Sulitnya Pembuktian Gugatan ”TSM” di Mahkamah Konstitusi
Setiap pemilu presiden usai, gugatan TSM terkait hasil pemilu senantiasa membuat sidang MK kembali ”bergetar”.
Putusan sengketa hasil pemilihan umum (PHPU) Mahkamah Konstitusi atas gugatan hasil Pemilihan Presiden 2024, yang dibacakan pada Senin (22/4/2024) di Gedung MK, kembali menegaskan sulitnya mengabulkan gugatan sengketa hasil pemilu presiden karena tersandung soal pembuktian gugatan yang TSM atau terstruktur, sistematis, dan masif.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemohon kubu nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan pemohon kubu nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Pasangan Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin memohon agar Mahkamah Konstitusi membatalkan hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 karena terindikasi telah terjadi kecurangan yang bersifat TSM.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
MK beranggapan, tudingan kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif yang menjadi dasar permohonan pasangan nomor urut 1 ataupun 3 tidak mampu dibuktikan dalam persidangan di MK. Tak hanya itu, tudingan adanya nepotisme oleh Presiden dan cawe-cawe dianggap tak beralasan secara hukum.
MK beralasan karena waktu yang terbatas, (hanya 2 minggu, dengan jumlah alat bukti saksi dan ahli yang terbatas, 16 saksi, 3 ahli di setiap pemohon), tak mungkin melakukan validasi. Demikian pula keterangan saksi-saksi dan alat bukti yang muncul di pengadilan menunjukkan tidak terdapat pengaruh bansos terhadap elektabilitas, dan tak terbukti cawe-cawe Presiden Jokowi.
Meskipun tuduhan adanya TSM dinilai tak mampu dibuktikan pemohon, narasi yang kuat di sebagian publik tetap mendapatkan atensi sebagian hakim konstitusi. Tiga dari delapan hakim konstitusi, yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat, mengajukan dissenting opinion atau pendapat berbeda.
Inti dari dissentingopinion menilai terjadinya pelanggaran pemilu dan perlunya pemilu ulang dilakukan di sejumlah provinsi/tempat yang diduga telah terjadi pelanggaran pelaksanaan pemilu, baik karena tuduhan dampak bansos maupun keterlibatan aparat dan sejenisnya.
Putusan MK tersebut mematahkan harapan kubu pemohon dan sebagian masyarakat yang tadinya berharap masih ada harapan berkas-berkas keadilan. Banyak harapan agar MK berani membuat keputusan monumental dengan menembus ruang keadilan substantif, bukan hanya keadilan prosedural. Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat membuktikan sebagai peradilan konstitusional dan penjaga demokrasi.
Harapan itu muncul karena di mata sebagian publik, akademisi, budayawan, rohaniwan, aktivis dan politisi, kini telah terjadi kemerosotan demokrasi akibat praktik berpolitik yang tidak etis. Di tengah gelombang itu, Mahkamah Konstitusi juga dinilai ”ternoda” oleh kasus etik hakim konstitusi dan pelaksanaan pemilu yang dinilai banyak pihak marak dengan keterlibatan aparat dan cawe-cawe kepala negara.
Bahkan, banyak kalangan yang menilai putusan MK atas perselisihan hasil pemilihan umum Pemilihan Presiden 2024 akan menjadi titik balik penting bagi MK. Putusan tersebut juga akan menjadi ujian bagi keberlangsungan Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi, sebab putusan itu dengan sendirinya akan menjawab ”kesalahan” yang telah diciptakan MK. Semua harapan itu pupus.
Terlepas dari hal di atas, menengok ke dua pemilu presiden sebelumnya, soal pembuktian gugatan TSM kerap menjadi batu sandungan bagi pemohon sengketa hasil pilpres. Jika pada gugatan pemohon Pilpres 2024 pemohon dianggap hakim tak mampu memberikan pembuktian gugatannya, demikian pula pada pilpres sebelumnya.
Pemilu 2019, minta diskualifikasi dan pemilu ulang
Harian Kompas edisi 25 Mei 2019 memberitakan, di Pemilu Presiden 2019, kubu capres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengajukan gugatan sengketa hasil pemilihan presiden ke Mahkamah Konstitusi. Prabowo-Sandi mendalilkan ada pelanggaran TSM dalam Pilpres 2019.
