Konfigurasi Kemenangan Golkar di Sumut
Siasat jitu Beringin berhasil mengungguli Banteng di Sumut.
Peningkatan signifikan dukungan terhadap Golkar di Sumatera Utara menunjukkan kelihaian partai ini dalam memanfaatkan perubahan politik akibat guncangan relasi politik Jokowi dan PDI-P.
Sejarah pemilu menunjukkan, Sumatera Utara menjadi arena kontestasi politik yang terbilang paling dinamis. Sejak zaman kolonial hingga kini, kemunculan dan tenggelamnya pemimpin yang dipilih rakyat atau suatu kekuatan politik kerap terjadi dalam waktu yang relatif tidak panjang.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Tidak terelakkan, dinamisnya politik Sumatera Utara lantaran tidak dapat dilepaskan dari keberagaman identitas sosial warganya. Setiap identitas sosial tumbuh dalam besaran jumlah yang tidak dominan. Mengacu pada hasil Sensus Penduduk 2010 yang dilakukan BPS, di provinsi yang kini berpenduduk 15,3 juta tersebut sedikitnya bermukim 11 kelompok suku, etnik ataupun subetnik, dengan proporsi yang tidak dominan.
Suku bangsa yang berasal dari Pulau Jawa, yang terdiri dari suku Jawa, Sunda, Betawi dan beragam variannya, tercatat sebanyak sepertiga dari total penduduk (33,4 persen). Selain itu, beragam kelompok suku Batak, baik Tapanuli/Toba (25,62 persen), Mandailing (11,27 persen), Karo (5,09 persen), Simalungun (2,04 persen), dan Pakpak (0,73 persen). Terdapat pula Nias (6,36 persen), Melayu (5,86 persen), Tionghoa (2,71 persen), Minang (2,66 persen), dan Aceh (0,97 persen).
Selain keberagaman suku bangsa, sisi identitas agama pun terbilang beragam. Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Khonghucu, dan beragam aliran kepercayaan hidup berdampingan.
Pada tingkat provinsi, konsentrasi latar belakang primordial penduduk memang tidak dominan. Namun, uniknya, keberagaman etnisitas dan agama atau kepercayaan ini berkelindan pula dengan kantong-kantong permukiman atau batas-batas geografi pemerintahan daerah.
Sebagai gambaran, kabupaten-kabupaten yang bersentuhan dengan Danau Toba, misalnya, dominan dimukimi kelompok suku Batak Toba. Agama mayoritas, Kristen Protestan. Selanjutnya, pada wilayah seputaran Tapanuli Selatan, suku Mandailing dominan, yang lebih identik dengan pemeluk agama Islam. Begitu pula dengan wilayah lainnya, yang cenderung lebih terkonsentrasi pada identitas sosial.
Dalam setiap kontestasi politik, latar primordial berperan. Pada wilayah-wilayah kabupaten dan kota yang relatif bersifat homogen, tentu saja pola persaingan berlatar primordial relatif kurang menonjol. Namun, persinggungan dari keberagaman identitas sosial warga Sumut yang terjadi di kawasan pusat aktivitas pemerintahan ataupun perekonomian yang menjadi melting pot dipastikan menonjol.
Dinamika politik di Sumatera Utara
Dinamika politik dalam model konsentrasi penduduk yang terbentuk dari beragam identitas tersebut dipastikan berjalan dinamis. Tiap-tiap kekuatan politik saling beradu pengaruh pada setiap kontestasi politik yang terjadi. Pada wilayah semacam inilah Golkar, partai nasionalis yang dikenal dapat merangkum segenap kekuatan identitas sosial masyarakat tersebut, berperan optimal.
Merujuk pada hasil Pemilu 1999, di tengah perubahan politik yang cenderung menyingkirkan eksistensi Golkar, di Sumut partai ini masih bertahan pada posisi kedua, setelah PDI-P. PDI-P saat itu memang menguasai panggung politik, sejalan dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru.
Namun, pada Pemilu 2004, Golkar kembali menguasai Sumut. Sebaliknya, PDI-P yang sebelumnya mampu menghimpun suara lebih dari sepertiga penduduk Sumut menyusut drastis, hanya mampu bertahan dengan sisa dukungan sekitar 15 persen.
Pada pemilu selanjutnya, kiprah Golkar di Sumut masih tetap bertahan di tengah perubahan kepemimpinan nasional. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa, dan di sisi lain Partai Demokrat bentukannya mampu menjadi pemenang nasional dan termasuk di Sumut, Golkar bertahan di posisi kedua.
PDI-P yang kala itu tidak berhasil memenangkan ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri, sebagai presiden, menyebabkan dukungan politik terhadap PDI-P semakin melorot, menyisakan sekitar sepuluh persen pendukung, berada di bawah capaian Golkar.
