Upaya Kelas Menengah Bertahan di Tengah Krisis Iklim
Kerusakan alam yang kian tinggi rentan mendorong golongan menengah turun tingkatan kelas menjadi lebih miskin.
Oleh
YOESEP BUDIANTO
·5 menit baca
Kelas menengah di Indonesia berada dalam kondisi serbaterbatas. Tidak jatuh miskin, tetapi sulit bertambah kaya. Di tengah perjuangan panjang memenuhi kebutuhan hidup, masyarakat golongan menengah ini juga harus survive di tengah ancaman krisis iklim. Potensi terlanda bencana alam, wabah penyakit, hingga tekanan mental senantiasa mengintai setiap saat.
Kelompok masyarakat tersebut sebagian besar masih harus hidup pas-pasan setiap hari. Pendapatannya cenderung lebih kecil dari pengeluaran sehingga penghasilan mereka sering kali minus setiap bulannya. Hasil liputan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menunjukkan bahwa rata-rata gaji kelas menengah tetap minus, yaitu diperkirakan sebesar Rp 118.986 pada tahun 2030 dan Rp 431.917 pada tahun 2045.
Defisit pendapatan yang terjadi setiap bulan membuat kelas menengah sulit menabung untuk kebutuhan darurat sehingga mereka kian susah untuk naik ke tingkatan lebih atas, yakni golongan orang kaya. Menurut publikasi ”Aspiring Indonesia-Expanding The Middle Class (2019)” oleh Bank Dunia, kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang memiliki pengeluaran per orang sekitar Rp 1,7 juta-Rp 8,2 juta setiap bulan.
Selain pemenuhan kebutuhan bulanan yang kian sulit, kelas menengah juga harus dihadapkan pada tekanan degradasi alam. Mereka harus menghadapi peningkatan risiko krisis iklim yang berpotensi menggerus perekonomian mereka lebih dalam lagi. Dampak dari krisis iklim tak hanya terkait bencana alam, melainkan juga termasuk wabah penyakit dan tekanan mental yang rentan dialami kelompok kelas menengah.
Dengan kerusakan alam yang kian besar, golongan menengah tersebut sangat rentan mengalami penurunan tingkatan kelas ekonomi. Di sisi lainnya, kelompok menengah ini tidak mendapat bantuan program jaminan sosial karena dinilai relatif mampu oleh pemerintah. Akibatnya, mereka berisiko jatuh pada jurang kemiskinan, terutama saat pemulihan pascaterimbas bencana ataupun krisis-krisis lainnya. Tidak banyak kebijakan pemerintah yang berpihak pada kelas menengah, padahal mereka adalah penggerak terbesar perekonomian domestik secara nasional.
Adanya krisis iklim saat ini turut memberikan tekanan berat yang signifikan bagi kelompok kelas menengah. World Economic Forum menyebut bahwa pemanasan global ini memiliki dampak luas dan signifikan bagi sedikitnya satu miliar jiwa kelompok ekonomi menengah di seluruh dunia. Angka tersebut termasuk 38,5 juta jiwa masyarakat Indonesia yang berada di level ekonomi menengah.
Suhu ekstrem dan banjir
Secara geografis, masyarakat kelas menengah umumnya terkonsentrasi di wilayah perkotaan yang notabene berisiko besar terdampak krisis iklim. Dua persoalan utama yang dihadapi di kawasan urban adalah kenaikan suhu ekstrem di lingkungan tempat tinggal dan tempat kerja, serta bencana banjir yang selalu mengintai di musim hujan.
Sebuah studi yang dilakukan perusahaan perbankan, investasi, dan jasa keuangan UBS di Swiss terhadap 215 kota di 15 negara tahun 2016 menunjukkan bahwa kelompok kelas menengah mengeluarkan rata-rata Rp 12 juta-Rp 24 juta lebih banyak setiap tahun untuk bertahan hidup di tengah risiko krisis iklim. Mereka melakukan berbagai upaya kompensasi dengan mengurangi banyak kebutuhan hidup demi melanjutkan hidupnya.
Dari analisis lingkungan yang nyaman untuk bekerja dan beraktivitas, suhu 20-30 derajat celsius merupakan zona nyaman bagi manusia. Sayangnya, banyak sekali wilayah perkotaan yang memiliki suhu jauh lebih tinggi sehingga manusia lebih sulit beradaptasi. Studi tersebut juga menyebutkan bahwa mortalitas akan naik hingga 2 persen setiap kenaikan sebesar satu derajat celsius.
