Dari Mana Datangnya Air di Buah Kelapa?
Pekerjaan itu telah digantikan oleh beruk-beruk yang sangat mahir memetik buah.
Kamu menoleh dan melihatnya. Adikmu itu bernama Aira. Ia mulai duduk di bawah pohon kelapa. Sambil menengadah, jarinya bergerak menghitung jumlah buah di tandan kelapa. Tak lama, ia pun bertanya, ”Dari mana datangnya air di buah kelapa?”
”Kamu haus?”
Aira mengangguk.
”Sebentar lagi, kita tiba di rumah. Kau bisa meminum air sepuasnya.”
”Kata Ibu, air kelapa sangat manis.”
”Iya, tapi air yang direbus Ibu tentu saja lebih enak.”
Kamu pun menengadah, lalu melihat kelapa muda di atas sana. Tentu saja, airnya akan terasa sangat manis. Dan kamu bisa saja memanjat dan memetik kelapa itu. Satu untukmu; satu untuk adikmu.
”Kenapa Abang tak memanjat saja?”
”Karena kelapa ini milik orang lain,” jawabmu.
”Memangnya kenapa?”
”Kata Ayah, kita tidak boleh mengambil milik orang lain.”
”Kalau kelapa ini milik kita, maukah Abang mengambilkannya untukku?” tanya Aira, kembali memandangi buah kelapa muda yang menggoda.
Kata Ayah, kita tidak boleh mengambil milik orang lain.
Kamu berpikir sejenak, lalu melangkah mendekatinya lalu memintanya untuk berdiri. Ia pun berdiri. Tak lama, kamu memutar badan dan duduk membelakanginya. ”Ayo naik,” pintamu. Aira mengalungkan tangannya pada lehermu; dan kamu seketika bertumpu pada telapak kaki, mengangkat tubuhnya ke atas punggungmu, lalu mulai berdiri dengan perlahan.
Kamu dan adikmu baru saja pulang dari sawah. Kalian telah mengantarkan nasi untuk ayahmu yang sedang bekerja. Perjalanan yang begitu jauh dan hari yang begitu panas telah membuat kalian kelelahan dan kehausan. Itulah yang membuat kalian terhenti di sebuah ladang kelapa.
Kendati demikian, kalian memang harus meninggalkan ladang itu secepatnya. Kamu takut bila kelapa itu terus menggoda. Kamu takut bila adikmu terus meminta. Kamu pun sudah bertekad untuk menggendong Aira sampai tiba di depan rumah. Namun, baru beberapa langkah saja, adikmu itu kembali bertanya, ”Dari mana datangnya air di buah kelapa?”
Baca juga: Harry Sapono dan Sekantung Foto
Kamu menghentikan langkah, mencoba mengingat pelajaran di sekolah. Saat ini, kamu telah duduk di bangku SMP. Namun, seingatmu, tidak ada pelajaran tentang asal air di buah kelapa. Kamu hanya mengingat pelajaran tentang hujan. Kamu hanya mengingat pelajaran tentang bagian-bagian pohon. Pada adikmu, kamu mengatakan, ”Dari hujan yang jatuh ke tanah. Air di tanah diisap akar. Akar akan meneruskannya ke batang, ke pelepah, ke tandan, lalu berkumpul di buah kelapa.”
Kamu kembali melangkah; dan Aira kembali menengadah, memandangi buah-buah di pohon kelapa. ”Kalau kelapa ini milik kita, maukah abang mengambilkannya satu?”
Kamu kembali berhenti, lalu menoleh dan mencoba menahan senyum. ”Tidak, karena beruk bisa marah,” katamu, lalu kembali melangkah dan berjalan lebih cepat.
”Kenapa begitu?”
Katamu, pekerjaan memetik kelapa telah diserahkan pada beruk. Itu sudah menjadi budaya di kampung kalian. Aira pun bertanya; dan kamu seketika mengingat dongeng yang dulu diceritakan ayahmu menjelang tidur. Kamu pun menceritakan dongeng itu pada adikmu.
”Dahulu kala, ada seorang pemuda yang bernama Sambiludin.”
Aira mendengarnya sambil membayangkan seorang pemuda yang bernama Sambiludin.
Kalau kelapa ini milik kita, maukah abang mengambilkannya satu?
Sambiludin adalah pemuda miskin yang tinggal di Minangkabau. Ia bekerja sebagai pemetik buah kelapa. Setiap hari, ia akan memeluk batang kelapa, memanjatnya, lalu menjatuhkan buah-buah dari tandannya. Namun, semua pemilik kelapa menginginkan agar kelapanya cepat dipetik. Sementara Sambiludin hanya bisa memanjat sepuluh batang kelapa setiap hari.
