Menilik Andil Koalisi Indonesia Maju terhadap Suara Prabowo-Gibran
Besaran sumbangan suara pemilih partai ke Prabowo-Gibran menentukan daya tawar partai dalam pembagian ”kue” kekuasaan.
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO/ LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
Dari tujuh parpol pengusung pasangan calon presiden-wakil presiden, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, pada Pemilu 2024, empat partai hampir pasti akan melenggang ke Senayan. Keempatnya, Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Demokrat. Adapun tiga partai lain, Partai Garuda, Partai Bulan Bintang, dan Partai Solidaritas Indonesia, tak berhasil menembus ambang batas parlemen.
Empat partai yang lolos ke parlemen tersebut menunjukkan performa positif dalam memenangkan kursi wakil rakyat maupun dukungan terhadap pasangan capres-cawapres yang diusungnya. Berdasarkan rekapitulasi hasil penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 20 Maret 2024, di antara partai Koalisi Indonesia Maju, Golkar berada di posisi teratas untuk perolehan suara pemilihan legislatif (pileg) dengan perolehan 15,29 persen. Namun secara keseluruhan, Golkar berada di bawah PDI-P sebagai partai dengan perolehan suara pileg tertinggi dengan raihan 16,72 persen suara.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Sementara Gerindra yang dipimpin Prabowo Subianto, mendapatkan suara 13,22 persen di bawah Golkar. Berikutnya, Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN) berada di papan tengah masing-masing dengan perolehan 7,43 persen dan 7,24 persen.
Modal politik koalisi
Cukup besarnya suara pileg yang didapatkan oleh keempat partai anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM) menjadi modal politik yang penting dalam dinamika politik mendatang. Perolehan suara yang melampaui ambang batas parlemen, menunjukkan legitimasi bahwa setiap partai tersebut memiliki basis pendukung yang kuat serta kepercayaan masyarakat yang relatif kokoh.
Dengan demikian, relasi antara partai dalam KIM dengan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wapres akan berlangsung mutualisme. Relasi saling menguntungkan sejatinya tidak hanya terbangun nanti saat rezim pemerintahan baru terbentuk, sebaliknya sudah dipupuk sejak prapemilu.
Dengan aturan ambang batas pencalonan presiden yaitu 20 persen jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah pemilu legislatif sebelumnya, Prabowo tidak dimungkinkan diusung mandiri oleh Partai Gerindra. Pada Pemilu 2019, Gerindra mendapatkan suara sebesar 12,57 persen. Dengan begitu, hanya dengan berkoalisi, Gerindra mampu mengusung Prabowo maju sebagai calon presiden sehingga terbentuklah Koalisi Indonesia Maju.
Dalam koalisi ini, Golkar menjadi partai dengan modal elektoral 2019 tertinggi setelah Gerindra, yakni 12,31 persen. Posisi Golkar diikuti Demokrat dengan 7,77 persen dan PAN dengan 6,84 persen. Sementara itu, tiga partai lain yang juga menjadi bagian dari koalisi Indonesia Maju berturut-turut adalah PSI dengan 1,89 persen, PBB dengan 0,79 persen, serta Partai Garuda dengan 0,50 persen.
Jika dijumlahkan, modal suara yang dikumpulkan oleh KIM sebanyak 42,67 persen tatkala memasuki dinamika Pemilu 2024. Dari jumlah tersebut, Gerindra dan Golkar menjadi partai dengan sumbangan terbesar.
Dinamika yang terjadi dalam proses pencalonan merupakan proses awal. Bagaimana relasi mutualisme yang terjadi harus dibuktikan dalam kontestasi pemilu. Jika kembali pada paparan data awal di atas, kesuksesan pertama yakni berhasilnya empat partai anggota KIM melampaui ambang batas parlemen. Bahkan, Golkar dan Gerindra menjadi bagian dari partai papan atas.
Merujuk fenomena tersebut, Golkar secara natural tampil sebagai partai yang memiliki daya tawar politik setara dengan Gerindra. Namun, jika berbicara kesepakatan politik dalam sebuah koalisi, tentu hasil pileg saja tidak dapat menjadi tolok ukur.
Untuk mengukur kontribusi, perlu ditelisik lebih lanjut bagaimana sumbangan suara pemilih partai terhadap suara yang masuk untuk pasangan capres dan cawapres. Salah satu data yang dapat digunakan untuk melihatnya adalah hasil survei pascapencoblosan (exit poll). Data survei exit poll yang dikumpulkan saat pemungutan suara dapat menggambarkan persilangan antara pemilih Prabowo-Gibran dengan partai politik pilihan responden.
