Polisi menetapkan empat tersangka dugaan provokasi dan kekerasan saat hendak membubarkan kegiatan doa di Tangsel.
Oleh
YOHANES MEGA HENDARTO
·4 menit baca
Jalan terjal masih harus ditempuh dalam penerapan nilai-nilai toleransi di Indonesia. Salah satu isu toleransi yang paling sering muncul ialah kebebasan beragama dan berkeyakinan, termasuk dalam melaksanakan ibadah.
Aturan mengenai hak kebebasan beragama sudah lama tertuang dalam Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights/UDHR). Isinya, ”Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama”. Selain Pancasila, Indonesia telah menerjemahkan nilai ini dalam hak ”bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” dalam Pasal 28E Ayat (1) dan Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Ketika membicarakan soal toleransi, kerukunan umat beragama, dan membangun sikap menghargai perbedaan, hasil survei dan skor indeks lembaga menunjukkan hasil yang cukup baik. Sebagai contoh, tren Indeks Demokrasi Indonesia dari Badan Pusat Statistik, khususnya dalam variabel ”kebebasan berkeyakinan” pun selalu berada di atas angka 80 (baik dan sangat baik). Paling tinggi pada 2019 dengan skor indeks 90,67 dan terakhir pada 2020 menjadi 86,57.
Puslitbang Kementerian Agama juga melakukan penilaian yang lebih kurang sama. Dalam Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) 2023, misalnya, disebut skor nasional mencapai 76,02 dengan kategori tinggi. Namun, indikator toleransi mendapat skor 74,47, sedangkan indikator kerja sama 76,00 dan indikator kesetaraan 77,61 poin.
Akan tetapi, hasil kajian di atas terkadang menemui ironinya dalam praktik kehidupan bermasyarakat di lapangan. Terbaru, keributan antara warga dan sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) yang terjadi di RT 007 RW 002, Kampung Poncol, Kelurahan Babakan, Setu, Kota Tangerang Selatan, Banten, diliputi oleh isu kebebasan beragama. Pascaperistiwa, pihak kepolisian dan warga setempat mengeluarkan pernyataan serupa, kericuhan tersebut bukan karena faktor pelarangan ibadah di hunian indekos.
Di luar penyelidikan yang masih dilakukan pihak kepolisian, fenomena tersebut ibarat gunung es. Kasus-kasus gangguan dalam beribadah masih saja berulang. Laporan Setara Institute mencatat, terdapat 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah selama 2017 hingga 2022. Gangguan tersebut meliputi pembubaran serta penolakan aktivitas ibadah, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan sebagainya.
Menurut siaran pers Setara Institute pada 7 Mei 2024, kasus pembubaran doa ibadah rosario mahasiswa di Tangerang Selatan menunjukkan bahwa intoleransi dan kebencian terus menjadi ancaman terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang secara konstitusional harus dijamin oleh negara dan pemerintah.
Ada dua faktor utama yang mendorong pembubaran, yaitu intoleransi di kalangan masyarakat dan kegagalan elemen negara, dalam konteks ini RT/RW sebagai unsur negara di tingkat terkecil, di ranah masyarakat untuk menjamin hak semua warga atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Kesigapan pihak kepolisian untuk mendamaikan situasi dan melakukan upaya mediasi perlu diapresiasi bersama. Namun, kepolisian perlu memastikan adanya dugaan tidak pidana yang terjadi. Penegakan hukum atas kasus-kasus persekusi penting untuk dilakukan, untuk mencegah perluasan persekusi dan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Membangun ekosistem toleransi
Masih terjadinya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi ironi penerapan nilai-nilai toleransi di Indonesia. Ironi ini dapat disebut dengan pseudo-toleransi atau toleransi yang hanya terlihat di permukaan dan menutup rapuhnya nilai itu dalam hidup bermasyarakat.
Memang, istilah ini lebih umum digunakan dalam ranah farmasi untuk menunjuk peristiwa toleransi tubuh terhadap efek analgesik opioid saat terapi. Efeknya, pasien menunjukkan indikasi peningkatan kebutuhan dosis yang bukan toleransi sebenarnya.
Dalam The Friendly Philosopher, Letters and Talks on Theosophy and the Theosophical Life (1934), Robert Crosbie mendeskripsikan pseudo-toleransisebagai gagasan persaudaraan yang semu dan menganggap persoalan toleransi itu baik-baik saja. Kini, fenomena pseudo-toleransi secara tidak sadar dirayakan di media massa dan sosial dengan mengangkat kisah-kisah inspiratif bermuatan toleransi, tapi terlihat enggan mendalami peristiwa intoleransi.
Seharusnya, semua warga negara berhak mendapatkan kebebasan beragama dan dilindungi oleh konstitusi. Penghormatan pada keyakinan dan kebebasan orang lain memiliki nilai universal yang lebih luhur dari sebatas dogma apa pun. Maka, dalam kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan, pandangan yang menyudutkan pemeluk agama minoritas justru mereduksi persoalan akut intoleransi yang selama ini terjadi.
Untuk mengikis praktik intoleransi, Setara Institute menyarankan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) dapat memainkan peran yang lebih intens dalam memperluas kampanye toleransi dan memperbanyak ruang-ruang perjumpaan lintas agama.
Selain itu,FKUB juga harus lebih banyak melakukan mitigasi dan resolusi konflik yang mengganggu kerukunan antaragama. Hal ini termasuk mediasi dan resolusi jika terjadi kasus penolakan peribadatan dan pendirian tempat dan rumah ibadah.
Setara Institute juga mendorong adanya upaya membangun ekosistem toleransi dari semua pihak. Ekosistem toleransi ini mesti dibangun dengan prakarsa kepemimpinan politik, dengan wali kota dan seluruh kepemimpinan politik mesti memberikan perhatian untuk agenda pemajuan toleransi. Di samping itu, diperlukan inisiatif dan kepemimpinan birokrasi, termasuk birokrasi di tingkat kecamatan dan RT/RW.
Lebih dari itu, pembangunan ekosistem juga membutuhkan prakarsa dan kepemimpinan sosial. Semua elemen masyarakat terkait, baik dalam bentuk entitas resmi, seperti FKUB, Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), dan majelis-majelis keagamaan, maupun komunitas-komunitas sosial di berbagai bidang, seperti kebudayaan tradisional dan kesenian, mesti terlibat dalam pembangunan ekosistem toleransi.
Di tataran akar rumput, intoleransi dapat perlahan direda dengan mengedepankan dialog yang egaliter. Penggunaan istilah atas dikotomi antara mayoritas dan minoritas dalam beragama serta berkeyakinan menjadi persoalan yang perlu dikaji lebih lanjut.
Artinya, jika tidak ada prinsip egaliter dalam ideologi (pemahaman) dan status keagamaan (tidak ada mayoritas-minoritas), maka problem toleransi masih akan terus ditemui di kemudian hari. (LITBANG KOMPAS)