Sekali waktu, Sambiludin berusaha untuk memanjat dua puluh batang kelapa. Tenaganya terkuras habis. Ia sangat kelelahan. Namun, orang-orang terus berdatangan dan terus memintanya memetik kelapa. Di satu sisi, Sambiludin tidak sanggup. Tapi di sisi lain, ia begitu sungkan bila menolak permintaan orang-orang. Pada akhirnya, Sambiludin meninggalkan kampungnya dan masuk ke dalam hutan.
”Apa yang dilakukannya di dalam hutan?” tanya Aira.
Awalnya, Sambiludin hanya pergi ke hutan untuk beristirahat. Namun, ia melihat seekor beruk yang sedang memanjat. Ia mulai berpikir. Berpikir bahwa beruk itu bisa saja membantunya meringankan pekerjaan. Pemuda itu membuat jerat, lalu berhasil menangkap seekor beruk.
”Apa yang dilakukannya pada beruk itu?”
Ia mengikat beruk itu, lalu mengajarkannya memetik kelapa.
”Bagaimana caranya mengajarkan beruk memetik kelapa?”
Sambiludin menggantungkan buah kelapa pada pohon yang bercabang, lalu mengulur tali sambil berteriak agar beruk itu mulai memanjat. Tak lama, ia berteriak lagi sampai beruk di hadapannya memutar-mutar kelapa yang digantungkan. Setelah kelapa jatuh, ia kembali menggantungkan kelapa itu pada dahan yang lebih tinggi. Kemudian berteriak lagi. Berteriak agar beruknya memutar-mutar kelapa sampai jatuh. Dan terus begitu sampai berulang-ulang.
”Apa yang dilakukan Sambiludin setelah itu?” tanya Aira.
”Apa perlu kuceritakan padamu?”
”Akhirnya .... Sambiludin membawa beruk itu ke kampungnya,” tebak Aira.
Ya. Akhirnya, Sambiludin membawa beruk itu ke kampungnya. Ia kembali bekerja sebagai pemetik kelapa. Namun, sejak saat itu, ia tak pernah lagi memanjat pohon kelapa.
Pekerjaannya hanya mengulur dan menggumpal tali. Dengan bantuan beruk itu, Sambiludin bisa memetik buah dari saratus pohon kelapa setiap harinya.
Baca juga: Surat Arwah
”Bagaimana dengan pemetik kelapa lain?”
Mereka juga mencari beruk ke dalam hutan, lalu membayar Sambiludin untuk melatihnya. Sejak saat itu, Sambiludin tidak hanya mendapatkan uang dari upah memetik kelapa. Ia juga membuka sekolah beruk untuk orang-orang yang ingin beruknya dilatih memetik kelapa.
Seiring berjalannya waktu, tidak seorang pun yang mau memanjat pohon kelapa. Pekerjaan itu telah digantikan oleh beruk-beruk yang sangat mahir memetik buah. Lama-kelamaan, beruk yang memetik kelapa menjadi budaya.
”Apa pelajaran yang bisa dipetik dari cerita itu?” tanya Aira.
”Menurutmu, apa pelajaran yang bisa dipetik dari cerita itu?”
Aira berpikir sejenak. Kembali ia bayangkan wajah seorang pemuda yang bekerja sebagai pemetik kelapa. Ia bayangkan bagaimana pemuda itu menjerat lalu melatih beruknya.
Ia bayangkan bagaimana Sambiludin membuka sekolah untuk melatih beruk memetik kelapa.
Seketika, Aira melihat rumah-rumah di kejauhan. Sebentar lagi, ia akan segera tiba di rumahnya. Barangkali ibunya telah selesai merebus air; dan ia ingin meminum air itu sebanyak-banyaknya. Barangkali, ibunya juga sudah menyiapkan sebuah buku. Sebuah buku cerita untuk nanti malam. Setelah membacakan cerita untuknya, ibunya tentu akan bertanya: apa pelajaran yang bisa dipetik dari cerita itu?
Baca juga: Negeri Pemuja Koruptor
Boni Chandra, lahir di Payakumbuh, 25 Juli 1989. Pada tahun 2015, ia mengikuti Workshop Cerpen Kompas yang dipandu Gus tf Sakai dan Yanusa Nugroho. Ia pernah memenangi beberapa lomba penulisan cerpen dan diundang ke festival internasional Ubud Writers and Readers Festival 2016.