Kontribusi ini dapat dibedah berdasarkan dua sudut pandang. Pertama, sudut pandang limpahan pemilih masing-masing partai terhadap pilihan presidennya. Kedua, dapat dihitung pula komposisi pemilih pasangan Prabowo-Gibran dilihat dari pilihan partai responden.
Dalam sudut pandang pertama, dari seluruh responden yang mengaku memilih Gerindra, sebanyak 87,61 persen menyatakan memilih pasangan Prabowo-Gibran. Jumlah ini sekaligus menjadi yang paling tinggi dibandingkan pemilih parpol lainnya.
Menariknya, dengan kacamata yang sama, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) berada di posisi kedua. Sebanyak 82,55 persen pemilih PSI mengaku memilih pasangan capres nomor urut 02 tersebut. Angka ini relatif jauh di atas Demokrat dengan 70,47 persen responden yang memilih Prabowo-Gibran, lalu Golkar sebesar 69,55 persen, serta PAN dengan 64,60 persen.
Dengan kata lain, Gerindra dan PSI menjadi partai yang paling berhasil menjaga suara pemilihnya agar tidak lari ke paslon lain. Sebaliknya, meskipun tetap di atas 60 persen suara yang masuk untuk Prabowo-Gibrau, terdapat sekitar 30-35 persen suara pemilih Golkar, Demokrat, dan PAN yang mengalir ke dua paslon lain.
Namun, kontribusi tersebut tidak hanya berhenti pada loyalitas pemilih. Perlu dilihat pula jumlah suara yang masuk kepada paslon yang diusung secara kuantitas. Dengan kacamata ini, dari 100 persen pemilih Prabowo-Gibran, dapat dilihat sumbangan elektoral dari masing-masing parpol.
Apabila mengacu data survei exit poll yang dilakukan oleh Litbang Kompas, Gerindra tetap menjadi partai yang memberikan suara terbanyak bagi Prabowo-Gibran. Dari seluruh pemilih Prabowo-Gibran, 30,79 persennya merupakan pemilih Gerindra.
Posisi ini diikuti oleh Golkar, dengan sumbangan sebesar 14,12 persen. Sementara berturut-turut kontribusi partai anggota Koalisi Indonesia Maju terhadap suara Prabowo-Gibran, yakni Demokrat (7,09 persen), PAN, 5,85 persen, PSI (2,88 persen). Sementara PBB dan Garuda menyumbang suara di bawah satu persen.
Menariknya, ada sumbangan elektoral bagi pasangan Prabowo-Gibran yang berasal dari partai non-koalisi pengusung. Di antaranya adalah PDI-P dengan kontribusi 10,07 persen, PKB dengan 7,12 persen dan Nasdem dengan 5,20 persen. Data ini menunjukkan adanya keberhasilan pasangan Prabowo-Gibran mendulang suara dari partai yang tidak mengusungnya.
Perhitungan ini dapat dilanjutkan lagi dengan melihat 100 persen kontribusi hanya dari tujuh partai yang menjadi bagian dari Koalisi Indonesia Maju. Jika hanya menyempitkan perhitungan dengan batasan tersebut, kontribusi Gerindra mencapai 50,31 persen, Golkar 23,07 persen, Demokrat 11,59 persen, PAN 9,56 persen, serta PSI 4,71 persen. Sisanya Partai Bulan Bintang dan Garuda memberikan sumbangan di bawah satu persen.
Melihat sejumlah data di atas, menjadi terjelaskan dinamika politik di tubuh KIM pascapengumuman hasil pemilu oleh KPU. Salah satunya sejumlah klaim kontribusi elektoral yang sudah mulai disuarakan. Golkar memiliki modal yang tinggi untuk melakukan kontrak politik, termasuk di dalamnya jabatan untuk menteri. Meskipun posisi Demokrat dan PAN tidak dapat dikesampingkan begitu saja mengingat kontribusinya yang tidak sedikit pula.
Menjadi menarik pula, bagaimana Prabowo-Gibran nantinya akan membangun relasi politik dengan partai pengusung lawan yang ternyata juga memberikan sumbangan elektoral seperti PDI-P, PKB, Nasdem, bahkan PKS. Kesepakatan politik yang terjadi tampak akan menghangat terutama setelah Mahkamah Konstitusi menyelesaikan persidangan gugatan sengketa hasil Pilpres 2024.