Persoalan suara tak sah dan pemilih yang tak menggunakan hak pilihnya turut memengaruhi tingkat partisipasi pemilih.
Oleh
YOHANES MEGA HENDARTO/LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
Merujuk hasil rekapitulasi suara Pemilu 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum pada 20 Maret lalu, tingkat partisipasi pemilih pada Pemilihan Presiden 2024 berada di angka 81,78 persen. Persentase ini didapat dari perhitungan 164,3 juta suara sah dibandingkan dengan jumlah daftar pemilih tetap sebanyak 204,4 juta pemilih. Saat rapat bersama Komisi II DPR, 25 Maret lalu, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengakui, partisipasi pemilih pada Pemilu 2024 menurun ketimbang pada 2019.
Partisipasi pemilih pada Pilpres 2019 yang mempertemukan pasangan calon presiden-calon wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memang masih menjadi catatan tertinggi dalam empat pilpres terakhir, yaitu 81,97 persen. Dibandingkan dengan Pilpres 2014, angka partisipasi pemilih pada 2019 pun terbilang tinggi karena naik hingga 12,4 persen. Pilpres 2014 yang menjadi panggung kontestasi antara Jokowi dan Prabowo pertama kalinya baru mampu menghimpun 69,9 persen pemilih.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Padahal, pada Pilpres 2009, tingkat partisipasi pemilih mencapai 72,6 persen. Jika ditarik mundur ke Pilpres 2004 (putaran pertama), sebenarnya Pilpres 2009 mengalami penurunan partisipasi 7,2 persen pemilih.
Pola yang berbeda justru terjadi di pemilu legislatif dalam empat pemilu terakhir. Pada Pileg 2024, KPU mencatat terdapat 151,8 juta suara sah dengan tingkat partisipasi pemilih 81,42 persen. Sama seperti pilpres, hasil tersebut masih lebih rendah ketimbang Pileg 2019 dengan angka partisipasi 81,69 persen.
Walakin, angka partisipasi pemilih di Pileg 2014 berada di angka 75,11 persen dan lebih tinggi 5,5 persen dibandingkan dengan pilpres pada tahun yang sama. Angka tersebut juga terbilang meningkat ketimbang Pileg 2009 dengan 38 peserta partai politik dan angka partisipasi pemilih hanya 70,99 persen. Dapat dikatakan, angka partisipasi pileg dari 2009 hingga 2019 mengalami peningkatan, tetapi sedikit turun pada Pileg 2024.
Dari penelusuran tersebut, disimpulkan bahwa angka partisipasi pemilih untuk pilpres selalu lebih tinggi daripada pileg, kecuali pada Pemilu 2014. Hal ini juga menunjukkan pemilu serentak yang dimulai sejak 2019 tidak menjadi faktor yang memengaruhi hubungan partisipasi pemilih antara pilpres dan pileg. Perlu diakui, aspek kampanye, sosialisasi, dan pamor kontestasi capres-cawapres masih lebih diminati.
Namun, pemilu serentak justru terlihat cukup signifikan untuk mendorong angka partisipasi pemilih. Bisa jadi, faktor efisiensi menjadi pendorong yang signifikan. Dari sisi pemerintah, efisiensi ada pada biaya serta persiapan penyelenggaraan pemilu, sedangkan dari pemilih ada alokasi waktu atau hari pencoblosan meski penghitungan suaranya di TPS memakan waktu lebih lama.
Jika dibandingkan dengan negara lain yang menganut sistem pemilihan langsung, angka partisipasi pemilih untuk Pemilu 2024, khususnya pilpres, di Indonesia masih terbilang baik. Dari riset International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA), dengan angka partisipasi pada Pemilu 2024, Indonesia masih masuk dalam kategori angka partisipasi pemilih yang tinggi (high voter turnout). Namun, di dalamnya disebutkan pula, tren partisipasi pemilih dalam satu dekade ke depan akan mengalami penurunan secara global karena apatisme pemilih yang didorong maraknya kasus korupsi pejabat pemerintah dan ketidaktegasan dalam penegakan hukum.
Perkara golput
Suara sah dijadikan tolok ukur untuk melihat angka partisipasi pemilih saat pemilu. Berlawanan dari itu, suara tidak sah (invalid ballots/voting) dan surat suara yang tidak digunakan dijadikan parameter terhadap angka golput pemilih (abstention voters). Padahal, antara pemilih golput, suara tidak sah, dan surat suara yang tidak digunakan dapat bermuara pada kesimpulan yang berbeda.
Jika pada Pilpres 2024 terdapat total suara sah 81,97 persen, suara tidak sah berarti 18,03 persen. Penghitungan yang sama juga dapat dilakukan terhadap hasil Pileg 2024 sehingga menghasilkan 18,58 persen suara tidak sah. Pertanyaannya, apakah dapat disimpulkan bahwa pada Pemilu 2024 angka golput cenderung naik dibandingkan dengan pemilu sebelumnya?
Ketentuan dalam Pasal 55 Peraturan KPU Nomor 25 Tahun 2023 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu menyatakan, jika pada surat suara terdapat tulisan dan/atau catatan lain, surat suara tersebut dinyatakan tidak sah. Begitu juga jika surat suara dicoblos tidak menggunakan alat coblos yang telah disediakan KPU. Surat suara tidak sah juga berlaku jika terdapat banyak tanda coblosan dalam satu kertas suara, apalagi di luar area kotak gambar pasangan calon.
Merujuk pada kajian politik modern, surat suara tidak sah dapat dipilah berdasarkan empat tipologi. Keempatnya ialah pemilih apatis (apathetic voters), pemilih yang tidak tertarik atau merasa tidak terpengaruh politik (uninterested/disaffected voters), pemilih yang tidak percaya politik (untrusting voters), dan pemilih yang bingung, belum paham, atau tidak tahu apa pun saat pencoblosan (confused/unknowledgeable voters). Dari tipologi ini, suara tidak sah melekat pada faktor kesalahan pemilih (voter errors) dan penyelenggara pemilu.
Surat suara tidak sah dan suara yang tak digunakan tidak dapat dijadikan parameter langsung atas sikap politik golput pemilih. Di satu sisi, para pemilih dapat dikatakan bersikap golput secara intensional jika sengaja tidak mencoblos atau sengaja mencoblos dengan salah sehingga dihitung sebagai suara tidak sah. Di sisi lain, pemilih juga dapat tergolong golput dengan tidak sengaja, misalnya surat suara terobek saat melipat kembali atau surat suara lain tak sengaja ikut tercoblos karena pemilih menumpuk surat suara.
Lebih lanjut, surat suara tidak sah sebenarnya juga bergantung pada tindakan dan keputusan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara yang bertugas. Dengan sistem pemilu serentak yang mewajibkan penghitungan lima jenis surat suara, peluang KPPS melakukan kesalahan tetap ada. Belum lagi dalam proses teknis Sirekap dan penghitungan berjenjang oleh KPU yang mengalami berbagai kendala dalam pelaksanaannya.
Dengan begitu, tidak mudah membedakan golput sebagai sebuah sikap politik pemilih dan golput sebagai kesalahan teknis. Keduanya tumpang tindih dalam data yang tertuang di berita acara dan sertifikat rekapitulasi penghitungan perolehan suara oleh KPU.
Gencarnya program sosialisasi oleh KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebenarnya hanya menjadi salah satu variabel untuk menekan persentase pemilih golput secara teknis. Namun, secara sikap politik, perilaku golput masih perlu dikaji lebih mendalam demi merawat iklim demokrasi negara ini.