Ada lima bentuk pelanggaran yang mereka uraikan, yakni penyalahgunaan anggaran belanja negara dan program/kerja pemerintah; ketidaknetralan aparatur negara, seperti polisi dan intelijen; penyalahgunaan birokrasi dan badan usaha milik negara; pembatasan kebebasan media dan pers; serta diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum.
Atas lima uraian pelanggaran TSM itu, Prabowo-Sandi meminta MK mendiskualifikasi Jokowi-Amin atau setidak-tidaknya memerintahkan pemilu diulang secara nasional. Pasangan capres mendaftarkan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dengan diwakili oleh adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo.
Hashim, yang ditunjuk sebagai penanggung jawab gugatan Prabowo-Sandi, tiba di MK dengan didampingi, antara lain, Ketua Tim Hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto. Uniknya, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi sebelumnya beberapa kali menyatakan tak akan mengajukan PHPU Pilpres ke MK ”karena dinilai sia-sia”.
Waktu 14 hari yang diberikan undang-undang untuk menuntaskan sengketa pemilu presiden relatif singkat untuk menyelesaikan perkara yang berdimensi politik besar, serta berdampak signifikan bagi kepemimpinan nasional.
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan hasil perolehan suara Pemilu 2019. Dari hasil penghitungan KPU, pasangan Jokowi-Amin mendapat 85.607.362 suara atau 55,50 persen suara. Adapun Prabowo-Sandi mendapat 68.650.239 atau 44,50 persen suara. Selisih suara kedua pasangan 16.957.123 suara dengan kemenangan pada Jokowi-Amin.
Saat itu, Litbang Kompas melakukan jajak pendapat pada 19-20 Juni 2019 terkait persidangan PHPU pemilu. Hasilnya, sikap publik tampak terbelah oleh aspek favoritisme di pemilu. Sebanyak 68,2 persen responden pemilih pasangan calon nomor urut 1, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, menyatakan tidak percaya terjadi pelanggaran atau kecurangan TSM tersebut.
Namun, di sisi lain, 73,5 persen responden pemilih pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, menyatakan percaya bahwa pelanggaran itu terjadi (Kompas, 24/6/2019).
Bambang Widjojanto, anggota tim kuasa hukum Prabowo-Sandi, berharap MK tak sekadar menjadi ”mahkamah kalkulator” dalam memeriksa perkara tersebut. MK diharapkan tidak hanya secara prosedural menghitung angka-angka raihan suara kedua pasangan calon, tetapi juga melihat perkara ini secara substantif, dengan mempertimbangkan asas pemilu yang luber dan jurdil.
Harapan supaya MK bersikap tidak prosedural muncul, agar mampu lebih mendalam melihat pelanggaran bersifat TSM yang dilakukan karena jika dilakukan secara prosedural diyakini tak akan terlihat. Namun, harapan tinggal harapan.
Dalam putusan setebal 1.944 halaman, MK menyatakan, dalil pemohon bahwa telah terjadi pelanggaran yang bersifat TSM di pemilu lalu tidak beralasan menurut hukum karena tidak didukung alat bukti yang valid, tidak relevan dengan kasus yang diperiksa, serta tidak bisa dijelaskan secara hukum.
MK menolak seluruh dalil permohonan pemohon, pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang menyoal putusan KPU terkait hasil penghitungan suara pemilihan presiden (Kompas, 28/6/2019).
Pemilu 2014, Prabowo-Hatta gugat Keputusan KPU
Sebagaimana dalam Pilpres 2019, di pemilu lima tahun sebelumnya juga terjadi gugatan serupa terkait sengketa hasil pilpres. Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menggugat keputusan Komisi Pemilihan Umum tentang hasil rekapitulasi suara nasional dan penetapan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pasangan terpilih.
Tim hukum Prabowo-Hatta (Tim Pembela Merah Putih) mendalilkan adanya kecurangan TSM hampir di semua provinsi di Indonesia. Kecurangan, antara lain, dengan memobilisasi pemilih memakai daftar pemilih tambahan dan daftar pemilih khusus tambahan.
