25 Tahun Putin Melawan Terorisme di Rusia
Aksi terorisme menjadi momok utama bagi Putin selama memegang kekuasaan di ”Negara Beruang Merah” selama puluhan tahun.
Hanya berselang empat hari setelah Vladimir Putin kembali memenangi pemilu presiden, Rusia dikejutkan dengan salah satu serangan teroris paling berdarah dalam sejarah negeri itu. Rekam jejak selama 30 tahun terakhir menunjukkan, aksi terorisme menjadi momok utama bagi Putin selama memegang kekuasaan di ”Negara Beruang Merah”.
Rusia tengah diguncang salah satu serangan teroris paling mematikan dalam sejarahnya. Pada Jumat (22/3/2024) lalu, sekelompok pria bersenjata menyerbu sekitar 6.200 penonton konser kelompok band rock Picnic di Crocus City Hall di Krasnogorsk, 20 kilometer sebelah barat Moskwa.
Tanpa pandang bulu, empat teroris menembakkan senapan serbu otomatis terhadap para pengunjung. Tak hanya itu, mereka juga menyulut bom bensin yang membakar seluruh gedung konser. Sedikitnya 143 warga sipil dilaporkan tewas dan lebih dari 100 lainnya cedera akibat serangan mematikan ini.
Insiden mematikan itu menggemparkan seluruh Rusia dan juga dunia internasional. Namun, meski asap sisa kebakaran di gedung konser sudah lenyap, kabut misteri masih menutupi siapa dalang dan apa motif sesungguhnya dari aksi tak berperikemanusiaan tersebut.
Aksi terorisme tersebut menjadi lebih rumit untuk ditelusuri karena situasi geopolitik Rusia yang tengah terlibat dalam perang terbuka di Ukraina dan perang dingin dengan Amerika Serikat. Moskwa hingga kini bersikukuh bahwa Kyiv terlibat dalam serangan mematikan di jantung kekuatan Rusia itu. Tuduhan ini segera ditepis dengan keras oleh Ukraina. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy bahkan menuduh balik Rusia hanya berusaha menjadikan Ukraina sebagai kambing hitam.
Sementara itu, respons Amerika Serikat menambah kompleks spekulasi yang beredar. Washington mengklaim telah mengetahui akan terjadi serangan berdarah di Rusia sejak dua pekan sebelumnya berdasarkan informasi intelijen negaranya. Tak hanya itu, pejabat AS juga yakin bahwa serangan itu bukan dilancarkan oleh Ukraina, melainkan oleh jaringan kelompok ekstremis Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS).
Baca juga: Rusia Tuding Ukraina Terlibat Serangan di Dekat Moskwa, Korban Tewas Jadi 133 Orang
Seakan membenarkan informasi intelijen AS, NIIS juga menyatakan klaim sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serangan itu. Hal ini disampaikan melalui pernyataan tertulis pada hari kejadian dan rilisan video singkat keesokan harinya (Sabtu, 23/3/2024). Melansir dari CNN, klaim tersebut dipublikasikan oleh Amaq,sebuah saluran media terafiliasi NIIS, lewat kanal Telegram.
Meski demikian, klaim NIIS tersebut tidak serta-merta menjadi jawaban atas teka-teki terhadap kasus terorisme itu. Pasalnya, Rusia tidak menanggapi klaim itu dan tetap bersikukuh bahwa Ukraina memiliki andil dalam serangan. Moskwa pun balik mencurigai Washington dan membantah telah menerima informasi intelijen dari AS.
Penyangkalan atau pengabaian Moskwa terhadap klaim NIIS tersebut dapat diduga memiliki kaitan terhadap pemilu Rusia yang baru saja berlangsung. Pasalnya, pemilu presiden Rusia 2024-2030 kembali dimenangkan oleh petahana selama 12 tahun terakhir, Vladimir Putin. Pemilu ini pun semakin penting bagi Putin karena memecahkan rekor tertinggi pasca-Soviet, dengan 88 persen atau 76 juta suara (Kompas.id, 18/3/2024).
