Ismail Haniyeh, Target Nomor Satu Israel
Keluarga Ismail Haniyeh tewas diserang Israel. Mengapa Israel selalu menarget sekeliling Haniyeh untuk dilenyapkan?
Idul Fitri 1445 Hijriah akan menjadi hari yang tidak akan pernah dilupakan Ismail Haniyeh, salah satu pemimpin Hamas. Alih-alih memori indah penuh kehangatan bersama anggota keluarga, Haniyeh akan mengingatnya sebagai momen penuh duka yang menyayat hati.
Tujuh anggota keluarganya tewas dalam serangan udara Israel pada hari pertama Idul Fitri, Rabu (10/4/2024). Tiga anak laki-laki Haniyeh yang menjadi target utama Israel meninggal dalam seranganitu, yakni Hazem, Amir, dan Mohammad.
Ironisnya, empat cucu Haniyeh juga tak luput menjadi korban jiwa atas serangan yang terjadi di kamp pengungsian Al-Shati, Gaza barat, tersebut. Mereka adalah Mona, Amal, Khaled, dan Razan. Meski dalam pernyataan resminya Hamas tidak mengungkapkan umur keempat cucu yang tewas itu, diduga kuat mereka masih berumur di bawah 17 tahun.
Israel mengklaim serangan itu harus dilakukan karena ketiga anak laki-laki Haniyeh tersebut adalah anggota milisi Hamas. Mengutip Al Jazeera, Tel Aviv juga menuduh bahwa mereka akan melancarkan aksi terorisme di area tengah Jalur Gaza.
Padahal, berdasarkan pernyataan Haniyeh, mereka semata-mata hendak mengunjungi kerabat di kamp pengungsian Al-Shati untuk merayakan Idul Fitri bersama. Ia juga menyangkal bahwa ketiga anak laki-lakinya tergabung dalam kelompok milisi Hamas.
Terlepas dari klaim siapa yang paling benar, yang jelas insiden ini menambah panjang daftar anggota keluarga Haniyeh yang telah berpulang akibat gempuran militer Israel. Kepada Al Jazeera, Haniyeh mengaku sudah kehilangan 60 anggota keluarganya sejak perang berkecamuk setengah tahun silam.
Pada bulan pertama perang, Oktober 2023, Haniyeh harus menelan pil pahit ketika sebuah serangan udara Israel menewaskan sedikitnya 14 anggota keluarganya, termasuk saudara laki-laki dan sepupunya.
Sebulan berikutnya, ia dilaporkan kehilangan seorang cucu perempuan yang tengah menjadi sukarelawan di sebuah rumah sakit di Gaza. Tak lama berselang, pada Desember 2023 Haniyeh kembali harus merelakan kematian cucu laki-lakinya, Jamal Mohammed Haniyeh, yang juga adalah seorang jurnalis olahraga di Gaza.
Target utama Israel
Menjadi anggota keluarga Haniyeh membuat mereka tidak bisa lepas dari bayang-bayang kematian. Pasalnya, Haniyeh adalah salah satu target prioritas Israel yang harus dilenyapkan. Ini karena Haniyeh merupakan salah satu tokoh paling penting dalam struktur organisasi Hamas. Kematian anggota keluarganya lantas dipandang menjadi bagian strategi Israel untuk memberi tekanan terhadap kelompok tersebut.
Namun, meski Israel telah berulang kali membunuh anggota keluarganya, Haniyeh tetap tegar. Ia tampak memandang bahwa itu semua adalah pengorbanan yang harus ditanggungnya sebagai pemimpin perjuangan kemerdekaan Palestina. Ketika menanggapi kematian tiga putra dan empat cucunya, ia bahkan berujar bahwa mereka telah menjadi ”martir” bagi perjuangan kemerdekaan dan kebebasan Palestina.
Sikapnya yang begitu teguh menghadapi kehilangan sanak famili, bahkan anaknya sendiri, tak bisa dilepaskan dari latar belakang hidupnya. Ismail Haniyeh merupakan anak dari sepasang penduduk Palestina yang harus mengungsi akibat ”Nakba” tahun 1948.
