Jajak Pendapat ”Kompas”: Dua Realitas dalam Sebaris Makna Idul Fitri
Tak hanya perjalanan spiritual menuju fitrah, publik juga memaknai Lebaran dengan realitas persoalan yang menyertainya.
Tiga hari lagi masyarakat Indonesia akan merayakan hari raya Idul Fitri. Lebaran telah menjadi tradisi yang mendarah daging bagi masyarakat Indonesia. Meskipun sejatinya merupakan perayaan hari raya agama Islam, tradisi merayakan Idul Fitri ternyata dipersepsikan oleh publik sebagai milik seluruh warga Indonesia terlepas dari latar belakang agamanya.
Hal ini tecermin dari hasil jajak pendapat Kompas pada 25-29 Maret 2024 terhadap 839 responden dari 38 provinsi yang diwawancara melalui telepon. Bagian terbesar responden (78,5 persen) mengungkapkan bahwa perayaan Lebaran adalah tradisi untuk semua masyarakat tanpa memandang latar belakang status agamanya.
Inklusivitas ragam ekspresi Idul Fitri tampaknya memiliki andil penting di balik hal itu. Ini terlihat ketika 71,4 persen responden mengasosiasikan Lebaran dengan tradisi yang inklusif dan menembus sekat-sekat agama.
Setidaknya 27,7 persen responden mengaku, kumpul keluarga besar adalah hal pertama yang tebersit di benak ketika mendengar kata ”Lebaran”. Lantas, tidak kurang dari 26 persen responden melekatkan Lebaran dengan mudik atau pulang ke kampung halaman. Setali dengan itu, 17,6 persen responden lainnya menganggap silaturahmi sebagai ihwal yang paling lekat dengan perayaan Lebaran.
Hasil ini menunjukkan, Lebaran sangat melekat dengan konsep pulang ke kampung halaman untuk berkumpul bersama keluarga di daerah asal. Menurut Guru Besar Pengkajian Islam Universitas Pendidikan Indonesia Abd Majid dalam artikelnya, Mudik Lebaran (2013), pandangan seperti itu tak bisa dilepaskan dari budaya bangsa Indonesia yang sangat menghargai sistem kekerabatan. Peleburan praktik kebudayaan seperti inilah yang membuat Idul Fitri banyak dipersepsikan sebagai milik semua warga Indonesia.
Lekatnya mudik dan keluarga juga berkaitan dengan gagasan mengenai ”asal” dalam khazanah kebudayaan Indonesia. Sebagaimana pernah disampaikan Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada Heddy Shri Ahimsa-Putra, tradisi Lebaran, seperti mudik, kumpul keluarga besar, dan bersilaturahmi, adalah pengejawantahan itikad manusia untuk kembali pada akar tradisi tempatnya berasal (Kompas.id, 27/5/2019).
Dorongan untuk kembali ke asal tak bisa dipisahkan dari arti Idul Fitri itu sendiri. Menurut Direktur Eksekutif Aliansi Indonesia Damai Hasibullah Satrawi, Idul Fitri dalam bahasa Arab memiliki dimensi kembali ke fitrah. Adapun fitrah bisa dimaknai sebagai sifat asal yang suci dan bersih (Kompas.id, 29/4/2022).
Kembali ke keluarga, kembali ke fitrah
Sinergi antara nilai kekerabatan dalam budaya bangsa dan ajaran agama lantas membuat fitrah kerap disimbolkan dalam rupa keluarga di daerah asal. Inilah mengapa berjuta warga Indonesia berduyun-duyun melakukan perjalanan mudik menjelang Lebaran. Survei Kementerian Perhubungan menunjukkan, sekitar 100,6 juta penduduk Indonesia diprediksi akan melakukan perjalanan mudik supaya dapat merayakan Idul Fitri di kampung halaman bersama keluarga terkasih.
Kaitan antara fitrah dan keluarga juga tecermin melalui hal-hal yang disukai responden saat merayakan Lebaran. Sebanyak 77,4 persen responden mengaku memfavoritkan momen berkumpul bersama keluarga saat Lebaran. Menariknya, kesukaan berkumpul bersama keluarga tidak hanya terbatas pada mereka yang masih hidup di dunia ini saja. Ini tergambar dari adanya 9,3 persen responden yang melakukan kegiatan ziarah ke makam para leluhur sewaktu Lebaran.
Semangat mencapai kembali fitrah saat Idul Fitri semakin muncul ketika tak kurang dari 46,4 persen responden menyukai kegiatan silaturahmi dengan keluarga atau kerabat. Momen bermaaf-maafan pun akan semakin lebur dan akrab ketika menyantap hidangan spesial Lebaran, seperti ketupat, opor ayam, sambal goreng, dan semur daging. Tak heran, 23,6 persen responden menyatakan menantikan sajian khas seperti itu ketika merayakan Idul Fitri.