Kemenangan Putin secara mutlak itu lantas seakan menjadi alasan kuat supaya narasi permusuhan tetap ditujukan kepada Ukraina. Hal ini tak terlepas dari peperangan di Ukraina yang masih belum menunjukkan perkembangan signifikan bagi Rusia, sekalipun sudah berlangsung lebih dari dua tahun. Melimpahkan seluruh kesalahan terhadap Kyiv kemungkinan dipandang sebagai pilihan terbaik Putin untuk tetap mempertahankan dukungan rakyat Rusia terhadap ambisi politiknya.
Selain itu, keengganan Putin untuk merespons klaim NIIS tersebut kemungkinan sebagai bentuk upaya mempertahankan citra politisnya sebagai sosok kuat yang mampu mengontrol dan menjaga keamanan negara. Mengakui bahwa NIIS berhasil melancarkan serangan di jantung kekuatan Rusia ibarat sama saja menambah panjang ”portofolio” kegagalan Putin dalam menangani terorisme di negaranya.
Terorisme dan perang Chechnya
Aksi terorisme memang tak bisa dilepaskan dari karier politik Putin sebagai penguasa Rusia. Selama 25 tahun kiprahnya menjadi pemimpin negara sebagai presiden atau perdana menteri, Rusia telah didera sedikitnya 39 aksi terorisme.
Adapun semua tindakan terorisme itu telah memakan korban jiwa lebih kurang 1.543 nyawa dan 3.740 orang cedera pada kurun waktu 1999-2023. Pengeboman menjadi aksi terorisme yang paling sering terjadi. Sekitar 80 persen atau 31 serangan teroris berupa serangan bom, baik itu bom bunuh diri maupun diledakkan dari jarak jauh. Sisanya, delapan aksi terorisme lain dilancarkan dalam bentuk serangan bersenjata.
Terorisme telah menghantui rezim Putin, bahkan sejak awal dirinya memegang tampuk kekuasaan. Sebulan setelah dirinya dilantik menjadi perdana menteri pada Agustus 1999, Rusia diguncang oleh rangkaian aksi teroris berdarah.
Pada September 1999, empat gedung apartemen di Rusia luluh lantak akibat ledakan bom berdaya ledak besar. Akibatnya, tak kurang dari 308 orang meninggal dan 697 lainnya terluka. Hampir semuanya adalah warga sipil yang tengah terlelap karena pengeboman terjadi di tengah malam.
Baca juga: Serangan Teroris Mengguncang Rusia
Pemerintah Rusia segera menuduh kelompok separatis Chechnya sebagai pelaku utama dari serangan tersebut. Namun, hasil investigasi dari sejumlah pihak menduga bahwa agen keamanan Rusia adalah dalang sebenarnya.
Dugaan itu salah satunya tertuang dalam dokumen laporan untuk Senat AS yang dirilis pada Januari 2018. Di dalamnya terdapat sejumlah bukti bahwa aksi peledakan tersebut dilakukan oleh FSB atau Agen Keamanan Federal Rusia sebagai justifikasi untuk melangsungkan perang terbuka terhadap separatis Chechen.
Putin lantas diduga memanfaatkan tragedi tersebut sebagai alasan kuat penyerbuan besar-besaran terhadap Grozny, ibu kota Republik Chechen yang dikuasai separatis. Perang yang kelak menjadi perang Chechnya kedua tersebut terbukti mendongkrak popularitas Putin di mata rakyat Rusia yang jengah dengan pemerintahan Boris Yeltsin yang dinilai lemah dan korup. Ia pun berhasil memenangi pemilihan presiden perdananya pada Maret 2000.
Namun, ibarat efek domino, perang brutal terhadap kelompok separatis Chechnya menjadi penyulut aksi terorisme yang tak kalah mematikan di tahun-tahun berikutnya. Salah satunya adalah tragedi yang serupa dengan insiden serbuan di gedung konser Crocus City Hall. Sebagaimana diberitakan Kompas (30/10/2002), sebanyak 40 anggota gerakan separatis Chechnya menyerbu gedung teater Dubrovka di Moskwa dan menyandera 912 warga sipil pada 23 Oktober 2002.
