Berharap Gubernur Jakarta Tetap Dipilih Langsung
Polemik wacana penunjukan langsung Gubernur Jakarta dalam RUU DKJ dan dampaknya terhadap kemunduran demokrasi.
Ada wacana Gubernur Jakarta tak lagi dipilih secara langsung, tetapi ditetapkan melalui mekanisme penunjukan langsung. Rencana ini digelayuti dengan kekhawatiran publik atas potensi konflik kepentingan dan kemunduran demokrasi. Tak pelak, publik pun berharap pilkada langsung tetap digelar di Jakarta.
Polemik ini bermula dari berlakunya UU No 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Dengan hadirnya UU ini, Jakarta tidak lagi menyandang status sebagai ibu kota Indonesia. Tepatnya, status ini sudah beralih ke Nusantara, Kalimantan Timur, semenjak 15 Februari lalu.
Pergantian status ini pun dibarengi dengan kekosongan hukum di Jakarta, seiring dengan masih berjalannya proses pembahasan RUU Daerah Keistimewaan Jakarta (RUU DKJ).
Meski dikejar waktu, RUU ini tampak masih mengandung berbagai pasal bermasalah. Salah satu pasal yang memicu kontra dari draf RUU ini ialah Pasal 10 Ayat (2) yang menyatakan bahwa gubernur dan wakil gubernur Jakarta nantinya akan diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD. Proses pemilihan gubernur secara tidak langsung ini pun direspons publik.
Penolakan masyarakat terhadap pasal penunjukan langsung Gubernur Jakarta ini menjadi salah satu kesimpulan dalam jajak pendapat Litbang Kompas yang diselenggarakan pada akhir Februari lalu. Berdasarkan jajak pendapat ini, terdapat 66,1 persen responden yang mengaku tidak setuju apabila gubernur Jakarta dipilih melalui jalan penunjukan langsung.
Baca juga: Presiden Jokowi: Gubernur Jakarta Perlu Tetap Dipilih oleh Rakyat
Kemunduran demokrasi
Keengganan masyarakat atas gagasan ini berakar pada kekhawatiran atas situasi demokrasi. Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa lebih dari 40 persen masyarakat melihat jika tidak adanya pilkada langsung di Jakarta menjadi penanda bahwa demokrasi mengalami kemunduran.
Kekhawatiran ini tentu bukan tanpa alasan. Selama ini, Jakarta menjadi salah satu pivot dari demokrasi bangsa. Selain karena dihuni oleh kantor-kantor pusat pemerintahan dan partai politik, sehatnya demokrasi di Jakarta juga didorong oleh kultur demokratis yang cukup terbangun.
Hal ini pun terkonfirmasi dari indeks demokrasi yang dikeluarkan oleh BPS. Selama 2021 hingga 2022, Jakarta mampu menjaga situasi demokrasi dengan cukup konsisten dengan raihan skor sebesar 82,08 dan 82,13. Meskipun, skor ini masih kalah tinggi dibandingkan dengan beberapa daerah, seperti DI Yogyakarta, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Persoalan demokrasi ini pun selaras dengan perihal keterwakilan. Nyaris 10 persen dari responden jajak pendapat yang menolak mengatakan, menghilangkan pilkada berarti menjadikan gubernur bukan lagi sebagai perwakilan dari rakyat. Selaras, sekitar seperempat dari publik juga menyampaikan kekhawatirannya jika hal ini akan membuat aspirasi masyarakat makin tidak didengarkan.
Baca juga: RUU DKJ Dibahas, Pasal Kontroversial Penunjukan Gubernur Jakarta Masih Bisa Diubah
Keterlibatan pusat
Meskipun begitu, patut diakui bahwa masyarakat tidak sepenuhnya antipati dengan keterlibatan pemerintah pusat dalam pemerintahan Jakarta ke depannya. Dari sekitar 30 persen responden yang mendukung rencana penunjukan langsung Gubernur Jakarta, mayoritas di antaranya mengharapkan stabilitas dan keberlanjutan.
