Otonomi Daerah: Ketergantungan terhadap Transfer dari Pusat Masih Tinggi
Ketergantungan daerah terhadap dana transfer dari pemerintah pusat masih tinggi.
Otonomi daerah yang berjalan sejak awal reformasi hingga kini masih menyimpan persoalan tingginya ketergantungan daerah terhadap dana transfer dari pemerintah pusat.
Provinsi di bagian timur bahkan nyaris bergantung 100 persen terhadap dana transfer dari pusat untuk mengelola pemerintahan di daerah dan kesejahteraan masyarakatnya.
Otonomi daerah hadir dengan semangat untuk memajukan pembangunan di daerah dan menyejahterakan rakyatnya. Dua perangkat hukum diterbitkan untuk menyokong keberhasilan jalannya desentralisasi, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Seiring dengan pelimpahan wewenang tata kelola pemerintahan ke daerah, pemerintah pun mengucurkan dana perimbangan untuk membantu keuangan daerah dan daerah mendapatkan haknya dari sumber daya alam yang dieksploitasi di wilayahnya. Kini, pos dana perimbangan beralih namanya menjadi transfer ke daerah.
Komponen transfer ke daerah tersebut terdiri dari dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus (untuk Papua, Aceh, dan dana tambahan infrastruktur dalam rangka otonomi khusus), dana keistimewaan DI Yogyakarta, dana desa, dan insentif fiskal.
Besaran dana transfer ke daerah ini meningkat setiap tahun, mengikuti perkembangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hingga tahun 2019, besaran dana transfer ke daerah tercatat Rp 813 triliun atau 35,2 persen dari belanja negara di APBN.
Pada tahun berikutnya, ketika pandemi Covid-19 menerjang, besaran transfer ke daerah turun menjadi Rp 762,5 triliun karena prioritas anggaran belanja diperuntukkan bagi penanganan dan pengendalian Covid-19.
Pada tahun 2021, dana transfer ke daerah sedikit naik menjadi Rp 785,7 triliun, tetapi porsinya dalam APBN mengecil menjadi 28,2 persen. Pada tahun-tahun berikutnya dana transfer ke daerah terus meningkat meski porsinya dalam APBN menurun. Untuk tahun 2024, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 857,6 triliun atau 25,8 persen dari APBN untuk transfer ke daerah.
Peningkatan dana transfer ke daerah mengikuti penambahan atau pemekaran wilayah yang terjadi pada tahun 2022, khususnya di wilayah Papua. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan saat ini wilayah administrasi di Indonesia terdiri dari 38 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota.
Meski mendapat dana transfer dari pusat, daerah diharapkan mampu menggali dan memperbesar sumber keuangannya dengan potensi daerah yang dimiliki.
Daerah memiliki kemandirian keuangan untuk mengelola wilayah dan menyejahterakan rakyatnya. Sayangnya, hal itu belum sepenuhnya tercapai dan ada indikasi ketergantungan yang makin tinggi terhadap dana transfer dari pusat.
Baca juga: ”Slepet”, Joget, atau ”Sat-set” Otonomi Daerah
Ketergantungan fiskal
Hasil analisis Litbang Kompas terhadap kemampuan fiskal daerah dengan melihat porsi dana transfer dari pemerintah pusat terhadap pendapatan daerah menunjukkan ketergantungan fiskal yang tinggi dengan rata-rata nasional sebesar 79,4 persen.
Artinya, pendapatan daerah mayoritas (79,4 persen) berasal dari dana transfer pemerintah pusat. Hal ini mempertegas bahwa sumber keuangan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah memang masih rendah, yaitu sekitar 20 persen atau bahkan di bawahnya.
Angka ketergantungan fiskal ini didapat dari menganalisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2023 sebanyak 508 kabupaten/kota di Indonesia, di luar wilayah administratif DKI Jakarta. Dari 508 kabupaten/kota, hanya 22 kabupaten/kota atau 4,3 persen yang ketergantungannya terhadap transfer dari pusat tergolong rendah, yakni kurang dari 50 persen.
Adapun 10 besar kabupaten/kota yang memiliki ketergantungan fiskal yang rendah secara berturut-turut adalah Kabupaten Badung, Bali (11,7 persen), Kota Surabaya, Jawa Timur (24,2 persen), Kota Semarang, Jawa Tengah (28,6 persen), Kota Tangerang Selatan, Banten (31,4 persen), Kota Bekasi, Jawa Barat (31,5 persen), Kota Medan, Sumatera Utara (34 persen), Kota Tangerang, Banten (35,2 persen), Kota Depok, Jawa Barat (35,7 persen), Kabupaten Gianyar, Bali (38,3 persen), dan Kota Tangerang, Banten (39,5 persen).
Dari 22 kabupaten/kota yang memiliki ketergantungan yang rendah terhadap dana transfer dari pusat dapat dilihat bahwa daerah-daerah tersebut memiliki kekhasan atau potensi yang dapat dioptimalkan untuk sumber keuangan daerah.
Daerah-daerah itu terutama adalah kabupaten/kota yang maju di sektor pariwisata, industri, perdagangan, dan daerah yang memiliki tata kelola pemerintahan yang sudah modern. Ibu kota provinsi rata-rata memiliki ketergantungan fiskal yang lebih rendah dibandingkan daerah lainnya dalam satu provinsi.
Hasil analisis juga menunjukkan terdapat kesenjangan wilayah terkait ketergantungan fiskal ini, yakni kabupaten/kota di Pulau Jawa-Bali ketergantungan fiskalnya lebih rendah dibandingkan luar Jawa-Bali. Ketergantungan fiskal kabupaten/kota di Pulau Jawa-Bali sebesar 63,1 persen, sedangkan di luar Jawa-Bali 83 persen.
Rata-rata ketergantungan fiskal kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat bahkan di atas 90 persen. Ketergantungan fiskal di Papua sebesar 93,3 persen dan di Papua Barat sebesar 92,8 persen.
Kondisi ini sekaligus menunjukkan masih terdapat kesenjangan pembangunan yang berdampak pada kesenjangan kegiatan ekonomi yang membuat daerah tidak bisa menggali sumber keuangan yang lebih baik.
Butuh inovasi dan kreativitas pemerintah daerah untuk bisa menggali dan memperluas sumber keuangannya untuk menuju kemandirian fiskal. Hal itu juga perlu didukung sumber daya manusia yang berkualitas, terutama aparatur sipil negara yang menjalankan tata kelola pemerintahan.
Jika kondisi ketergantungan fiskal ini tidak segera diperbaiki, muaranya nanti akan membebani APBN yang menjadi sumber transfer ke daerah. Pemerintah pusat akan kesulitan mencari dana untuk menutup kebutuhan daerah ini sehingga berpotensi menambah utang atau menaikkan pajak dan mengurangi subsidi.
Apalagi di tengah situasi ketidakpastian ekonomi yang disebabkan geopolitik global saat ini. Ujung-ujungnya, beban masyarakat juga yang akan bertambah. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Otonomi Daerah Dilupakan?