Nakba, yang dalam bahasa Arab berarti ”malapetaka”, adalah sebutan orang Palestina terhadap peristiwa terusirnya hampir satu juta warga Palestina dari tanah kelahiran mereka saat perang Arab-Israel 1948. Nakba sekaligus menandai awal dari konflik tak berkesudahan antara Palestina dan Israel.
Kamp pengungsian Al-Shati, yang menjadi lokasi terbunuhnya ketiga anak dan keempat cucunya, adalah tempat kelahiran Haniyeh. Ia dilahirkan pada 29 Januari 1962 dan tumbuh bersama ketiga saudarinya di kamp pengungsian terbesar ketiga di Gaza itu. Kebutuhan hidup keluarga beserta pendidikan awalnya ditopang oleh Lembaga Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) sebagai pengelola kamp.
Setelah itu, Haniyeh meneruskan pendidikannya di Universitas Islam Gaza dan masuk ke program studi Sastra Arab. Di titik inilah ia mulai mengasah bakat kepemimpinannya dan semangat perlawanan terhadap Israel.
Haniyeh didaulat menjadi ketua dewan mahasiswa tahun 1985-1986 yang terafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Melansir dari The Belfast Telegraph, ia juga meluaskan jaring sosialnya dengan bergabung ke dalam klub sepak bola Asosiasi Islam sebagai gelandang tengah.
Haniyeh, Intifada, dan Hamas
Haniyeh muda lulus dari bangku kuliah pada 1987. Seakan telah ditakdirkan, kelulusannya itu bertepatan dengan salah satu tonggak bersejarah perjuangan Palestina, yakni pecahnya Intifada 1987-1993. Intifada tersebut adalah kali pertama warga Palestina melancarkan pemberontakan besar-besaran terhadap pendudukan Israel.
Pada momen penuh pergolakan inilah, Hamas lahir sebagai kelompok pergerakan kemerdekaan Palestina. Ensiklopedia Brittanica menyebutkan, Haniyeh muda turut terlibat dalam pembentukan Hamas beserta tokoh-tokoh pergerakan senior lainnya.
Ia pun aktif mengambil peran dalam berbagai aksi protes yang dilancarkan Hamas terhadap aparat keamanan Israel. Tak ayal, Haniyeh pun ditangkap dan ditahan oleh otoritas Israel. Pada kurun 1987-1989, Haniyeh tercatat tiga kali masuk-keluar penjara Israel dengan akumulasi masa kurungan selama 3,5 tahun.
Ketika dibebaskan pada 1992, Israel mendeportasi Haniyeh bersama 400 aktivis ke Lebanon. Siapa sangka, pengasingan itu ternyata menjadi kesempatan baginya mendekatkan diri pada para pucuk pimpinan Hamas. Pasalnya, terdapat sejumlah tokoh elite Hamas yang disertakan dalam rombongan pengasingan itu, seperti Abdel Aziz al-Rantisi dan Mahmoud al-Zahar.
Setelah setahun berada di pengasingan, Haniyeh akhirnya mendapat kesempatan pulang ke Gaza pada penghujung 1993. Ia pun lantas diangkat menjadi dekan di Universitas Islam Gaza. Posisinya ini lantas dimanfaatkannya sekaligus untuk memimpin gerakan mahasiswa Hamas.
Titik balik karier politiknya mulai datang saat pendiri sekaligus pemimpin spiritual Hamas, Ahmed Yassin, dibebaskan Israel pada 1997. Sebelumnya, Yassin dikenai hukuman 40 tahun penjara pada 1989 atas dakwaan pembunuhan berencana terhadap seorang tentara Israel.
Yassin kemudian menunjuk Haniyeh sebagai sekretaris pribadinya. Kesempatan ini tak disia-siakannya untuk membangun hubungan seerat mungkin dengan tokoh Hamas paling berpengaruh tersebut. Dalam beberapa waktu, Haniyeh telah mendapat kepercayaan di kalangan elite Hamas. Ini dibuktikan ketika ia kerap diminta menjadi perwakilan Hamas di hadapan Pemerintah Otoritas Palestina.
Kedekatannya dengan lingkaran elite Hamas rupanya membuat Haniyeh turut merasakan keganasan Israel dalam melenyapkan musuh. Pada September 2003, Haniyeh, yang kala itu tengah bersama Yassin, nyaris terbunuh dalam sebuah serangan udara Israel.
