Namun, perjuangan tersebut akan optimal apabila melibatkan kerja sama perundingan secara tripartit. Buruh dan pengusaha bernegosiasi dengan ditengahi oleh pemerintah untuk menghasilkan keuntungan bagi kedua belah pihak. Jadi, buruh tidak terkesan berjuang sendiri menuntut peningkatan kesejahteraan bagi kaumnya.
Harapan kerja sama antartiga pihak itu disampaikan sebagian besar responden dalam jajak pendapat Kompas mengenai buruh. Delapan dari 10 responden sepakat bahwa komunikasi tripartit antara buruh, pengusaha, dan pemerintah adalah ruang perjuangan yang paling efektif.
Mereka menilai bahwa dalam ruang bersama itu, aspirasi buruh akan lebih didengarkan. Bukan hanya menjadi perhatian pemerintah, pengusaha pun dapat benar-benar memahami kondisi para buruh.
Pandangan untuk mengoptimalkan komunikasi tripartit tersebut datang dari semua kalangan, baik dari kelompok pendidikan rendah maupun tinggi. Begitu halnya dengan kelompok sosial ekonomi, dari kalangan bawah hingga mapan sepakat komunikasi tripartit lebih efektif. Hanya 20 persen responden yang menyatakan demo dan aksi mogok lebih efektif dalam menyampaikan aspirasi buruh.
Secara regulasi, komunikasi tripartit merupakan forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri atas tiga unsur terkait, yakni pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2017 diatur adanya Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit yang dibentuk di tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota.
Baca juga: Industrialisasi Jadi Kunci Mendongkrak Upah Buruh
Salah satu produk nyata dari diskusi tiga pihak tersebut ialah kesepakatan batas waktu kontrak bagi pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang diperpanjang menjadi lima tahun. Ketentuan ini sebelumnya tercantum dalam UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Meski demikian, tidak semua hasil forum tripartit berpihak kepada buruh. Sebagai contoh penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2024 Provinsi DKI Jakarta. Merujuk publikasi Badan Pemeriksa Keuangan RI, ada tiga angka pengupahan yang diusulkan dari tiga pihak terkait saat perumusan upah pada 17 November 2023.
Berdasarkan penghitungan para pengusaha, UMP DKI Jakarta 2024 sebesar Rp 5.043.068 per bulan. Tidak terpaut jauh dari angka pemerintah daerah setempat, yakni Rp 5.067.381. Sementara itu, perwakilan dari kaum buruh mengusulkan sebesar Rp 5.637.068.
Empat hari kemudian, Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengumumkan UMP DKI Jakarta 2024 sebesar Rp 5.067.381 per bulan. Persis seperti yang diusulkan dalam forum tripartit.
Usulan tingkat upah relatif tinggi dari para buruh biasanya dinilai memberatkan pihak pengusaha sehingga perlu pertimbangan dari pemerintah mencari titik tengah. Idealnya, dengan kinerja sektor industri yang relatif tergolong baik, sebaiknya buruh juga dapat turut merasakan manfaat dari kontribusi hasil kerjanya selama ini. Apalagi, proporsi biaya tenaga kerja manufaktur selama ini masih relatif rendah.
Berdasarkan perbandingan produk domestik bruto (PDB) sektor manufaktur dengan total biaya tenaga kerja, ditemukan bahwa proporsi biaya tenaga kerja industri hanya sekitar 2,2 persen dari seluruh PDB sektor industri itu. Total biaya tenaga kerja didapat dari jumlah tenaga kerja dikalikan dengan rata-rata upah riil yang diterima para buruh. Dengan kata lain, bagian yang diterima buruh masih sangat minim. Padahal, hingga saat ini, merekalah penggerak utama sektor industri tersebut.
Sanksi tegas
Selain berfungsi sebagai penengah, pemerintah juga dapat menindak tegas para pengusaha yang tidak memenuhi ketetapan yang sudah diputuskan bersama. Sebagaimana diberitakan Kompas Rabu (7/7/2024), masih ada 21 provinsi di Indonesia yang buruh manufakturnya menerima upah bersih lebih kecil daripada UMP yang ditetapkan di provinsi bersangkutan tahun 2023.