Kenaikan suhu udara yang tinggi dapat berdampak negatif bagi kesehatan manusia sehingga dapat memicu berbagai penyakit berbahaya. Salah satu suhu panas ekstrem yang sempat dirasakan masyarakat Indonesia terjadi pada September 2023 lalu. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat suhu harian saat itu menyentuh angka 38 derajat celsius. Dampaknya, tidak hanya terik matahari yang dirasa sangat menyengat, tetapi tubuh juga menjadi lebih rentan dehidrasi dan cepat lelah. Risiko infeksi pernapasan karena debu polusi juga meningkat tajam.
Selain suhu yang ekstrem, risiko bencana banjir juga terus membayangi masyarakat perkotaan, termasuk masyarakat golongan menengah yang turut terimbas bencana tersebut. Mereka harus bertahan di lingkungan yang tidak stabil karena rawan terjadi banjir besar setiap saat. Selain berisiko mengalami kerugian ekonomi, bencana ini juga memicu timbulnya infeksi penyakit yang mengganggu produktivitas manusia. Jadi, dengan adanya krisis iklim saat ini, potensi terjadinya risiko bencana alam seperti panas ekstrem, hujan ekstrem, hingga banjir terus meningkat disertai dengan potensi penyakit yang juga terus merebak.
Mirisnya, semua kerugian yang diakibatkan oleh bencana alam akibat krisis iklim tersebut hampir sama sekali tidak diganti oleh asuransi. Tingkat asuransi aset di berbagai wilayah di dunia, termasuk Indonesia, terbilang sangat rendah. Antara tahun 1980 dan 2014 saja, hanya 9 persen kerugian yang diasuransikan di kawasan Asia. Kurangnya perlindungan terhadap aset-aset itu kian meningkatkan skala kerugian ekonomi.
Oleh sebab itu, perlu adanya kebijakan perlindungan sosial yang lebih luas. Pasalnya, golongan menengah juga kian rentan terimbas berbagai risiko dampak degradasi alam sehingga golongan yang relatif mapan ini pun rawan tergelincir pada kemiskinan. Pemerintah perlu mempertimbangkan perlindungan sosial pada kelompok ini, terutama saat terjadi guncangan ekonomi, seperti pemutusan hubungan, kegagalan panen dan risiko inflasi bahan pangan, atau kerugian karena terdampak bencana.
Kesehatan mental
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan adanya perubahan pola sikap manusia yang kecenderungan menunjukkan tekanan emosional akibat krisis iklim. Perubahan drastis kualitas lingkungan tempat tinggal karena bencana atau wabah penyakit dapat berpengaruh pada kondisi psikologis seseorang. Menurunnya kualitas lingkungan menuntut belanja konsumsi yang lebih banyak demi meningkatkan mutu kehidupan dan juga kesehatan. Sayangnya, tidak semua manusia memiliki tingkat pendapatan yang cukup sehingga memberikan tekanan psikologis karena individu bersangkutan terpaksa hidup dengan lingkungan yang kurang memadai.
Di tengah berbagai tekanan terhadap kelas menengah, mereka dituntut memiliki daya adaptasi yang memadai. Setiap individu perlu menyadari bahwa saat ini kondisi lingkungan sedang mengarah pada kerusakan besar. Kemampuan bertahan hidup setiap individu di kelompok kelas menengah perlu senantiasa ditingkatkan.
Secara umum, sebagian besar masyarakat Indonesia telah memiliki kesadaran penuh terhadap krisis iklim. Berdasarkan jajak pendapat Kompas pada 18-20 Desember 2023 lalu, sebanyak 88,4 persen publik meyakini bahwa dampak krisis iklim lebih terasa dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi krisis iklim yang paling dirasakan adalah iklim dan musim makin tidak menentu.
Kelas menengah merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap dampak krisis iklim. Karenanya, ada dua agenda besar agar mampu bertahan, yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk menekan risiko, sedangkan adaptasi adalah usaha untuk hidup berdampingan dengan situasi krisis yang tengah terjadi. Inilah kunci bertahan hidup para kelas menengah.
Keberhasilan mitigasi dan adaptasi ditentukan oleh keseriusan pemerintah dalam menyediakan layanan sosial yang memadai. Layanan tersebut diimplementasikan ke dalam penyediaan infrastruktur dan rumusan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan dan keselamatan publik. Harapan besarnya, pemerintah dapat memastikan setiap individu memiliki daya pulih yang tangguh di tengah krisis iklim. (LITBANG KOMPAS)