Enam bulan kemudian, Yassin akhirnya tewas setelah ditembak oleh helikopter tempur AH-64 Apache milik Israel selepas menunaikan ibadah shalat subuh pada Maret 2004. Hanya berselang sebulan, pemimpin Hamas berikutnya, Al-Rantisi, kembali dibunuh Israel dengan cara serupa.
Menapaki langkah jadi pemimpin Hamas
Meski satu per satu pucuk pimpinan Hamas habis dilibas Israel, Haniyeh tidak gentar. Ia tetap teguh berkecimpung dalam lingkaran elite politik Hamas. Media asal Amerika Serikat, PBS, menyebutkan, pada masa ini Haniyeh, bersama Mahmoud Zahhar dan Said al-Siyam, telah disebut sebagai bagian dari ”kepemimpinan kolektif” Hamas.
Dua tahun setelah kematian Yassin, karier politik Haniyeh mulai mencapai puncak. Kala itu, Hamas meraih suara terbayak dalam pemilu legislatif Palestina 2006. Haniyeh, sebagai pemimpin Hamas dalam pemilu, lantas diangkat menjadi Perdana Menteri Otoritas Palestina pada 29 Maret 2006.
Baca juga: 27 Hari Paling Mematikan di Gaza
Namun, perselisihan paham antara Hamas dan Fatah yang lebih moderat membuat pemerintahan kabinet Haniyeh tidak berjalan dengan mulus. Ini tak terlepas dari prinsip Hamas dan Haniyeh yang sangat radikal menentang Israel. Upaya mempersatukan antara kedua faksi dominan ini pun ditempuh melalui Kesepakatan Mekah pada Februari 2007.
Hanya saja, harapan persatuan yang rapuh itu akhirnya benar-benar sirna ketika perang Hamas-Fatah meletus pada Juni 2007. Hasil konflik itu melahirkan dua matahari yang memerintah Palestina dalam waktu yang sama. Di satu sisi, Hamas secara de facto berhasil menjadi penguasa tunggal Jalur Gaza, sementara di sisi lainnya Fatah tetap mempertahankan otoritasnya di Tepi Barat.
Haniyeh, yang saat itu tetap mengklaim sebagai perdana menteri sah, praktis menjadi pemimpin tertinggi pemerintahan di Jalur Gaza. Ia baru menyerahkan kembali jabatannya sebagai perdana menteri kepada Dewan Legislatif Palestina (PLC) pada 2014. Meski demikian, Haniyeh tetap memegang kendali pemerintahan Jalur Gaza hingga tahun 2017 sebelum digantikan oleh Yahya Sinwar.
Selama 10 tahun masa pemerintahannya di Gaza itu, setidaknya terdapat tiga konflik besar antara Hamas dan Israel di Jalur Gaza. Pertama adalah perang selama satu bulan pada Desember 2008-Januari 2009. Selanjutnya, perang kembali pecah selama delapan hari pada November 2012.
Baca juga: Getirnya Hidup di ”Penjara Terbuka” Jalur Gaza
Pertempuran besar sekaligus yang paling mematikan berikutnya meletus pada Juli-Agustus 2014. Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Kemanusiaan di Palestina, ketiga konflik terbuka itu menelan sedikitnya 3.804 korban jiwa warga Palestina dan 17.577 lainnya luka-luka.
Tiga peperangan besar itu lantas dipandang cukup membuktikan kapabilitas Haniyeh dalam memimpin Hamas dan perjuangan kemerdekaan Palestina. Akhirnya, pada 2017 Haniyeh terpilih menggantikan Khaled Mashal sebagai Ketua Biro Politik Hamas, jabatan struktural tertinggi dalam organisasi perlawanan tersebut.
Statusnya sebagai pemimpin tertinggi musuh utama Israel membuat keamanan nyawanya berada di titik nadir setiap saat. Apalagi, pada 2018 nama Haniyeh dimasukkan oleh Amerika Serikat ke dalam daftar teroris global. Haniyeh lantas mengikuti jejak pendahulunya untuk tinggal di luar negeri. Melansir AP, sejak Desember 2019 Haniyeh diketahui berdomisili di Turki dan Qatar.