Hal ini pun tecermin dari hasil jajak pendapat kali ini. Sekitar 16 persen dari responden yang setuju beranggapan bahwa mekanisme penunjukan langsung akan menjamin pembangunan yang berkelanjutan. Agaknya, sebagian dari masyarakat ini melihat bahwa transisi yang terjadi antar-pemerintahan di DKI Jakarta kurang mempertimbangkan aspek tersebut.
Asumsi ini pun sangat relevan dengan problematika yang kini tengah hangat di Jakarta. Program Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) yang digagas pada era kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama pada 2016 dan dilanjutkan oleh Anies Baswedan hingga 2022, terancam diberhentikan oleh Pj Gubernur Jakarta saat ini, Heru Budi Hartono. Akibatnya, ribuan mahasiswa pun terancam putus kuliah.
Selain keberlanjutan, aspek lain yang juga diperhatikan oleh masyarakat ialah kontribusi pembangunan dari pemerintah pusat. Hasil survei menunjukkan, lebih dari 32 persen responden menaruh harapan akan makin melesatnya pembangunan di Jakarta apabila gubernur ditentukan melalui penunjukan langsung.
Sebagian dari masyarakat yang sepakat dengan gagasan ini juga merasa jika peran pusat bisa besar karena memiliki informasi yang lebih lengkap dan visi yang lebih luas ketimbang pemerintah daerah.
Harapan atas keterlibatan lebih pemerintah pusat dalam pemerintahan Jakarta diamini oleh sebagian besar responden jajak pendapat, baik yang setuju maupun menolak penunjukan langsung.
Jajak pendapat menunjukkan bahwa 60 persen responden merasa berbagai permasalahan akut seperti kemacetan dan banjir bisa lebih cepat ditangani apabila mendapat perhatian lebih dari pemerintah pusat. Meski, masih ada lebih dari sepertiga responden yang skeptis dengan peran pusat dalam membantu Pemprov Jakarta menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
Lebih lanjut, dalam hal penunjukan langsung gubernur, publik juga menyoroti soal dampak negatif dari pemilihan langsung. Hampir seperlima dari responden yang setuju merasa bahwa keterbelahan masyarakat akibat pilihan politik bisa dihindari apabila nantinya gubernur tidak lagi ditentukan melalui pilkada. Selain itu, sekitar 16 persen lainnya juga menyatakan bahwa dana untuk Pilkada bisa dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jakarta.
Baca juga: Gubernur Jakarta Ditunjuk Presiden atas Usul DPRD, Demokrasi Pun Dinilai Dipreteli
Dorong keterlibatan
Dari segala perdebatan terkait dengan RUU DKJ, terdapat satu hal yang disepakati oleh masyarakat, yakni soal pentingnya keterlibatan publik. Sayangnya, hasil jajak pendapat justru menunjukkan bahwa sebagian besar warga masih belum merasa dilibatkan dalam diskursus terkait masa depan Jakarta ini.
Padahal, apa pun bentuk pemerintahan Jakarta nanti, masyarakatlah yang akan paling merasakan dampaknya. Bagaimanapun juga, walau sudah tak menyandang status ibu kota negara, Jakarta nantinya akan tetap menjadi pusat perekonomian Indonesia. Status ini, meski tidak disematkan secara formal seperti Ibu Kota Negara, kemungkinan besar akan terus bertahan hingga berpuluh tahun ke depan.
Artinya, persoalan Jakarta bukan soal warganya saja. Melainkan melibatkan hajat hidup banyak orang yang mungkin tidak tinggal di provinsi ini. Maju mundurnya provinsi ini pun akan turut menentukan liku jalan perekonomian bangsa.
Tak ayal, diperlukan kehati-hatian yang ekstra dalam merancang dan membahas RUU DKJ. Jangan sampai, karena alasan diburu waktu, banyak pasal-pasal yang bermasalah justru lolos ke UU yang nantinya disahkan.
Agar bisa meminimalkan hal tersebut, pemerintah dan para anggota legislatif perlu membuka telinga lebar-lebar agar bisa mendengar masukan serta aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat. (LITBANG KOMPAS)