Eratnya hubungan antara Lebaran dan ikatan kekerabatan kian menguat ketika tak kurang dari 94,9 persen responden merasa bahwa keluarga adalah orang yang dapat membuat perayaan Lebaran menjadi lebih berarti bagi mereka. Adapun keluarga yang dimaksud adalah keluarga inti, yang hanya beranggotakan ayah, ibu, dan saudara kandung, atau keluarga besar seperti trah dalam tradisi Jawa.
Makna Lebaran di Kalangan generasi muda
Menariknya, ketika dibedah berdasarkan kategori usia, terdapat perbedaan persepsi mengenai lingkup keluarga yang bisa membantu mereka menemukan makna Idul Fitri. Di generasi dewasa, keluarga besar tampak memainkan peran lebih besar.
Tak kurang dari 39 persen responden usia di atas 24 tahun merasa Lebaran harus dirayakan dengan keluarga besar agar dapat merasakan makna Lebaran. Sementara, 45,7 persen lainnya Lebaran akan terasa berkesan bila dirayakan bersama keluarga besar dan inti. Sebanyak 9,9 persen sisanya menganggap cukup membutuhkan kehadiran keluarga inti saja untuk dapat merasakan arti Lebaran.
Hal sebaliknya terjadi pada responden muda berusia 17-24 tahun. Ada gejala bahwa mereka sangat condong pada keluarga inti. Setidaknya 58,3 persen responden muda menyatakan Lebaran akan terasa bermakna bila dirayakan hanya bersama keluarga inti semata.
Kemudian,23,6 persen sisanya menganggap Idul Fitri baru akan berkesan kalau dirayakan hanya bersama keluarga besar. Sementara, hanya terdapat 18,1 persen responden muda yang merasa membutuhkan kehadiran keluarga besar dan inti sekaligus agar bisa merasakan arti terdalam dari sebuah Lebaran.
Temuan ini memberikan gambaran bahwa anggapan keluarga besar lebih memainkan peran dalam pemaknaan Lebaran akan semakin menguat seiring bertambahnya usia. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa sebagian besar penduduk di atas 24 tahun sudah memiliki keluarga dan keturunan. Berdasarkan data BPS pada 2023, sebanyak 61,9 persen penduduk usia 25-30 tahun sudah berstatus kawin atau sudah pernah kawin.
Ketika sudah menjadi kepala keluarga dan orangtua, bisa jadi penghargaan terhadap kehadiran kerabat lain akan makin menguat. Apalagi, seiring bertambahnya tanggung jawab dan beban hidup, seseorang mungkin semakin menyadari arti penting keluarga sebagai jaring penopang sosial.
Selain itu, dikelilingi oleh anak, cucu, dan semua kerabat lainnya tentu akan menimbulkan perasaan gembira bagi mereka yang memasuki usia senja. Momen berkumpul bersama keluarga besar saat Idul Fitri dengan demikian dapat dimaklumi sebagai saat-saat penuh makna bagi mereka.
Tekanan psikologis dan ekonomi saat Lebaran
Di samping sisi, menarik pula untuk mencermati dimensi lain dari perayaan Lebaran. Melalui pertanyaan mengenai hal yang tidak disukai, tecermin tekanan-tekanan yang dihadap masyarakat dalam momen Lebaran. Rupanya terdapat perbedaan persepsi yang cukup signifikan antara generasi mula dan dewasa terkait hal ini.
Bagi generasi mula yang berusia 17-24 tahun, tekanan tersebut hadir dalam wujud pertanyaan terkait pencapaian personal. Sedikitnya 34,1 persen responden usia 17-24 tahun mengaku tidak menyukai pertanyaan-pertanyaan seputar seperti pernikahan, pekerjaan, dan prestasi sekolah, saat tengah merayakan Idul Fitri. Sementara, hanya 4,2 persen responden usia atas 24 tahun yang menyatakan hal yang sama.
Baca juga: Sastra Mudik dan Kerinduan Pulang
Pertanyaan semacam itu acapkali disampaikan saat momen silaturahmi oleh kerabat yang berusia lebih tua. Namun, tidak jarang pertanyaan itu dibarengi dengan ekspektasi standar sosial yang berlaku di lingkungan kekerabatan mereka. Bagi kaum muda, ditanyai mengenai hal-hal seperti demikian dapat menimbulkan perasaan kurang percaya diri, apalagi bila jawaban yang diberikan ternyata tidak memenuhi ekspektasi si penanya.
Kecenderungan menghindari tekanan sosial itu kian kentara ketika 4,9 persen responden generasi Z(17-24 tahun) secara eksplisit menyatakan tidak menyukai harus berinteraksi dengan keluarga besar saat momen Lebaran. Ini sekaligus dapat menjelaskan mengapa banyak kaum muda merasa bahwa keluarga inti, yang lebih dekat dan memahami kepribadian mereka, adalah pihak yang paling mampu menghadirkan makna terdalam dari sebuah perayaan Idul Fitri.
