Jalan pengabdian seorang marbot yang mengurus segala keperluan ibadah di masjid perlu diberikan apresiasi lebih baik.
Oleh
YOHANES ADVENT KRISDAMARJATI
·5 menit baca
Sebagai pekerja informal dalam bidang keagamaan, menjadi seorang marbot tidak semata-mata sebagai sebuah pekerjaan, tetapi sekaligus sebagai wujud pengabdian melayani umat Islam. Oleh sebab itu, kesejahteraannya turut menjadi bagian tanggung jawab pihak yang dilayani, yaitu umat yang senantiasa merasakan kenyamanan beribadah di masjid yang dirawat oleh para marbot.
Kesejahteraan marbot dapat ditilik melalui dua sudut pandang. Dari faktor duniawi salah satunya dilihat dari kecukupan secara ekonomi, sementara faktor lainnya lagi terkait kepuasan batin, yakni relasi vertikal antara individu marbot dan Sang Pencipta.
Melihat fenomena tersebut, secara metode penelitian, faktor yang bisa diteliti melalui jajak pendapat hanyalah yang bersifat duniawi, yaitu pada faktor ekonomi. Jasa marbot bekerja menjaga kebersihan dan keamanan masjid, mempersiapkan keperluan ibadah, serta mengumandangkan azan diganjar dengan sejumlah uang yang didapat dari kemurahan hati umat yang beribadah di masjid tempat marbot berkarya.
Potret kondisi kesejahteraan marbot tergambarkan melalui jajak pendapat Kompas. Hasilnya ditemukan bahwa lima dari sepuluh responden memandang kondisi marbot di masjid tempat mereka biasa beribadah dalam kondisi sudah cukup sejahtera secara ekonomi. Meski demikian, masih perlu diperhatikan juga pernyataan 41,3 persen responden yang mengungkapkan marbot di tempat mereka beribadah masih belum bisa dikatakan sejahtera.
Gambaran situasi tersebut masih dalam lingkup nasional yang diperoleh dari 505 responden dari 38 provinsi di Indonesia. Temuan terkait kondisi kesejahteraan marbot lebih spesifik ketika dilakukan analisis di tiga provinsi besar di Pulau Jawa, yakni dengan membandingkan antara kondisi marbot di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menurut pandangan responden yang mempunyai pengalaman sehari-hari berinteraksi dengan marbot di masjid tempat mereka biasa beribadah.
Menurut para responden yang diwawancarai melalui telepon pada 18-20 Maret 2024 diperoleh opini bahwa marbot yang paling sejahtera berada di Jawa Timur. Hal ini diungkapkan oleh 57,6 persen responden jajak pendapat yang berdomisili di provinsi tersebut.
Sebagai gambaran situasi jumlah marbot, tidak ada data yang lengkap dan memadai sehingga tidak diketahui secara pasti jumlah marbot di Indonesia. Namun, bisa diperkirakan secara kasar dengan data jumlah masjid, dengan asumsi dasar minimal di sebuah masjid terdapat seorang marbot yang mengabdikan dirinya.
Berdasarkan asumsi tersebut, data dari Sistem Informasi Masjid (Simas) bisa dijadikan acuan dasar. Jumlah masjid di Jawa Timur merujuk Simas terbilang 52.002 masjid per Maret 2024. Artinya, opini dari responden jajak pendapat dari Jawa Timur mewakili situasi sejumlah marbot tersebut.
Sebaliknya, responden dari Jawa Barat menyatakan masih banyak marbot yang belum sejahtera dan sangat tidak sejahtera. Tepatnya terdapat 43,2 persen responden yang memandang marbot di Jawa Barat belum sejahtera, bahkan ada 16 persen responden yang berpendapat kondisi marbot sangat tidak sejahtera.
Pandangan responden tersebut mewakili kondisi sejumlah marbot yang mengabdi di 61.565 masjid di Jawa Barat. Perlu diketahui bahwa jumlah masjid di provinsi tersebut adalah yang paling banyak dibandingkan dengan provinsi lainnya. Jika disandingkan dengan situasi di Jawa Timur, marbot di Jawa Barat masih membutuhkan lebih banyak kerelaan hati umat untuk menghargai kerja keras para marbot.
Apresiasi publikuntuk marbot
Bekerja sebagai marbot tidak bisa dipandang sebagai pekerjaan yang dapat diandalkan untuk menopang ekonomi, sebab secara nominal honor sebagai marbot terbilang kecil. Apalagi sumber pendapatan marbot secara normatif berasal dari uang amal yang dimasukkan ke dalam kotak amal oleh umat yang beribadah di suatu masjid.
Artinya, kesejahteraan ekonomi marbot dapat dikaitkan dengan seberapa banyak amal yang diberikan oleh umat di suatu lingkungan masjid, atau jika dilihat lebih luas lagi dalam lingkup provinsi. Kemudian muncul pertanyaan, apakah amal yang diberikan masih belum memenuhi kebutuhan? Hal ini bisa dijawab melalui dua hal, pertama dari kebiasaan dan seberapa sering umat memberikan apresiasi kepada marbot, dan kedua, berapa nominal yang dianggap layak diberikan kepada marbot.
Merujuk data hasil jajak pendapat, terdapat suatu kontradiksi yang menarik. Sejumlah 59,2 persen responden dari Jawa Barat menyatakan marbot di lingkungan mereka masih belum sejahtera serta sangat tidak sejahtera. Namun, ketika ditanya ”hal apa saja yang pernah Anda berikan kepada marbot sebagai apresiasi pengabdian mereka?”, responden di Jawa Barat adalah yang paling royal kepada para marbot.
Salah satunya tecermin dari 17,2 persen responden dari Jawa Barat yang mengaku memberikan sejumlah uang kepada marbot secara rutin. Ketika dibandingkan dengan responden dari Jawa Tengah (3,1 persen) dan Jawa Timur (5,4 persen), angka tersebut terbilang sangat tinggi. Hal itu menjadi satu penanda bahwa umat di Jawa Barat terbilang royal.
Meskipun cenderung bersikap royal, tampaknya belum cukup untuk membuat para marbot mencapai garis minimum sejahtera. Persoalannya pekerjaan sebagai marbot dipandang oleh mayoritas responden memiliki kepantasan nilai honor yang terbilang kecil.
Pandangan dari seluruh responden menunjukkan bahwa mayoritas menganggap marbot layaknya diberi honor di rentang ratusan ribu hingga maksimal Rp 1 juta saja. Mayoritas responden di Jawa Barat (30,9 persen), Jawa Tengah (32,2 persen), dan Jawa Timur (30,3 persen) menyatakan hal demikian.
Jika disandingkan dengan nilai upah minimum di berbagai daerah di Indonesia, sudah tak ada yang senilai Rp 1 juta saja. Pada 2024 tercatat upah minimum paling rendah senilai Rp 2.038.005 (Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah). Artinya, pekerjaan sebagai marbot belum diberi apresiasi yang layak, bahkan menyentuh upah minimum daerah pun tidak sampai, sementara marbot juga harus menghidupi keluarganya.
Makna dari temuan ini adalah harapan mengajak segenap umat memikul tanggung jawab bersama untuk lebih memperhatikan kesejahteraan marbot secara ekonomi. Di satu sisi, tak ada patokan minimum honor atau upah yang menjadi hak sebagai marbot. Namun, upaya meningkatkan kualitas kehidupan marbot secara ekonomi di dunia ini menjadi jalan penghargaan umat atas pengabdian marbot. (LITBANG KOMPAS)