Lebaran Seusai Pemilu, Ritual Hati Masyarakat Indonesia
Perayaan Lebaran tahun 2024 menjadi istimewa sebab jatuh pada tahun politik.
Tatkala berbicara Idul Fitri, akan terbentuk konteks perayaan dan ritual khusus bagi umat Islam. Artinya, tradisi dan ritual yang dihidupi dan diimani diamalkan dalam tuntunan ajaran agama Islam.
Sedikit terjadi akulturasi apabila berbicara Lebaran. Perayaan ini telah menjadi ritual yang dimiliki seluruh masyarakat Indonesia tanpa ada lagi sekat-sekat batas agama.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Artinya, meskipun secara prinsip Lebaran dirayakan dengan dasar hari raya Idul Fitri, secara kebudayaan, Lebaran menjadi milik setiap masyarakat Indonesia.
Baca juga: Takbiran, Bunyi Berkisah Kenangan
Lebaran setelah pemilu
Lebaran tahun 2024 menjadi istimewa sebab dirayakan setelah seluruh masyarakat Indonesia berjibaku dalam tahun politik yang dinamis dengan puncak hajatan pemilu yang jatuh pada 14 Februari 2024. Meskipun sudah hampir dua bulan berlalu, rangkaian dan tahapan pemilu belum usai.
Kurang lebih sebulan setelah pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan rekapitulasi penghitungan jumlah suara, baik untuk pilihan presiden maupun legislatif, mulai dari DPR hingga DPRD pada 20 Maret 2024.
Merespons pengumuman KPU tersebut, dua paslon, yakni Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, mengajukan permohonan gugatan sengketa Pilpres 2024 yang masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 25 Maret 2024. Masing-masing permohonan diajukan dengan nomor perkara 1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan 2/PHPU.PRES-XII/2024.
Sebagai kelanjutan dari proses ini telah berlangsung sidang MK terkait sengketa Pemilu 2024 yang bergulir sejak Kamis (27/3/2024) hingga Jumat (5/4/2024).
Selama kurun waktu tersebut, terselenggara tujuh kali persidangan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, penyerahan jawaban dan keterangan pihak terkait serta pemberi keterangan, serta sidang pemeriksaan. (Kompas.id, 6/4/2024).
Setelah melewati sejumlah persidangan di atas, para hakim MK saat ini sedang berada dalam tahapan rapat permusyawaratan hakim atau RPH. Adapun dalam proses ini, MK memberikan kesempatan bagi para pemohon untuk menyampaikan kesimpulan tertulis. Batas akhir penyerahan kesimpulan akhir, yakni 16 April 2024.
Meskipun memasuki hari-hari Lebaran, MK menyatakan akan tetap melakukan proses RPH tanpa harus terganggu dengan masa liburan tersebut. Ujung dari proses sidang di MK adalah pembacaan putusan dengan batas akhir 22 April 2024.
Baca juga: Kejar Putusan Sengketa Hasil Pilpres, MK Hanya Libur Dua Hari Saat Lebaran
Ritual syukur Lebaran
Menjadi menarik ketika masa RPH MK berlangsung ketika memasuki perayaan Lebaran dan pembacaan putusan nantinya akan dilakukan setelah Idul Fitri. Secara momen, tak hanya bagi para hakim MK, secara umum bagi masyarakat Indonesia, Lebaran dapat menjadi saat untuk menarik diri dan berefleksi atas seluruh hiruk-pikuk pemilu di tahun politik.
Sebagaimana disinggung pada bagian awal, Lebaran telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Dalam arti yang luas, ritual tersebut telah dimulai dengan perjalanan mudik. Dalam dimensi fisik, mudik adalah perjalanan pulang dari wilayah rantau ke kampung halaman.
Namun, dalam dimensi spiritual, mudik merupakan ”laku” atau upaya untuk kembali ke akar, yakni tanah kelahiran. Selama perjalanan mudik, entah disadari atau tidak, sangat mungkin muncul dalam benak pemudik untuk merefleksikan kembali sangkan paraning dumadi yang berarti ”dari mana asalku”.
Hal tersebut dilengkapi dengan ungkapan khas Lebaran, yakni kembali ke fitrah. Artinya, perjalanan mudik tidak hanya berhenti pada pencarian kampung halaman secara fisik, tetapi lebih dalam sebenarnya mengandung pertanyaan reflektif, ”mengapa aku ada dan diciptakan?”
Saat berkumpul dengan keluarga, tradisi sungkem juga menjadi ciri khas Lebaran. Selain sebagai ungkapan bakti, sungkem juga menjadi kesempatan untuk mohon ampun atas segala dosa yang telah dilakukan. Ini dilakukan pun sebagai upaya untuk kembali ke fitrah, yaitu cikal bakal kehidupan yang paling hakiki.
Dalam tradisi Nusantara, perayaan Lebaran senantiasa dilengkapi dengan berbagai ungkapan syukur. Di Keraton Yogyakarta, misalnya, diadakan Grebeg Syawal yang dilakukan bertepatan dengan hari Lebaran atau tanggal 1 Syawal. Secara tradisi ada tujuh gunungan (susunan hasil bumi berbentuk gunung) yang dibuat.
Satu diantarkan ke Pakualaman, satu ke Kepatihan, dan yang lain akan dibawa ke Masjid Gede di Kauman. Setelahnya, semua akan diarak menuju Alun-alun Utara yang akan diambil masyarakat yang hadir.
Mirip dengan Grebeg Syawal, terdapat ritual Sesaji Rewanda di Semarang. Tujuan dari ritual ini adalah napak tilas perjalanan Sunan Kalijaga ketika mengusung kayu jati ketika membangun Masjid Agung Demak.
Sementara di Jember ada tradisi Pawai Pegon yang dilakukan pada Lebaran ketupat atau H+7 setelah Idul Fitri. Dalam parade pegon (pedati) ini dibawa ketupat dan opor. Setelah pawai, menu Lebaran tersebut akan disantap bersama.
Dari sejumlah tradisi Lebaran di atas tampak rasa syukur atas hasil bumi serta syukur atas tali persaudaraan yang terjalin menjadi kata kunci utama. Dalam masa pascapemilu dan penantian penetapan hasil pemilu setelah proses sengketa berjalan, tampak ada undangan tersebut dalam merefleksikan perjalanan pemilu.
Pertama-tama sebagai sebuah dinamika demokrasi, terlepas bagaimanapun cara dan proses berlangsung, perlu rasa syukur sebagai sebuah bangsa, Indonesia mampu menjalankan hajatan negara tersebut. Berikutnya, rasa syukur dilanjutkan dengan kesadaran pentingnya tali persaudaraan sebagai satu bangsa sebagai hal yang layak untuk dijaga dan dipererat.
Lebih dari itu, menjadi mendasar pula pertanyaan reflektif dalam masa Lebaran kali ini secara khusus bagi para pemimpin, dan secara umum bagi masyarakat Indonesia. Kembali ke fitrahnya, apa sejatinya yang mendasari kehidupan bernegara di Indonesia.
Berikutnya, apa sebenarnya yang diamanahkan dalam sebuah kekuasaan dan bagaimana semestinya kekuasaan dimanfaatkan demi menjaga fitrah tersebut? Jawaban atas pertanyaan tersebut memungkinkan dinamika berbangsa di Indonesia menjadi lebih dewasa. Selamat Lebaran! (LITBANG KOMPAS).
Baca juga : Idul Fitri, Kegembiraan Beragama dan Berpolitik