyarakat adat mencuat ketika ia menyinggung proyek food estate atau Program Peningkatan Penyediaan Pangan Nasional. ”Food estate terbukti mengabaikan petani kita, meninggalkan masyarakat adat kita, menghasilkan konflik agraria dan bahkan merusak lingkungan kita. Ini harus dihentikan,” ujarnya.

Proyek food estate yang dimaksud Muhaimin sejatinya memang telah mengundang banyak kontroversi sejak lama. Banyak pihak menilai, proyek ini kerap mengabaikan keterlibatan masyarakat adat setempat.

Hal ini pernah diutarakan oleh Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Kalimantan Tengah Ferdi Kurnianto. Ia menyampaikan bahwa masyarakat, khususnya komunitas adat, di sekitar lokasi proyek food estate tidak pernah dilibatkan atau bahkan setidaknya ditanya persetujuannya atas keberadaan proyek tersebut (Kompas.id, 19/6/2020).

Laporan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada 2021 menyatakan bahwa masyarakat adat dan orang asli Papua sama sekali tidak dilibatkan dalam perencanaan kebijakan program food estate seluas 2,68 juta hektar di Tanah Papua.

Baca juga: Analisis Debat Cawapres: Kelestarian Lingkungan Jadi Isu Penting

Calon wakil presiden Muhaimin Iskandar saat tampil dalam Debat Keempat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Calon wakil presiden Muhaimin Iskandar saat tampil dalam Debat Keempat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024).

Hal senada disampaikan Alsafana Rasman dkk, peneliti ilmu lingkungan dari Universitas Indonesia. Melalui hasil riset yang dipublikasikan pada 2023, mereka menyimpulkan bahwa salah satu faktor utama penyebab kegagalan berbagai program food estate adalah tidak melibatkan masyarakat sekitar dalam implementasi proyek.

Iklan

Kurangnya pemerintah melibatkan masyarakat adat ini lantas menjadi landasan Muhaimin dalam mendorong penghormatan hak-hak masyarakat adat. Menurut dia, hal ini sangat penting untuk mewujudkan agenda pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan. ”Menghormati masyarakat adat adalah memberikan ruang hak ulayat mereka, hak budaya mereka, hak spiritual mereka, hak dan kewenangan mereka menentukan cara membangun,” katanya.

Redistribusi lahan

Selain turut mengakui pentingnya peran dialog dan keterlibatan masyarakat adat, jawaban Gibran terkait persoalan masyarakat adat menitikberatkan pada RUU Masyarakat Hukum Adat dan redistribusi lahan. Hal ini telah ditunjukkannya sejak segmen pertama dan kembali diperkuat di segmen ketiga ketika ia merespons Mahfud. ”Prof Mahfud pasti paham bahwa RUU Masyarakat Hukum Adat ini masih kita usahakan untuk didorong,” ujarnya.

Menariknya, sekalipun Gibran sedikitnya dua kali menyebutkan RUU Masyarakat Hukum Adat, ia secara konsisten menggunakan diksi ”didorong” alih-alih ”disahkan”. Ini seakan menjadi cerminan dari rumitnya proses pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat.

Sebagaimana diketahui, RUU Masyarakat Hukum Adat adalah salah satu rancangan hukum yang sudah sejak lama diperjuangkan oleh komunitas masyarakat adat di Indonesia. AMAN menilai, RUU ini sangat krusial karena dapat menjadi jaminan kepastian hukum bagi pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.

Melansir dari Perkumpulan HuMa, penyusunan undang-undang bagi masyarakat adat telah diusulkan oleh AMAN sejak tahun 2003. Namun, DPR baru memasukkan RUU terkait masyarakat adat ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pertama kali pada 2013. Setelah itu, RUU ini sedikitnya telah terdaftar sebanyak tujuh kali selama sepuluh tahun belakangan. Meski demikian, RUU ini tak pernah disahkan hingga saat ini. Melansir dari situs resmi DPR, pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat kini berhenti di tahap harmonisasi, yang terakhir dilakukan pada 4 November 2020.

Baca juga: Gaya Debat Gibran Picu Sentimen Negatif

Calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka saat tampil dalam Debat Keempat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka saat tampil dalam Debat Keempat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024).

Selain RUU Masyarakat Hukum Adat, Gibran juga bertumpu pada redistribusi lahan kepada masyarakat adat. Ini tampak ketika Gibran mengklaim telah ada 1,5 juta hektar hutan adat yang diakui. Di samping itu, persoalan mengenai konflik tenurial masyarakat adat hendak diselesaikannya melalui redistribusi lahan dengan optimalisasi fungsi bank tanah. ”Jadi, permasalahannya kita selesaikan di pengadilan, masuk ke bank tanah, lalu diredistribusi ke masyarakat adat setempat atau pengusaha-pengusaha lokal,” ujarnya.

