Zakat bisa menjadi media solidaritas bagi upaya membantu masyarakat kurang mampu.
Oleh
GIANIE
·3 menit baca
Kenaikan harga beras dan masalah ketahanan pangan yang dihadapi Indonesia saat ini berdampak pada daya beli dan kesejahteraan masyarakat. Daya beli yang tergerus akan meningkatkan angka kemiskinan. Bukan hanya perlindungan sosial, kondisi ini juga membutuhkan kepedulian sosial yang tinggi dari masyarakat.
Bulan Ramadhan menjadi oase bagi masyarakat kurang mampu. Di bulan di mana umat Islam menjalankan ibadah puasa ini terdapat satu perintah wajib bagi kaum yang mampu untuk mengeluarkan zakat fitrah. Perintah ini mengandung dimensi kepedulian dan solidaritas terhadap sesama.
Besaran zakat fitrah adalah beras atau makanan pokok seberat 2,5 kilogram atau 3,5 liter per jiwa. Zakat fitrah diperbolehkan ditunaikan dalam bentuk uang, yang nominalnya menyesuaikan dengan harga beras yang dikonsumsi.
Untuk tahun 2024 ini, berdasarkan Surat Keputusan Ketua Badan Amil Zakat Nasional Nomor 10 Tahun 2024 tentang Nilai Zakat Fitrah dan Fidyah untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi ditetapkan nilai zakat fitrah setara dengan uang sebesar Rp 45.000 per jiwa.
Zakat fitrah ditunaikan sejak awal Ramadhan dan paling lambat dilakukan sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri. Penyalurannya kepada penerima yang berhak paling lambat sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri.
Di sinilah zakat fitrah dimaknai sebagai kegiatan berbagi kebahagiaan dan kemenangan di hari raya dengan semua kalangan, termasuk masyarakat yang kurang mampu.
Menurut ajaran Islam, terdapat delapan golongan masyarakat yang berhak menerima zakat (mustahik). Mereka adalah orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil (pengelola) zakat, orang-orang yang dilembutkan hatinya untuk Islam seperti mualaf, budak atau hamba sahaya, orang-orang yang berutang, orang-orang yang berjuang di jalan Allah (sabilillah), dan orang-orang yang bepergian untuk keperluan maslahat seperti menuntut ilmu.
Bulan Ramadhan memberi kesempatan kepada kaum Muslim untuk berlomba-lomba dalam beramal. Selain menunaikan zakat fitrah, kesempatan beramal juga dapat dilakukan dengan mengeluarkan zakat mal atau zakat harta yang besarnya setara dengan 85 gram emas bagi yang memiliki harta mengendap selama setahun dan telah memenuhi nisabnya. Juga ada bentuk infak dan sedekah lainnya yang sifatnya spontanitas dan sporadis.
Beragam saluran amal kebaikan ini telah membudaya dan menunjukkan kepedulian sosial yang tinggi terhadap sesama. Tidak hanya di bulan Ramadhan, kepedulian sosial ini berlanjut di bulan-bulan lain. Oleh karena itu, tak heran bila masyarakat Indonesia terkenal dengan kedermawanannya.
Bahkan, dunia melalui Charities Aid Foundation yang menyusun World Giving Index menempatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia.
Berdasarkan laporan World Giving Index 2022, predikat negara paling dermawan disandang Indonesia selama lima tahun secara berturut-turut (2018-2022). Tahun 2022, skor kedermawanan Indonesia adalah yang tertinggi, yaitu 68 persen, mengalahkan negara-negara kaya, seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, ataupun Kanada.
Menurut para ahli filantropi, kedermawanan orang Indonesia yang tinggi ini dipengaruhi oleh ajaran agama dan tradisi lokal. Ajaran agama yang dimaksud tak lain adalah ajaran agama Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia, yang salah satunya memerintahkan untuk mengeluarkan zakat, infak, dan sedekah (ZIS). Adapun tradisi lokal mengacu pada kebiasaan gotong royong yang tumbuh di tengah masyarakat.
