Ibadah Puisi Joko Pinurbo Kini Abadi
Dengan wafatnya, Joko Pinurbo menunaikan ibadah puisinya menuju keabadian.
Selamat Menunaikan Ibadah Puisi, demikian Joko Pinurbo memberikan judul pada salah satu buku kumpulan puisinya. Judul tersebut merupakan salah satu frasa dalam puisi ”Puasa” yang ia tulis pada tahun 2007. Buku yang terbit pada tahun 2016 ini berisi 121 puisi karya Jokpin, sapaan Joko Pinurbo, yang ditulis dalam kurun waktu 1989-2012.
Dalam bagian pengantar buku puisi itu, Jokpin menuturkan, ide awal sebenarnya adalah menerbitkan ulang sejumlah buku puisinya. Namun, ia membayangkan tebalnya buku tersebut dan malah membuat puisinya tidak dapat dibaca oleh semakin banyak orang.
”Jika hal ini diwujudkan, hasilnya adalah sebuah buku puisi yang harganya mungkin kurang bersahabat dengan sebagian pembaca,” tulis Jokpin.
Sederhananya, ia tidak ingin bukunya terlampau mahal sehingga pembacanya malah berjarak dengan buku-buku puisinya. Alih-alih menerbitkan buku yang tebal, akhirnya terpilih 121 puisi yang ia lewati dengan membaca ulang, memilih, dan menyunting kembali karya-karya lampaunya.
Baca juga: Joko Pinurbo dan Keindahan dalam Dunia Sehari-hari
Seni untuk seni vs seni untuk pasar
Dari hal sederhana ini tampak bahwa Joko Pinurbo ingin mendamaikan dua kutub dikotomi yang selalu ”mengganggu” dalam dunia seni, termasuk sastra.
Yang pertama adalah seni untuk seni, yang berikutnya seni untuk pasar. Dalam kutub yang pertama, seorang seniman secara idealis tidak peduli dengan apa yang ada di luar dirinya, termasuk pasar atau pembaca.
Penganut kutub yang pertama tentu lebih mengedepankan ”egoisme”-nya sebagai seorang sastrawan, yakni berkarya secara ”merdeka”. Perkara bagaimana karya itu akan diterima atau tidak oleh pasar bukan sesuatu yang perlu dipikirkannya.
Sebaliknya, dalam kutub yang kedua, seni memang semata-mata dibuat untuk memenuhi ”hasrat” pasar. Untuk itu, karya pertama-tama diciptakan sedemikian rupa agar ”laku keras” di pasar. Sebab, dengan jalan itulah mereka yang terlibat dalam penerbitan sebuah karya memperoleh keuntungan maksimal.
Akan tetapi, Jokpin tampak berdiskresi dengan cermat untuk bermain di tengah dua kutub tersebut. Di satu sisi, Jokpin sebagai sastrawan ingin menerbitkan karya yang indah sesuai dengan idealisme seninya.
Di sisi lain, ia tak luput memikirkan bagaimana akses pembaca terhadap karya-karyanya. Tepat di sinilah, ”ibadah puisi” yang dihidupi oleh seorang Jokpin.
Kerelaan memikirkan pembaca yang meliputi semua kelas sosial dan latar belakang membuatnya berpikir bagaimana karyanya akan diterbitkan. Sebab, sebagaimana gaya puisinya yang sederhana, mungkin saja ia berharap tidak perlu ilmu sastra ataupun seni yang ”tinggi-tinggi” untuk dapat menikmati puisinya.
Pembaca yang luas, tanpa latar belakang ilmu sastra yang mumpuni, tetap bisa dekat dan selalu rindu dengan puisi-puisi Jokpin yang sangat jarang dibalut dengan kata-kata rumit dan pelik.
Sebaliknya, keindahan puisi Jokpin malah terletak dalam kesederhanaan pilihan kata yang dapat dinikmati dalam cara paling sederhana pula. Ini pun ”laku puisi” yang dijalani oleh Joko Pinurbo.