Para penyerang tersebut menuntut supaya Rusia menarik mundur seluruh pasukannya dari Chechnya. Tapi, Putin bersikeras menolak negosiasi dan memilih mengambil jalan kekerasan. Pada akhirnya, tidak kurang dari 132 sandera tewas dan 700 lainnya terluka. Hasil otopsi menyatakan, sebagian besar di antaranya meninggal karena terpapar gas tidur yang digunakan personel Rusia untuk menyerbu para penyandera.
Selanjutnya, aksi terorisme dari pejuang Chechnya yang sangat tragis adalah penyanderaan terhadap lebih dari 1.181 orang di Gedung Sekolah Nomor 01 Beslan, Ossetia Utara, Rusia, pada 1 September 2004. Pada hari naas itu, puluhan gerilyawan separatis Chechnya menyerbu sekolah yang tengah dipadati 1.500 anak-anak, guru, dan para orangtua.
Keceriaan hari pertama masuk sekolah pun berubah menjadi duka mendalam ketika akhirnya sebanyak 364 sandera tewas, dengan 186 di antaranya anak-anak, dan 700 lebih lainnya luka-luka. Sejumlah pihak mengkritik bahwa tingginya korban jiwa tersebut dikarenakan aksi pembebasan dari pasukan Rusia yang gegabah dan berlebihan (Kompas, 6/9/2004).
Kelompok ekstremis Islam
Perlakuan tangan besi Putin terhadap rakyat Chechen, Dagestan, dan Kaukasus Utara yang mayoritas beragama Islam pada akhirnya memprovokasi aksi-aksi terorisme dari kelompok ekstremis Islam. Salah satu yang paling berdarah adalah serangan bom bunuh diri di dua stasiun kereta bawah tanah Moskwa pada 29 Maret 2010. Aksi yang dijalankan oleh dua wanita asal Dagestan tersebut menyebabkan 40 orang tewas dan tak kurang dari 100 lainnya luka-luka.
Dalang utama dari serangan ini adalah Doku Umarov, pemimpin kelompok ekstremis Emirat Kaukasus. Ia mengaku memerintahkan serangan di ibu kota Rusia tersebut dengan tuntutan kemerdekaan terhadap negara-negara Islam di daerah Kaukasus Utara. Kelak, Emirat Kaukasus berubah menjadi Vilayat Kavkaz yang berbaiat pada NIIS (Kompas, 3/4/2010; Kompas.id, 23/3/2024).
Baca juga: Cikal Bakal NIIS di Rusia, Mengapa Mereka Serang Jantung Pemerintahan Putin?
Kebangkitan NIIS pada 2013 pun semakin memperkuat aksi-aksi terorisme dari sayap kanan Islam di Rusia. Alasan menjadikan Rusia sebagai target sasaran semakin menguat tatkala Moskwa terlibat dalam perang melawan NIIS di Suriah pada 2015.
Serangan pertama NIIS terhadap Rusia yang pertama dan paling mematikan terjadi pada 31 Oktober 2015. Saat itu, pesawat Metrojet penerbangan 9268 dari Mesir menuju St Petersburg meledak di langit Semenanjung Sinai, Mesir. Semua penumpang sebanyak 244 orang dan kru tewas akibat insiden ini, dengan 94 persen di antaranya warga negara Rusia. NIIS lantas mengklaim sebagai penanggung jawab atas peledakan pesawat naas tersebut (Kompas, 30/11/2015).
Rentetan aksi terorisme di Rusia itu mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah di bawah rezim Putin yang sangat militeristik justru meningkatkan kerawanan bagi warga negara Rusia. Aksi militer Putin yang brutal terhadap rakyat Chechnya dan Dagestan telah menjadi penyulut kebencian bagi kelompok ekstremis yang tak kunjung padam hingga kini.
Kegagalan Putin menangani aksi terorisme dari kelompok ekstremis selama puluhan tahun pun patut menjadi alasan kuat untuk mempertanyakan kembali keputusannya melanjutkan perang di Ukraina. Selama Putin masih mengutamakan pendekatan militeristik yang berdarah-darah, selama itu pula warga sipil Rusia harus waspada terhadap kerawanan aksi-aksi teror di masa mendatang. (LITBANG KOMPAS)