Perlu menjadi catatan bahwa klaim Gibran mengenai pengakuan 1,5 juta hektar hutan adat cukup meleset. Ini karena hingga Oktober 2023, luas hutan adat yang telah diakui negara baru 244.195 hektar. Jika ditambah dengan luas indikatif hutan adat seluas 836.141 hektar, maka jumlah totalnya pun baru 1.080.336 hektar.

Gagasan pengoptimalan bank tanah sebagai upaya percepatan redistribusi lahan dalam kerangka reforma agraria yang dibawa Gibran juga sepertinya akan mengalami banyak tantangan. Hingga 2023, pemerintah baru bisa meredistribusikan 1,8 juta. Padahal, pemerintah menargetkan dapat meredistribusikan 4,5 juta hektar lahan, dengan 4,1 juta hektar di antaranya merupakan pelepasan kawasan hutan. Ombudsman RI menjelaskan, alur birokrasi yang rumit, tumpang tindih aturan, minimnya informasi mengenai administrasi pertanahan di masyarakat, hingga indikasi mafia tanah menjadi faktor lambatnya realisasi redistribusi tanah di Indonesia.

Keberpihakan hukum

Di sisi lain, Mahfud terlihat nyata menjadikan pengalamannya di dunia hukum Indonesia sebagai pijakan argumentasinya. Di awal segmen ketiga, Mahfud menjelaskan bahwa terdapat 2.587 kasus terkait tanah adat yang direkapitulasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

Ia lantas berargumen, banyak kasus di lapangan terhambat penyelesaiannya karena lemahnya implementasi aturan oleh aparat penegak hukum. Maka dari itu, selain dengan menerbitkan aturan hukum yang pasti, upaya memulihkan hak-hak masyarakat adat, menurut dia, perlu dimulai dari tataran ketertiban dan kepatuhan aparat. ”Strateginya adalah penertiban birokrasi pemerintah dan aparat penegak hukum, karena kalau jawabannya laksanakan aturan, itu normatif,” katanya.

Baca juga: Di Debat Keempat Pilpres, Tingkat Kematangan Sikap Cawapres Terlihat

Calon wakil presiden Mahfud MD saat tampil dalam Debat Keempat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Calon wakil presiden Mahfud MD saat tampil dalam Debat Keempat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024).

Selanjutnya, Mahfud berusaha mengutamakan pentingnya kepastian dan keberpihakan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat. Kali ini, ia menggunakan pengalamannya berperan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-IX/2012 yang mendefinisikan ulang bahwa hutan adat bukanlah hutan negara. ”Definisi hutan adat yang sering dipakai sekarang itu sering menyingkirkan masyarakat adat dari lingkungan hidupnya,” ujar Mahfud. Sebagai contoh , ia menyebutkan bahwa terdapat sekitar ribuan warga masyarakat adat di Kalimantan Timur yang tidak mempunyai KTP karena tinggal di dalam kawasan hutan negara. Padahal, mereka sudah puluhan tahun tinggal di kawasan tersebut.

Dari ungkapan-ungkapan tersebut, Mahfud terlihat menempatkan konflik agraria sebagai persoalan utama yang dihadapi masyarakat adat. AMAN mencatat, setidaknya telah terjadi 301 kasus perampasan wilayah adat yang mencakup wilayah seluas 8,5 juta hektar pada kurun waktu 2017-2022. Lebih dari itu, setidaknya terdapat 672 warga masyarakat adat yang dikriminalisasi akibat konflik tersebut.

Banyaknya jumlah kasus tanah adat yang disampaikan Mahfud pun seakan menggambarkan sengkarut tumpang tindih wilayah adat dengan berbagai konsesi partikelir. Data dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pada 2021 menunjukkan, terdapat 3,1 juta hektar wilayah adat yang bertindihan dengan konsesi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK)-hutan alam, IUPHHK-hutan tanaman industri, izin pertambahan, dan hak guna usaha (HGU).

Sekalipun ketiga kandidat memiliki perspektif dan penekanan berbeda, semuanya menunjukkan semangat yang sama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat adat. Hal ini tentu perlu diapresiasi karena sudah sekian lama masyarakat adat menjadi kelompok terpinggirkan di atas tanah yang telah mereka diami turun-temurun. Semoga, semangat baik ini tak hanya berhenti di atas panggung debat, tetapi juga dapat terwujud nyata setelah salah satu dari ketiga pasangan capres dan cawapres terpilih pada Pemilu 2024 nanti. (LITBANG KOMPAS)

Editor:
BUDIAWAN SIDIK ARIFIANTO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000