Kondisi tersebut tampaknya belum beranjak jauh dari tahun 2021 saat pandemi masih melanda Indonesia. Dalam Statistik Ketenagakerjaan 2021 ditemukan hanya ada delapan provinsi yang persentase upah riilnya di atas UMP yang ditetapkan. Sebagian besar sisanya masih di bawah UMP yang sudah diputuskan.
Delapan provinsi yang upahnya relatif baik itu terpusat di Jawa sebagai pusat kantong industri. Tertinggi berada di Provinsi Banten, dengan sekitar 71 persen buruh di Banten sudah menerima upah di atas UMP yang ditetapkan. Sisanya, sekitar 29 persen, masih di bawah UMP. Upah tertinggi berikutnya diikuti oleh Jawa Barat (65,03 persen), Jawa Timur (57,34 persen), dan Jawa Tengah (55,59 persen).
Ada juga provinsi lain di luar Jawa yang upahnya cukup tinggi, yakni Kepulauan Riau. Mayoritas buruh di wilayah Kepri ini hampir 64 persennya menerima upah sudah di atas UMP yang ditetapkan.
Baca juga: Buruh, Penggerak Industri yang Kian Terpinggirkan
Namun, tingkat UMP yang relatif tinggi itu belum merata di Indonesia. Tingkat upah di sebagian besar wilayah Indonesia rata-rata masih di bawah UMP yang telah ditetapkan. Di Aceh, misalnya, hanya 23,21 persen buruh yang menerima upah di atas UMP yang ditetapkan. Ada pula Sumatera Selatan yang masih minim sesuai dengan ketentuan UMP, yakni sebesar 23,58 persen, Bangka Belitung 24,46 persen, dan Jambi 28,65 persen.
Fenomena tersebut menjadi ironi bagi kemajuan industrialisasi. Pasalnya, sektor manufaktur di sejumlah provinsi itu berkontribusi cukup tinggi bagi perekonomian daerah setempat. Di Sumatera Selatan, industri pengolahan menyumbang 17 persen pada produk dometik regional bruto (PDRB). Di Aceh dan Jambi pun manufaktur masuk jajaran lima besar sektor penyumbang tertinggi pada PDRB.
Hal itu patut menjadi perhatian pemerintah setempat dan pemerintah pusat untuk menegakkan keadilan dan mendorong kesejahteraan bersama. Apalagi, dalam UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai salah satu induk kebijakan terkait tenaga kerja ditegaskan bahwa pengusaha dilarang membayar upah rendah dari upah minimum. Sudah seharusnya amanat itu berlaku hingga saat ini mengingat buruh bukanlah obyek industri.
Oleh sebab itu, perbaikan tingkat upah buruh menjadi perhatian sebagian masyarakat Indonesia. Empat dari 10 responden jajak pendapat menyatakan bahwa memberikan upah yang layak mendesak untuk dilakukan pemerintah guna menghadirkan kehidupan yang lebih baik bagi kaum buruh.
Selain itu, sebagian responden juga mengusulkan pembenahan sejumlah regulasi. Sekitar 14 persen responden berpendapat bahwa pemerintah perlu merumuskan ulang formula penghitungan upah yang ada saat ini. Bahkan, sebesar 18,9 persen responden menyatakan bahwa pemerintah perlu merevisi UU Cipta Kerja yang selama ini dinilai sangat mencederai para buruh.
Publik juga menyoroti perlunya pemberian subsidi khusus bagi para buruh guna menunjang kehidupan mereka. Subsidi dapat diwujudkan dalam bentuk kebutuhan pokok hingga kredit rumah dan sejenisnya.
Sebagian besar masyarakat masih meyakini bahwa pemerintah masih dapat memperbaiki nasib para buruh dalam situasi ekonomi yang relatif serba sulit penuh tantangan saat ini. Langkah konkret pemerintah yang berpihak kepada buruh sangat dinantikan guna menjawab keyakinan publik tersebut. (Litbang Kompas)