Pada Pemilu 2014, tatkala PDI-P bersama sosok capresnya, Joko Widodo, menuai sukses, posisi politik Golkar justru semakin menguat di Sumut. Hasil Pemilu Legislatif 2014 menunjukkan, Golkar menjadi pemenang di Sumut, terpaut tidak jauh dengan capaian PDI-P. Namun, pada Pemilu 2019, PDI-P bersama Presiden Jokowi berjaya di Sumut, menguasai hingga 20,7 persen pemilih Sumut, sekaligus menyingkirkan Golkar di posisi ketiga, di bawah Gerindra, dengan dukungan 13,18 persen.
Memasuki Pemilu 2024, Golkar sejatinya berada dalam tekanan yang kurang menguntungkan. Di bawah dominasi kekuatan Presiden Jokowi yang dikenal lekat dengan warga Sumut itu, posisi politik dan kiprah Golkar menjadi tidak menonjol dan tersamarkan oleh kekuatan Jokowi yang diidentikkan dengan PDI-P. Akan tetapi, dinamika politik yang terjadi menjelang Pemilu 2024, yang merenggangkan relasi politik antara Jokowi dan PDI-P, menjadi peluang bagi Golkar dalam merebut dukungan di Sumut.
Dalam kerenggangan politik Jokowi dan PDI-P, Golkar reborn. Para calon anggota legislatif Golkar mampu memanfaatkan peluang menarik dukungan para pemilih Sumut yang mulai goyah, dan cenderung meninggalkan PDI-P. Pada Pemilu 2024, dengan dukungan sebanyak 1.712.074 suara pemilih yang diraih, atau sekitar 23,1 persen dari total pemilih Sumut, Golkar menjadi pemenang.
Dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, capaian Golkar di Sumut terbilang spektakuler, berhasil meningkatkan dukungan hingga sekitar 10 persen. Besaran peningkatan dukungan tersebut tidak mampu dilakukan partai politik lainnya. PDI-P yang sebelumnya berjaya kini meredup. Dalam pemilu tersebut, tersisa dukungan sebanyak 18,6 persen.
Persaingan caleg di Dapil Sumut II dan Sumut III
Jika ditelusuri, menguatnya posisi politik Golkar tampak di semua daerah pemilihan yang menjadi arena pertarungan politik. Partai ini kembali menjadi penguasa di berbagai karakteristik wilayah Sumut yang terbilang beragam.
Begitu pula pada wilayah-wilayah di Sumut dengan karakteristik identitas sosial suku dan agama yang relatif homogen, Golkar terbukti mampu menjadi pemenang.
Pada wilayah-wilayah semacam ini, Golkar memang sebelumnya punya sejarah penguasaan yang panjang. Daerah Pemilihan II Sumut, yang terdiri dari 16 kabupaten dan 3 kota, berhasil dikuasai hingga 28,5 persen.
Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Humbang Hasundutan, Labuhanbatu, Mandailing Natal, Nias, Nias Selatan, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Samosir, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Labuhanbatu Utara, Labuhanbatu Selatan, Nias Barat, Nias Utara, ataupun Kota Gunungsitoli, Kota Padang Sidimpuan, dan Kota Sibolga.
Pada wilayah-wilayah Daerah Pemilihan II Sumut dengan basis identitas kelompok suku, etnisitas, dan agama yang beragam, tetapi terkonsentrasi (homogen) pada wilayah kabupaten dan kota pada setiap kabupaten dan kotanya itu, Golkar diperkirakan mampu meloloskan tiga calegnya dari 10 kursi DPR yang diperebutkan. Padahal, pada pemilu sebelumnya, PDI-P mendominasi wilayah ini dan meloloskan caleg terbanyak.
Sosok caleg Golkar, Lamhot Sinaga, misalnya, mampu meraih dukungan 158.973 suara pemilih dengan konsentrasi pada kabupaten di seputaran Danau Toba, seperti Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba, Samosir, yang dikenal berbasis identitas suku Batak Toba dan beragama Kristen.
Di wilayah ini, pesaingnya, caleg PDI-P dengan nama tenar, seperti Rapidin Simbolon, Trimedya Panjaitan, ataupun Sihar Sitorus, dan Martin Manurung (Nasdem) kalah pamor. Bahkan, Trimedya yang berkali-kali lolos sebagai anggota DPR kali ini tersingkir.
