Ada Udang di Balik Panggung
Di mata Bima, kerumunan di bawahnya itu tak salah lagi adalah ribuan udang yang menggelepar dalam jaring.
Bima menggerutu. Tentu cuma batinnya saja yang tahu. Senyuman tetap terpasang di wajahnya. Namun, otot-otot pipinya telanjur menegang sehingga kesan kaku justru menyuar dari romannya. Sebenarnya ia sudah diajarkan cara menjaga citra di hadapan banyak orang. Tapi apa daya. Ia pemula. Masih perlu waktu untuk belajar berpura-pura.
Orang bodoh mana yang menjadwalkan pemilu pada musim hujan! Nah, mulai lagi. Bima masih gagal membekap hatinya yang sejak tadi menyumpah-nyumpah. Hujan deras semalaman telah mengaduk-aduk lapangan tempat berkampanye hingga menjadi kubangan lumpur. Warga yang sudah berkumpul enggan menghampiri panggung karena genangan yang bertebaran di sana-sini.
Mereka bergerombol terpisah-pisah menghindari becek, bergeming meskipun pemandu acara berkali-kali mengajak mereka mendekat. Alangkah buruknya pemandangan massa yang tercerai-berai untuk suatu unjuk kekuatan.
Berlagu sekali orang-orang ini! Pikiran Bima menggeram. Dari atas panggung secara mencolok ia memperlihatkan sepasang sepatubotnya yang bersalut lumpur. Juga dipamerkannya cipratan tanah yang menodai celana jinsnya hingga lutut. Orang-orang ini kok enggak mau kotor sedikit pun! Betul-betul berlagu! Bima masih belum puas mengumpat dalam hati.
Pemandu acara kembali mengajak massa mendekat, kali ini dibarengi ultimatum bahwa kegiatan tidak akan dimulai sebelum mereka merapat ke panggung. Namun, suara merdunya hanya dibalas oleh bising yang diciptakan setiap kerumunan, masing-masing sibuk berbincang dan bertingkah sendiri.
Melalui lirikan tajam Bima menuntut Pak Satria yang berdiri di sampingnya untuk bertindak. Yang dituju cepat paham. Namun, tanggapan tokoh masyarakat Kampung Buntu itu justru membuat Bima seribu kali lebih dongkol.
”Semalam ada hajatan di desa sebelah, pawangnya saya kenal betul sangat jago. Ia pasti memindahkan awan hujan ke sini. Sempak yang tadi malam kita lempar ke atas tenda jadinya tidak mempan. Dek Bima tidak mau menuruti omongan saya sih. Coba kemarin pakai jasa pawang hujan yang saya sarankan meskipun memang mahal.”
Baca juga: Dari Mana Datangnya Air di Buah Kelapa?
Bima sewot memelototi Pak Satria. Namun, pria 60 tahunan itu anteng-anteng saja memain-mainkan kepulan asap dari rokok kreteknya seolah tiada hal yang merecoki pikirannya. Bima telah melupakan senyuman yang seharusnya tak boleh alpa dari wajahnya. Batinnya sudah kisruh lagi menyumpahi keputusannya berkampanye di Kampung Buntu. Sebagai caleg pemula, tim suksesnya berpendapat Kampung Buntu adalah daerah yang bisa diharapkan oleh Bima untuk meraup suara.
Masyarakat Kampung Buntu adalah massa mengambang, begitu kata tim suksesnya. Pemilu lima tahun lalu, calon dari parpol A menang banyak di sini. Sepuluh tahun sebelumnya, justru dari parpol Z. Lima belas tahun yang lewat, dari parpol G.
”Tergantung siapa yang paling kuat nyawer,” ujar Andi, ketua tim suksesnya, saat meyakinkannya untuk berkunjung ke Kampung Buntu.
Memang begitulah kesan yang tertangkap oleh Bima ketika bertandang ke rumah Pak Satria. Tetua Kampung Buntu itu ibarat kolektor alat peraga kampanye. Kalender terpajang di tembok ruang tamunya berhiaskan foto caleg dari parpol A, di atasnya sedikit ada jam dinding berwajah pasangan capres dan cawapres yang dijagokan oleh koalisi yang bersaing dengan parpol A, air teh hangat disajikan dalam mug bergambar caleg parpol Y, di teras rumah terkembang sebuah payung pasah bergambar caleg parpol F. Dan di pojok ruangan teronggok kardus-kardus sembako yang ditempeli stiker wajah caleg parpol S.
