Memaknai Arti Saling Memaafkan pada Hari Lebaran
Bersilaturahmi dan saling bermaafan di momen Lebaran perlu dijadikan refleksi diri.
Bersilaturahmi dan saling bermaafan sudah menjadi budaya di setiap hari raya Idul Fitri di Indonesia. Terlepas dari momennya, memaafkan merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan. Tanpa adanya kesadaran penuh, tradisi dalam Lebaran ini hanya akan menjadi momen kosong nirmakna yang terus diulang tiap tahun.
Tradisi bermaaf-maafan sudah melekat dengan momen Idul Fitri di Indonesia. Di momen ini, masyarakat berbondong-bondong berkunjung ke kediaman kerabat untuk bersilaturahmi dan bermaaf-maafan.
Jejak kultural dari tradisi ini pun dapat ditelusuri dari era awal kemerdekaan. Salah satunya ialah dari lagu ciptaan Ismail Marzuki berjudul ”Selamat Lebaran”. Lagu ini secara eskplisit menggambarkan budaya silaturahmi dan saling bermaafan yang dilakukan masyarakat Indonesia saat itu.
Namun, di luar dari konteks tradisi, budaya halalbihalal ini perlu dijadikan momen reflektif. Pasalnya, memaafkan sejatinya bukanlah hal yang mudah dilakukan. Tanpa adanya pemaknaan yang mendalam, prosesi bermaafan hanya akan menjadi ritual tahunan yang hampa.
Baca juga: Jajak Pendapat ”Kompas”: Dua Realitas dalam Sebaris Makna Idul Fitri
Pemaknaan Aristotle
Upaya untuk memaknai pemberiaan maaf ini telah dilakukan sejak abad ketiga sebelum Masehi. Dalam karya-karyanya, misalnya Etika Nikomakea dan Retorika, filsuf Yunani kuno Aristotle sudah menyinggung soal permaafan.
Makna memaafkan dalam pemahaman Aristotle berakar dari pandangannya terhadap masyarakat dan pemerintah. Menurut filsuf ini, politisi dan pemerintah kota menjadi unit analisis paling relevan karena merekalah yang bisa membuat kebijakan untuk kebahagiaan masyarakat. Maka, aksi memaafkan atau pengampunan dimaknai dalam perspektif strukturalis.
Tradisi bermaaf-maafan sudah melekat dengan momen Idul Fitri di Indonesia.
Permaafan yang dibahas Aristotle dalam karyanya berkaitan erat dengan aspek hukum dan keadilan. Maka, bagi Aristotle, aksi untuk memaafkan hanya bisa dilakukan dengan prekondisi tertentu. Misalnya, sebelum dimaafkan, orang yang bersalah harus melakukan upaya untuk memperbaiki kesalahannya.
Bagi Aristotle, memaafkan bukanlah sebuah kewajiban. Apalagi, apabila ketika memberi maaf belum bisa berujung pada perasahaan bahagia. Bahkan, filsuf ini berpendapat bahwa kesalahan yang dilakukan dengan sengaja, pantas saja untuk diberikan ganjaran.
Baca juga: Idul Fitri, Penyucian Diri di Tengah Risiko Bencana Ekologi
Pengampunan secara tulus
Pemahaman ini kemudian berkembang dan dibantah oleh filsuf lain yang lebih modern. Immanuel Kant, misalnya, dalam karyanya, Metafisika Moral yang terbit pada 1797, berargumen bahwa tindakan memaafkan menjadi salah satu bagian dari ”kewajiban” seseorang dalam bermasyarakat. Dalam filsafat etika kebajikan (virtue ethics), aksi memaafkan ini sebagai salah satu bagian dari tugas individu untuk bisa mencintai sesamanya.
Bagi Kant, memaafkan adalah respons pribadi terhadap kesilapan orang lain, di mana di dalamnya termasuk juga upaya untuk mengatasi kebencian dan keinginan untuk melakukan balas dendam. Dengan tegas, Kant membagi ranah legalistis dan moral.
Dalam konteks hukum, Kant tidak menentang pentingnya menghukum kriminal sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun, dalam ranah moral, filsuf ini berpendapat bahwa, meskipun tersakiti, sang korban tidak memiliki hak untuk menghakimi dan menjatuhi hukuman terhadap manusia yang telah bersalah kepadanya.
Meskipun demikian, Kant juga menarik batas bagi mereka yang berulang kali melakukan kesalahan. Bagi Kant, seorang individu memiliki kewajiban moral kepada dirinya untuk tidak memaafkan orang yang melakukan kesalahan, tetapi tidak bertobat dari tindakannya. Kewajiban ini sendiri berkaitan dengan penghargaan terhadap harga diri sebagai makhluk yang rasional.