Ahli diplomasi dan menghimpun kekuatan
Selain demi keamanan, Haniyeh dipandang memilih tinggal di luar Gaza supaya leluasa meraih dukungan politik dari negara-negara di kawasan. Ia dikenal dekat dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Emir Qatar Sheikh Tammim bin Hamad Al-Thani. Haniyeh juga dikabarkan menjalin relasi dengan pemimpin sesama kelompok ekstremis Taliban, Abdul Ghani Baradar.
Selain itu, Haniyeh juga memiliki ikatan kuat dengan elite kekuasaan Iran. Ini ditunjukkannya ketika menghadiri pemakaman Komandan Pasukan Quds Iran Mayor Jenderal Qassem Soleimani pada 2020 yang dibunuh oleh serangan pesawat nirawak Amerika Serikat.
Baca juga: Melacak Asal Muasal Senjata dalam Perang Gaza
Kedekatannya ini rupanya membuahkan dukungan Iran terhadap Hamas. Dalam wawancara dengan Al Jazeera pada 2022, Haniyeh menyebutkan bahwa Iran telah memberikan bantuan sebesar 70 juta dollar AS untuk pengembangan misil dan sistem keamanan Hamas. The Economists menyebutkan, pada konflik Palestina-Israel 2021, Hamas telah mampu menembakkan 390 roket per hari atau tiga kali lebih banyak dibandingkan pada 2014.
Selain menambah pasokan persenjataan, Haniyeh juga dipandang berhasil memodernisasi pasukan bersenjata Hamas. BBC melaporkan, sejak 2018 Haniyeh telah giat melancarkan latihan perang dan membentuk sebuah komando sentral bersama 10 faksi bersenjata Palestina lainnya.
Kesuksesannya dalam berdiplomasi dan menghimpun kekuatan kemudian mengantarkannya kembali mengamankan posisi sebagai Ketua Biro Politik Hamas. Ia meraih suara bulat dalam pemilihan internal tahun 2021 tanpa adanya satu pun oposan.
Setelah 2021, Haniyeh cenderung fokus pada peningkatan kekuatan militer Hamas dan relasi dengan Iran. Ia pun sempat terlibat dalam pembicaraan dengan Abbas pada Juli 2023 terkait pembentukan ulang pemerintahan persatuan dan pemilihan umum (Kompas.id, 31/7/2023).
Baca juga: Dunia Mendesak Terciptanya Gencatan Senjata bagi Gaza
Namun, sebelum rencana itu terwujud, Haniyeh ternyata memilih kembali ke jalan kekerasan dalam upaya merebut kemerdekaan Palestina. Pada 7 Oktober 2023, Hamas melancarkan operasi militer paling mematikan bertajuk Operasi Banjir Al-Aqsa yang menewaskan sekitar 1.200 warga Israel.
Haniyeh, sebagai pemimpin utama Hamas, memuji keberhasilan serangan itu dan mengatakannya sebagai peringatan atas ancaman terhadap Masjid Al-Aqsa, blokade Gaza, dan normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dan negara-negara Arab (Kompas, 9/10/2023).
Meski demikian, ketika perang terus berlanjut dan membawa kehancuran total bagi Gaza, Haniyeh dikritik karena tidak hadir di mandala pertempuran. Serangan Hamas yang memakan banyak korban sipil itu pun akhirnya mendorong Turki meminta Haniyeh dan elite Hamas lainnya meninggalkan negara tersebut.
Kini, meski sudah berjalan enam bulan lamanya, belum ada tanda-tanda bahwa pertempuran akan segera berakhir. Dengan korban di pihak Palestina yang telah menembus 33.000 jiwa, Haniyeh sepertinya menyadari peperangan yang ia mulai sudah lebih dari yang sanggup ia tanggung. Ia pun kini gencar mencari cara supaya gencatan senjata dapat segera tercipta.
Namun, tampaknya upaya ini akan sulit diraih menimbang Israel telah bersumpah melenyapkan Hamas dari muka bumi. Sebagai sosok nomor satu Hamas, dirinya pun selalu berada dalam bayang-bayang kematian. Hanya waktu yang akan menjawab bagaimana Haniyeh dapat mencari jalan memadamkan api pertempuran yang telah melahap sebagian besar keluarganya dan warga sipil Gaza tersebut. (LITBANG KOMPAS)