Baca juga: Kemenangan Pasangan Prabowo-Gibran Sah
Menurut anggota Tim Pembela Merah Putih, hasil rekapitulasi yang ditetapkan KPU pada 22 Juli 2014 tidak sesuai hitungan yang dilakukan timnya. Menurut hitungannya, Prabowo-Hatta mendapat 67.139.153 suara dan Jokowi-JK mendapat 66.435.124 suara (selisih 704.011 suara).
”Dari hasil hitungan ini, kami menemukan bahwa di 33 provinsi terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu. Tepatnya di 52.000 TPS yang berkenaan dengan pemilih sebanyak 21 juta orang,” kata Maqdir Ismail. Dia meminta pemungutan suara ulang di ke-52.000 TPS tersebut (Kompas, 26/6/2014).
Sebelumnya, KPU telah menetapkan Jokowi-JK menang dengan 70.997.833 suara atas Prabowo-Hatta dengan 62.576.444 suara (selisih 8.421.389 suara).
Terkait proses pembuktian, MK siap memberikan perlakuan yang sama kepada semua pihak beperkara, termasuk pihak terkait. MK siap memverifikasi 52.000 dokumen C1.
Namun, sejumlah kelemahan dalam gugatan sengketa Pemilu Presiden 2014 memunculkan kesangsian bahwa MK akan mengabulkan gugatan itu. Kelemahan dalam gugatan Prabowo-Hatta, antara lain, terlihat dari banyaknya data yang salah ketik dan hanya copy paste.
Salah satu dalil dalam berkas permohonan tim Prabowo-Hatta adalah pelanggaran TSM, antara lain, dilakukan dengan memobilisasi pemilih melalui pemanfaatan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb) atau pemilih dengan KTP/paspor/identitas lain.
”Kalau bicara DPKTb, itu persoalan irregularities, hal-hal yang tidak sesuai aturan. Pertama, itu tidak mesti kecurangan. Kedua, pengguna DPKTb sendiri tidak bisa dipastikan menguntungkan siapa. Dengan banyaknya DPKTb, tidak diketahui siapa yang diuntungkan siapa yang dirugikan karena tidak bisa diverifikasi. Kalau modalnya unusual things, itu terlalu spekulatif untuk dikatakan sebagai kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif,” papar Refly (Kompas, 31/7/2014).
Dengan pertimbangan ini, Refly berpendapat, agak berat bagi MK mengabulkan permohonan sengketa yang diajukan tim Prabowo-Hatta. Dua dalil yang diajukan tim Prabowo-Hatta, yaitu klaim perolehan suara yang benar versi pemohon dan dugaan pelanggaran TSM, tidak kuat untuk menggugurkan hasil yang ditetapkan KPU.
Materi gugatan yang diajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dinilai seperti cerita fiksi atau rekaan. Oleh karena itu, tim hukum presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla menyatakan optimistis menang.
Baca juga: MK Nilai Pencalonan Gibran Sah, Intervensi Presiden Tak Terbukti
Hal itu diungkapkan salah seorang anggota Tim Hukum Jokowi-JK, Andi M Asrun, seusai mendaftarkan sebagai pihak terkait dalam sengketa hasil Pemilu Presiden 2014 yang diajukan Prabowo-Hatta di Mahkamah Konstitusi. ”Lebih banyak fiksinya, tak jelas. Banyak pula yang salah dan kabur,” ujar Asrun, yang didampingi sejumlah advokat, seperti Teguh Samudra dan Sirra Prayuna (Kompas, 5/8/2014).
Ketiga contoh kasus sulitnya pembuktian gugatan PHPU pilpres atas kecurangan yang bersifat TSM menimbulkan pertanyaan, apakah proses beracara di peradilan MK, termasuk seluruh instrumen dan dalil hukum yang dimiliki, masih memadai untuk menyelesaikan sengketa PHPU pilpres secara berkeadilan dan tuntas? (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: PDI-P Sebut MK Gagal Jadi Benteng Konstitusi dan Demokrasi