Baca juga: Joko Pinurbo Tuntas Menunaikan Ibadah Puisi
Ibadah puisi
”Saya sedang mencuci celana yang pernah saya pakai untuk mencekik leher saya sendiri. Saya sedang mencuci kata-kata dengan keringat yang saya tabung setiap hari. Dari kamar yang jauh dan sunyi saya ucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puisi”.
Demikianlah lengkapnya syair berjudul ”Puasa” yang ditulis oleh Joko Pinurbo. Sekilas membaca, tidak ada kata yang terlalu rumit sehingga pembaca perlu membuka kamus atau bertanya kepada ahli kata sulit untuk menikmati puisi Jokpin tersebut.
Akan tetapi, sekali lagi, dalam kesederhanaan pilihan-pilihan kata itulah ibadah puisi terus dihidupi oleh Joko Pinurbo. Sementara orang pasti kerap mendengar sastra ”adiluhung”. Seni yang tinggi selayaknya angker saat dibaca dan hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menikmatinya.
Di sini pulalah senantiasa muncul perdebatan dalam sastra, bahwa karya yang adiluhung tak bisa sembarangan dibaca oleh orang sembarangan pula.
Maka, perlu kata-kata yang mungkin orang harus membuka kamus dan harus menemukannya dalam entri yang berlapis. Dalam ibadahnya, eksklusivitas inilah yang ingin didobrak oleh Jokpin melalui kesederhanaan kata-kata.
Kendati begitu, bukan berarti Jokpin lalu membuat karya ecek-ecek. Dalam ”laku” dan permenungannya tampak Jokpin malah membuktikan ke-”adiluhung”-an sebuah puisi tidak terletak pada susunan katanya yang rumit. Sebaliknya, makna yang dalam tidak melulu soal kata yang sulit, namun malah dalam kata sederhana yang diberi ”roh” dalam setiap pilihannya.
Meskipun sederhana, dalam permainan katanya, Jokpin senantiasa mengajak pembaca puisinya untuk berefleksi dalam kenyataan hidup sehari-hari. Misalnya, lunturnya spiritualitas manusia modern yang coba disentil oleh Jokpin lewat sajak ”Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya”.
”Tuhan, ponsel saya rusak dibanting gempa/Nomor kontak saya hilang semua/Satu-satunya yang tersisa ialah nomor-Mu/Tuhan berkata: dan itulah satu-satunya nomor yang tak pernah kau sapa/”
Dalam larutnya manusia terhadap hiruk-pikuk dunia modern, Pencipta sering kali lupa disapa. Tipisnya relasi manusia dengan Pencipta-nya di dunia kekinian tidak disentil dengan kalimat yang menggurui atau mengutip ayat-ayat suci. Jokpin berhasil menyentil manusia kekinian dengan kalimat sederhana yang jenaka.
Bagi Jokpin, Tuhan juga bukan sosok agung yang terlampau jauh dari jangkauan manusia. Sebaliknya, ia mencoba mengajak pembaca untuk menyapa Tuhan dengan cara yang sederhana sebagaimana ia tulis dalam puisi ”Doa Malam”.
”Tuhan yang merdu/terimalah kicau burung dalam kepalaku"
Baca juga: Joko Pinurbo Meninggal, Indonesia Kehilangan Penyair Terbaik
Menuju keabadian
Sabtu (27/4/2024) pagi, Joko Pinurbo meninggal di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Ia menutup mata di ”Jogja dalam Kaleng Khong Guan”. ”Jogja itu/rasa kangen/dan senewen/yang selalu muncul/dalam kaleng Khong Guan/tanpa kulo nuwun/ dan matur nuwun”.
Jokpin dimakamkan pada hari Minggu (28/4/2024), tepat di Hari Puisi Nasional yang diperingati untuk mengenang Chairil Anwar. Jokpin mangkat dalam waktu yang begitu pas untuk menuntaskan ibadah puisinya di dunia.
Pramoedya Ananta Toer pernah berujar, ”Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Jokpin mungkin telah pergi, namun syair-syair sederhana dan indahnya menuju keabadian. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Puisi-puisi Joko Pinurbo