”Namanya juga pesta rakyat, wajar saja kalau rakyat yang harus menikmati. Saya tidak pernah menolak caleg mana pun yang datang ke sini. Mau bawa apa terserah. Yang penting masyarakat senang,” begitulah kata Pak Satria ketika menerima Bima memperkenalkan diri. Kalau cuma bagi-bagi kaus dan topi sudah biasa, lanjut Pak Satria. Ada yang menggelar pemeriksaan kesehatan gratis untuk warga. ”Tapi, ya cuma diperiksa doang, yang ketahuan sakit ya enggak diobati,” Pak Satria terkekeh sinis.
”Yang belum ada itu caleg yang menggelar panggung hiburan. Barangkali Dek Bima tertarik? Warga sini pasti datang berduyun-duyun. Apalagi, kalau yang manggung orkes terkenal; waah…, warga dari tiga desa tetangga pasti ikut muncul. Nah, Dek Bima nanti bisa kampanye di hadapan ribuan orang. Mereka pasti akan terkesan dengan Dek Bima yang bermurah hati menyuguhkan hiburan.”
Bima langsung mengangguk-angguk. Namun, kala Pak Satria menyebutkan satu nama orkes dangdut terkenal yang tarifnya mencapai hampir seratus juta, Bima langsung menelan ludah.
”Ah, kecil itu pasti untuk ukuran anaknya Pak Bayu. Siapa sih yang tak kenal Pak Bayu di kabupaten ini?” Pak Satria senyum-senyum di hadapan tamunya. Senyuman yang diterjemahkan Bima sebagai tantangan.
Ya, siapa yang tak kenal Pak Bayu? Pimpinan parpol T yang sudah lima kali menjabat anggota DPRD. Hartawan pemilik puluhan hektar tambak udang. Disegani di seantero kabupaten. Tapi, siapa yang kenal Bima? Anak ketiga Pak Bayu yang sudah dua tahun lulus sarjana dari universitas di ibu kota. Yang menolak melanjutkan usaha bapaknya dan tidak mau juga melamar kerja di tempat lain.
”Aku tetap percaya pada cita-citaku menjadi Youtuber, Bu. Aku mau melanjutkan hasratku keliling dunia. Penontonku pelan-pelan sudah bertambah,” jelas Bima kepada ibunya yang memanggilnya pulang awal tahun lalu.
”Tapi, selama ini kamu masih bergantung pada kiriman orangtua untuk video jalan-jalanmu itu. Mau sampai kapan?”
”Aku tidak bisa jawab sampai kapan. Tapi, ada orang lain yang berhasil, maka aku yakin aku pun bisa. Aku hanya butuh dukungan di awal.”
”Nah, Bima. Sekarang ini kami yang sedang membutuhkan dukunganmu. Kamu lihat sendiri bapakmu sudah dua tahun ini sulit bicara dan kacau ingatannya, sudah tak mampu lagi mencalonkan diri menjadi anggota DPRD karena strokenya. Kamu yang harus menggantikannya sekarang. Kedua kakakmu sudah sibuk melanjutkan usaha bapakmu, biarlah tugas mereka di sana. Kamu yang harus bekerja di panggung politik.”
”Ah, Ibu ini aneh-aneh saja! Aku tidak punya bakat untuk itu!”
”Kamu pikir politikus itu penyanyi harus punya bakat segala? Tidak penting kamu punya bakat atau tidak, yang penting kamu mengerti kepentingan apa yang harus kamu perjuangkan.”
”Aku tidak mengerti, Bu.”
”Kamu pikir bapakmu itu cuma duduk-duduk saja di kursi DPRD tanpa memperjuangkan kepentingan kita? Kamu pikir usaha bapakmu itu bisa besar sendiri tanpa lobi-lobi di dewan? Bapakmu berhasil mengegolkan perda tambak udang sebagai komoditas unggulan kabupaten kita. Jadinya kita mudah mendapatkan pinjaman modal dan izin pembebasan lahan. Jalan ke tambak udang kita aspalnya paling bagus, kamu pikir itu bukan hasil kerja bapakmu? Belum lagi urusan limbah yang suka bikin rewel LSM, menekan upah minimum pekerja, meminimalkan retribusi yang harus dibayar ke pemkab. Ah, pokoknya banyak urusan bapakmu yang harus kamu lanjutkan.”
Bima mendengarkan tutur panjang ibunya, tetapi memutuskan tetap tak mau mengerti. ”Itu bukan urusanku, Bu,” sahutnya singkat.
”Jelas-jelas itu urusanmu, Bima! Ini sangat berkaitan dengan hidupmu. Dengar, kamu punya dua pilihan!” suara ibunya kian lantang pertanda percakapan kini hanya berjalan satu arah menuju kehendak ibunya semata.