Lain halnya dengan kelompok generasi tua. Mereka lebih gusar dengan beban ekonomi yang muncul ketika merayakan Idul Fitri. Sebanyak 52 persen atau separuh responden berusia di atas 24 tahun mengaku tidak menyukai tingginya pengeluaran akibat kenaikan harga kebutuhan pokok dan tiket transportasi pada masa Lebaran. Sementara, hanya 19,4 persen responden bawah 24 tahun yang menyoroti aspek ini.
Berdasarkan data dari Pusat Informasi Harga Pangan Nasional pada 5 April 2024, terjadi kenaikan harga dari bulan sebelumnya pada 7 dari 10 kelompok komoditas yang dimonitor. Rata-rata kenaikan harga tersebut berkisar 4,2 persen, dengan yang tertinggi dialami oleh kelompok komoditas bawang merah yang naik 14,1 persen.
Serupa dengan bahan kebutuhan pokok, harga tiket transportasi pun melonjak tajam menjelang Lebaran. Berdasarkan pemantauan melalui aplikasi agen perjalanan Traveloka, harga tiket pesawat rute Jakarta-Medan untuk tanggal 6 April 2024 mencapai Rp 4,6 juta. Ini berarti terjadi kenaikan hingga tiga kali lipat dari masa biasa yang berkisar Rp 1 juta–Rp 1,3 juta.
Baca juga: Ramadhan Kuatkan Kerukunan Masyarakat Indonesia
Selain beban ekonomi, kegelisahan generasi dewasa saat Lebaran juga terpusat pada bayang-bayang kemacetan dan keramaian yang akan dihadapi. Sekitar 33,4 persen atau sepertiga responden usia atas 24 tahun mengaku tidak menyukai kemacetan panjang di jalan raya atau obyek wisata yang terlalu padat hingga harus berdesak-desakan.
Temuan ini mencerminkan adanya dua jenis tekanan yang dihadapi oleh sebagian masyarakat Indonesia ketika merayakan Lebaran. Generasi muda lebih rentan mengalami tekanan sosial berupa ekspektasi dari keluarga terkait pencapaian personal. Sementara, generasi dewasa cenderung mengkhawatirkan tekanan ekonomi dan kelelahan akibat kepadatan yang membludak di jalan dan tempat wisata.
Kelindan dua realitas makna Lebaran
Perbedaan persepsi antara generasi mula dan tua rupanya turut mengkristal dalam ungkapan harapan terhadap perayaan Idul Fitri di tahun ini. Bagi responden muda (17-24 tahun), sebanyak 57,7 persen dari mereka berharap supaya relasi dengan keluarga dan kerabat kian erat dan harmonis. Sementara, tidak kurang dari 36,1 persen responden usia atas 24 tahun menginginkan agar Idul Fitri dapat mendatangkan kondisi ekonomi yang semakin baik dan penuh berkah.
Pemaknaan publik terhadap Lebaran dengan demikian berkelindan di antara dua dimensi yang tak bisa dipisahkan. Di satu sisi, publik memaknai Idul Fitri sebagai proses perjalanan spiritual untuk kembali ke fitrah, ke sifat asal yang suci.
Baca juga: Bijak Belanja Ramadhan dengan ”Pay Later”
Dalam konteks kebudayaan bangsa yang meluhurkan nilai kekerabatan, fitrah juga mewujud dalam rupa perjumpaan dengan asalnya, yaitu bertemu sanak keluarga di kampung halaman.
Sementara, di sisi yang lain, publik juga tak mengabaikan realitas kehidupan duniawi yang kerap membayangi momen perayaan Idul Fitri. Tingginya pengeluaran akibat kenaikan harga-harga kebutuhan, lelah tak terperi karena berdesak-desakan di jalan dan angkutan umum, hingga menghadapi ekspektasi standar sosial dari kerabat jauh adalah segelintir dari berbagai macam ujian yang mesti dihadapi oleh insan yang merayakan Lebaran.
Baca juga: Melestarikan Tradisi-tradisi Ramadhan
Melalui Idul Fitri, manusia bagaikan diberikan air segar di tengah kerontang kehidupan yang mampu mengingatkan betapa nikmatnya kondisi diri yang murni lagi suci. Setelah Idul Fitri usai, manusia akhirnya selalu terpanggil untuk menemukan jalan kembali ke fitrah yang hakiki.
Sebagaimana telah diharapkan oleh 10,6 persen responden, upaya ini mungkin dapat dimulai dengan semakin menekuni hidup religius, mengamalkan setiap ajaran kebenaran, sehingga dapat lebih mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, asal muasal dari segala kehidupan ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Masyarakat Anggarkan Dana Lebaran 2024 Lebih Besar