Tidak kurang banyak pula dukungan yang diraih caleg Golkar lainnya: Andar Amin Harahap, yang meraih 140.063 dukungan pemilih. Andar mampu menguasai lebih dari tiga perempat bagian pemilih Golkar di Kabupaten Padang Lawas Utara dan lebih dari separuh pemilih Golkar lainnya di Padang Sidimpuan, serta di Tapanuli Selatan yang dikenal sebagai konsentrasi kelompok Angkola, Mandailing, dan beragama Islam.
Kepiawaian Golkar dalam mengambil alih penguasaan juga tampak di wilayah Dapil III Sumut, yang meliputi Kabupaten Asahan, Dairi, Karo, Langkat, Pakpak Bharat, Simalungun, Batu Bara dan Kota Binjai, Kota Pematangsiantar, Kota Tanjungbalai. Pada dapil ini, meskipun unggul, penguasaan Golkar memang semakin mengecil.
Baca juga: Di Bali, Benteng Banteng Masih Tersisa
Tidak kurang dari 22,7 persen pemilih dikuasai Golkar dan terpaut tidak jauh dengan yang dikumpulkan PDI-P (20,1 persen). Akan tetapi, pada wilayah ini, Golkar masih mampu menguasai tiga kursi DPR dari 10 yang diperebutkan.
Pada Dapil III, menariknya, tiga kursi DPR disumbangkan oleh tiga caleg Golkar dengan capaian yang tertinggi. Sosok Ahmad Doli Kurnia Tandjung, misalnya, menjadi yang teratas dengan menguasai 141.846 suara pemilih. Berikutnya, Delia Pratiwi br Sitepu, yang didukung 119.047 suara, dan Mangihut Sinaga dengan dukungan 116.091 suara.
Keunggulan dari ketiga caleg Golkar itu tidak lepas dari strategi penguasaan mereka di wilayah padat pemilih, seperti Kabupaten Simalungun, Langkat, dan Asahan, dan beberapa kabupaten atau kota lainnya. Pada Dapil III Sumut ini, PDI-P meloloskan dua caleg saja, yaitu Bob Andika Mamana Sitepu dan Bane Raja Manalu. Sementara sosok caleg tenar PDI-P, seperti Djarot Saiful Hidayat dan Junimart Girsang, tersingkir.
Persaingan Golkar dan PDI-P di Dapil Sumut I
Dari semua daerah pemilihan di Sumut, Dapil I yang meliputi kawasan Medan Raya, seperti Kota Medan dan Tebing Tinggi serta Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai, menjadi arena pertarungan paling kompetitif.
Dapil I yang menjadi wilayah paling ”panas” ini merupakan tempat ibu kota pemerintahan dan aktivitas perekonomian Sumut berada. Pada wilayah inilah yang sesungguhnya menjadi pertemuan dari warga Sumut dengan beragam latar suku dan agama.
Pada Dapil I, Golkar memang tidak mampu menjadi pemenang lantaran hanya berhasil menguasai 18,2 persen. Proporsi sebesar itu masih kalah ketimbang PDI-P dengan penguasaan hingga 20,5 persen. Kendati takluk dari PDI-P, dari sisi jumlah kursi DPR yang berhasil dikuasai, Golkar diperkirakan sama dengan PDI-P menguasai dua kursi DPR.
Caleg peraih dukungan tertinggi di Dapil I Sumut diraih Sofyan Tan dengan dukungan hingga 279.334 suara, atau terbesar di seluruh Sumut. Sofyan menjadi lebih istimewa lantaran hanya ia sosok PDI-P yang mampu meningkatkan dukungan ketimbang pemilu sebelumnya. Sementara itu, sosok-sosok caleg PDI-P lainnya cenderung melorot dukungannya.
Baca juga: Perempuan Sulut Berlenggang dalam Politik
Dukungan terhadap Sofyan dibayangi oleh dua caleg Golkar, yaitu Musa Rajekshah dengan dukungan 190.990 pemilih dan Meutya Hafid sebanyak 147.004 pemilih. Musa yang dikenal sebagai Wakil Gubernur Sumut ini, serta petahana anggota DPR Meutya Hafid, mengonsentrasikan dukungan pemilih di Kota Medan dan Deli Serdang.
Dengan membandingkan jumlah dukungan yang berhasil dikumpulkan oleh para caleg Golkar dan PDI-P di ketiga daerah pemilihan Sumut, tampak bahwa petarung politik Golkar mampu bersiasat jitu merebut pilihan politik warga Sumut.
Di tengah loyalitas dukungan warga Sumut yang lebih dominan pada sosok Jokowi ketimbang PDI-P ataupun caleg PDI-P, para caleg Golkar berhasil menawarkan dirinya sebagai pilihan politik yang lebih kompetitif dan relatif lebih diterima pada setiap sekat identitas sosial warga Sumut. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Sofyan Tan, Benteng Akhir ”Banteng” di Sumut