Selain Kant, sanggahan terhadap makna dari upaya memaafkan ini juga dilayangkan filsuf Perancis, Jacques Derrida. Dalam karyanya, On Cosmopolitanism and Forgiveness yang terbit pada 2001, Derrida memisahkan esensi memaafkan atau memberi pengampunan dengan tema-tema yang kerap berkelindan dengannya seperti penyesalan, alibi, amnesti, rekonsiliasi, penebusan dosa, pertobatan, hingga hukum pidana.
Dalam konteks ini, banyaknya konsep yang menempel pada permaafan justru membuat aksi saling memaafkan menjadi transaksional dan kehilangan kemurniannya.
Makna memberikan maaf ini terus dieksplorasi oleh Derrida dalam karyanya yang berjudul To Forgive: The Unforgivable and the Imprescriptible.
Di dalamnya, filsuf ini berangkat dari etimologi kata maaf dalam bahasa Inggris (pardon). Setelah ditelusuri, kata pardon ini berasal dari bahasa Latin tengah per- (secara utuh) dan donare (memberi). Dalam konteks ini, banyaknya konsep yang menempel pada permaafan justru membuat aksi saling memaafkan menjadi transaksional.
Dari penelusuran tersebut, Derrida menyimpulkan bahwa memaafkan berakar pada aksi untuk memberi secara utuh. Dalam memaknai memberi pengampunan, Derrida beranggapan bahwa maaf harus diberikan secara tulus tanpa embel-embel apa pun.
Lebih ekstrem dari Kant, pandangan Derrida dalam hal memaafkan ialah memberikan pengampunan terhadap segala bentuk kejahatan tanpa syarat, bahkan tanpa orang yang bersalah menyampaikan permintaan maaf.
Konsep memaafkan yang digagas Kant dan Derrida ini ternyata cukup selaras dengan yang ada di dalam ajaran Islam. Dalam Islam, memberi maaf merupakan bagian dari kebaikan dan anugerah yang diberikan oleh si pemaaf terhadap sang pelaku kesalahan. Perintah untuk memaafkan kesalahan orang lain pun secara eksplisit tertulis dalam Al Quran, salah satunya dapat ditemukan di QS Al Imran Ayat 134.
Tak hanya itu, sejalan dengan argumentasi Kant, Islam juga memberi penekanan pada sikap untuk menahan diri dari tindakan balas dendam. QS Al Hijr Ayat 95, misalnya, secara implisit memberikan perintah untuk tidak membalas kejahatan yang diterima.
Baca juga: Idul Fitri, Kegembiraan Beragama dan Berpolitik
Manfaat memberi maaf
Sebagai manusia, tentu tidak mudah untuk memberi maaf sesuai dengan standar moral dan ajaran agama. Profesor Psikologi Robert Enright dari University of Wisconsin-Madison, yang risetnya berfokus pada tema memaafkan, berpendapat bahwa memaafkan bukan hal yang mudah bagi sebagian orang. Keengganan untuk memaafkan sendiri merupakan respons yang normal dialami oleh orang yang mengalami trauma akibat tindakan dari orang lain.
Namun, di balik kesulitan tersebut, maaf-memaafkan ternyata bisa berdampak positif. Memberi maaf memiliki manfaat yang besar terhadap kesehatan mental.
Studi Enright pada 2015 di penjara pengamanan maksimal menunjukkan bahwa sebagian besar napi yang didiagnosis mengidap depresi dan mendapatkan perawatan psikologis, untuk bisa memaafkan perlakuan buruk yang diterima selama dipenjara, bisa terobati. Sementara napi yang tidak mendapat perawatan psikologis serupa masih tetap mengidap depresi.
Manfaat dari memaafkan ini juga dikonfirmasi Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Taufiq Pasiak. Dalam wawancaranya dengan Kompas, Minggu (7/4/2024), tindakan memaafkan memancing berbagai hormon, seperti dopamin, oksitosin, dan kortisol.
Ketika seseorang memaafkan, hormon oksitosin dan dopamin dikeluarkan sehingga memunculkan perasaan lega dan bahagia. Sementara hormon kortisol yang berkaitan dengan stres menjadi lebih tidak aktif.
Maka, dalam momen Lebaran ini, marilah maaf-bermaafan dengan membawa makna. Ucapan minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin, tak boleh berhenti di mulut saja.
Sebab, selain menjadi kemuliaan dalam beragama, memberi maaf dan memaknainya dengan utuh juga bisa menjadi langkah awal untuk memulihkan jiwa. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Takbiran, Bunyi Berkisah Kenangan