Oleh sebab itu, potensi ZIS di Indonesia tergolong besar. Badan Amil Zakat Nasional atau Baznas menghitung potensi ZIS mencapai Rp 327 triliun per tahun. Potensi itu didapat dari zakat penghasilan, pertanian, perkebunan, peternakan, dan sektor lainnya.
Meski demikian, dana ZIS yang berhasil dihimpun oleh Baznas relatif masih kecil. Pada tahun 2021, ZIS yang terhimpun sebesar Rp 14,22 triliun. Pada tahun 2022, jumlahnya meningkat 58 persen menjadi Rp 22,47 triliun. Pada tahun 2023 ditargetkan bisa terhimpun Rp 31,2 triliun.
Relatif kecilnya dana ZIS yang terhimpun di Baznas dibandingkan potensinya bukan karena rendahnya kemampuan masyarakat. Hal itu terjadi lebih karena masih rendahnya tingkat literasi masyarakat untuk menyalurkan zakatnya melalui lembaga resmi pemerintah.
Masyarakat cenderung menyalurkan zakatnya langsung kepada penerima zakat yang berhak atau melalui badan amil zakat yang berada di lingkungan tempat tinggalnya, seperti masjid atau mushala. Selain karena faktor kemudahan, hal itu juga untuk memprioritaskan penerima yang berhak adalah warga di lingkungan terdekat.
Tingkat literasi mengenai zakat memang memengaruhi perilaku seseorang dalam memutuskan untuk menyalurkan zakat melalui lembaga zakat resmi seperti Baznas.
Hasil pemetaan dari Baznas menunjukkan tingkat literasi masyarakat mengenai zakat, yang diukur melalui Indeks Literasi Zakat pada tahun 2022, tergolong menengah atau moderat dengan skor 75,26. Skor ini sebenarnya sudah meningkat 8,48 poin dibandingkan skor indeks pada tahun 2020.
Kondisi indeks moderat ini cukup merata terjadi di wilayah Indonesia, kecuali di wilayah Jawa-Bali-Nusa Tenggara yang memiliki tingkat literasi zakat yang lebih tinggi dengan skor di atas 80 dibandingkan wilayah lainnya.
Beberapa faktor dapat memengaruhi tingkat literasi zakat menjadi lebih tinggi, misalnya faktor pendidikan, pendapatan, wilayah tempat tinggal, atau latar belakang pekerjaan.
Dalam laporan Baznas disebutkan bahwa responden yang berpendidikan hingga tingkat magister memiliki nilai indeks literasi zakat yang tinggi untuk dimensi baik pengetahuan zakat yang dasar maupun pengetahuan lanjutan.
Responden yang memiliki pendapatan di atas Rp 7 juta juga memiliki nilai indeks literasi zakat yang lebih tinggi dibandingkan yang pendapatannya di bawah itu. Begitu juga responden yang bertempat tinggal di wilayah perkotaan dan merupakan tokoh agama juga memiliki nilai indeks literasi zakat yang lebih tinggi.
Terlepas dari tingkat literasi mengenai zakat yang perlu ditingkatkan, kedermawanan yang membudaya di Indonesia ini telah turut mendukung upaya mengentaskan rakyat miskin dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Hal itu bisa dilihat dari penyaluran ZIS yang tidak hanya dalam bentuk bahan kebutuhan pokok atau pangan, tetapi juga berupa program-program pemberdayaan, seperti program balai ternak, lumbung pangan, beasiswa pendidikan, dan santripreneur.
Dalam laporan per Februari 2024, Baznas menyebutkan bahwa mereka pada tahun 2023 lalu telah melakukan pengentasan rakyat miskin kepada 54.081 jiwa penerima manfaat atau sebesar 58,76 persen, dan sebanyak 21.140 jiwa di antaranya penerima yang termasuk dalam kemiskinan ekstrem. (LITBANG KOMPAS)