”Pertama, silahkan kamu pergi lagi dan lanjutkan video jalan-jalanmu itu secara mandiri. Ibu tidak mau lagi mengirimkan uang kepadamu. Kedua, kamu daftar caleg di sini. Ibu akan mendukung biaya berapa pun yang kamu butuhkan. Kalau kamu sukses menjadi anggota dewan, kamu punya gaji besar, usaha kita aman, kamu pun masih bisa jalan-jalan sesukamu di waktu lowong. Nah, terserah kamu mau ambil pilihan yang mana. Tanpa perlu berpikir panjang, ibu kira kamu sudah bisa memutuskan.”
Bima merasa hanya diberi satu pilihan dan pilihan itulah yang ia ambil. Begitu masa kampanye dimulai segera saja wajahnya terpampang di mana-mana. Di perempatan jalan, di gerbang pasar, di tiang beton jembatan. Ia adalah caleg nomor urut 1 dari parpol T pimpinan Pak Bayu. Adalah lumrah ia secara mudah memperoleh nomor urut wahid yang diperebutkan oleh para caleg. Dan bujang berusia 24 tahun itu membayangkan ia tinggal melenggang ke kursi anggota dewan secara gampang berkat pengaruh nama bapaknya. Apa sih susahnya kampanye? Tinggal berpose manis di spanduk dan tampil memesona dalam iklan video di media sosial. Namun, Andi sejak pagi-pagi membuyarkan khayalan Bima itu.
Baca juga: Harry Sapono dan Sekantung Foto
”Kita harus bertarung sengit. Begitu tahu bapakmu tidak mungkin mencalonkan diri lagi karena penyakitnya, kader-kader asuhan bapakmu itu langsung memperebutkan wilayah suaranya. Beginilah kenyataannya, antarcaleg satu parpol pun saling sikut biar dapat kursi empuk. Kamu sih terlambat pulang! kita terlambat start. Kita sudah tak kebagian apa-apa!”
”Kita ini sebenarnya lagi jualan dan punya banyak saingan,” Andi terus berceloteh. ”Semua orang bilang barangnya oke punya, kemasannya juga sama menarik, semua pasang iklan. Kalau cuma mengandalkan spanduk di jalan dan iklan di media sosial ibaratnya kita menebar jala di laut luas tanpa tahu ikannya ada di mana. Kita harus punya target pasar yang jelas, jemput suara langsung ke kampung-kampung. Kamu juga mesti tahu bagaimana caranya menjual diri.”
Bima sebenarnya masih menyangsikan ucapan Andi, tapi terpaksa harus percaya karena dirinya tak tahu apa-apa. Di hadapan ibunya, wicara Andi selalu manis.
”Bima pasti menang.”
”Pesonanya, Bu. Wibawanya, Bu. Tidak salah lagi Bima adalah duplikat tulen dari Pak Bayu.”
”Ibu tahu beres saja, pokoknya Bima pasti dapat kursi.”
Janji-janji Andi mengalir selancar uang menderas keluar dari kocek ibunya. Namun, di hadapan Bima seorang, Andi tidak segan melontarkan sengatan pahit.
”Jangan leha-leha mentang-mentang kamu dapat nomor urut satu! Sebenarnya orang-orang di sini tidak ada yang tahu kalau kamu ini anaknya Pak Bayu!”
Bima murka ketika melihat namanya tercetak seperti ini di alat peraga kampanye: Bimasakti S.T. bin Bayu Raharja.
”Kenapa namaku tertulis seperti di nisan kuburan atau di buku yasin? Mau nyumpahin aku mati, ya?” katanya misuh-misuh.
”Mau bagaimana lagi? Bagaimana caranya kasih tahu orang-orang kalau kamu ini anaknya Pak Bayu? Memangnya orang-orang mau milih kamu kalau kamu bukan anaknya Pak Bayu?”
Kurang ajar! Bima cuma berani memaki dalam hati. Bagaimanapun, ia tak bisa menyangkal omongan Andi. Bagaimanapun, orang yang telah berkali-kali mengantarkan bapaknya menjadi anggota dewan itu lebih tahu seluk-beluk dunia yang tengah dihadapinya. Bagaimanapun, akhirnya ia selalu menurut saja dengan usulan Andi, yang akhirnya mengantarkannya pada pagi becek di Kampung Buntu itu.
”Suruh saja orkesnya tampil sekarang! Orang-orang ini hanya bisa digerakkan oleh dangdut. Kalau sudah asyik joget pasti lupa sama kubangan!” Andi langsung memerintah pembawa acara untuk menghadirkan orkes terkenal itu tanpa merasa perlu meminta persetujuan Bima.
Pak Satria cuma manggut-manggut. Dalam sekejap saja lapangan gegap gempita. Petikan bass dangdut menggelitik setiap pinggul untuk bergoyang. Tabuhan gendang meningkahi setiap jantung yang berdebar. Para penonton larut dalam pesona biduanita yang luwes berlenggak-lenggok sembari berdendang. Ribuan orang berjoget di bawah langit mendung, tanpa sadar menghampiri bibir panggung demi menikmati pentas dari jarak dekat. Apalah artinya pengorbanan kaki mandi lumpur demi menonton orkes terkenal yang mungkin hanya sekali itu menyambangi Kampung Buntu.
Dari balik panggung, Bima membisu menyaksikan pemandangan itu. Ia sadar betul keberadaannya benar-benar tiada arti. Orang-orang tahu betul untuk alasan apa datang ke lapangan becek itu, dan alasan itu sudah pasti bukan karena dirinya. Oh, lihatlah kerumunan yang bebas merdeka berjoget ria itu! Setiap tungkai, setiap lengan, segenap tubuh, bergerak tanpa disuruh.
Setiap jiwa tahu pasti bagaimana caranya bersukacita. Ah, betapa melimpah ruah rona-rona bercahaya pada pagi itu. Tapi, mengapa Bima merasa tersisih dari keriangan berskala akbar itu?
Tiga lagu usai sudah. Penonton masih bersorak sorai meminta lanjut. Suara empuk pembawa acara mulai memperkenalkan Bima, ”Kebahagiaan Ibu Bapak hadirin semua tidak akan tercipta tanpa kedermawanan caleg kita ini: Bimasakti! Ayo, beri tepuk tangan meriah!”
Bima maju ke tengah panggung. Andi menempel erat di belakangnya tak henti membisikkan berbagai petuah ke telinganya, ”Jangan lupa senyum terus! Awas, suara harus selalu berat berwibawa. Tatap langsung mata orang-orang itu biar mereka tahu kamu ini percaya diri! Eh, jangan lupa sopan santun! Mulai dengan mengucapkan salam!”
Bima mengembangkan senyuman. Lalu ia lantang mengucapkan salam. Namun, wicaranya berhenti sampai di situ. Bibirnya masih mengembang memamerkan barisan gigi yang rapi.
Diacungkannya jempol tangan kanan sebatas dada. Sekian lama ia berpose seperti itu di atas panggung. Tanpa suara, tanpa bergerak. Persis foto dirinya yang tersebar di mana-mana.
”Eh, jangan bengong! Ngomonglah visi misimu apa! Jangan lupa sebut nama bapakmu! Kita, kan, sudah latihan semalaman. Kamu ini bagaimana, sih!” Andi mulai panik usai memindai ketidakberesan dalam diri Bima.
Bima bergeming. Jelas sekali ia tidak menyimak Andi. Sorot matanya jauh sekali melampaui arena kampanye hingga ke pinggiran kabupaten di mana terhampar puluhan hektar tambak ayahnya. Massa yang bersorak sorai di bawah panggung terbayang olehnya seperti gerombolan udang siap panen. Bergejolak berlompat-lompat, berjoget bergoyang-goyang, berjejalan dalam jaring, siap diolah dan disantap hingga kenyang.
”Aduh, kacau ini! Panggil lagi itu orkes dangdut! Suruh mulai lagi sekarang juga!” Andi memerintah pembawa acara. Setelah itu ia meneriaki Bima agar surut ke balik panggung.
Yang dipanggil ternyata sudah asyik berjoget. Tanpa malu-malu Bima berlenggak-lenggok menari berduet dengan sang biduanita di atas panggung. Begitu dahsyat ia bergoyang.
Senyumannya mengembang sempurna. Romannya menyala-nyala. Kesadarannya telah dilumat oleh gairah irama dangdut yang menggoda. Ia terus berjoget sampai kediriannya luruh tak bersisa. Baru kali itu Bima merasa benar-benar merdeka. Penonton bertambah riuh. Lapangan bergetar oleh gegap gempita. Mereka tak mau kalah dari Bima yang sudah lupa diri di atas panggung. Orang-orang semakin larut berjoget dalam gairah kian bergelora, meliuk-liuk, bergoyang-goyang, berimpit-impitan. Di mata Bima, kerumunan di bawahnya itu tak salah lagi adalah ribuan udang yang menggelepar dalam jaring.
Diah Novianti, lahir dan besar di Jakarta. Sekarang tinggal di Tangerang Selatan. Berpengalaman delapan tahun sebagai jurnalis dan saat ini sedang belajar merangkai kata, fakta, dan imajinasi menjadi sebuah karya sastra.