Seruput Darah
Dia bayi mungil tampan gagah, tapi angkuh. Bahkan menyapa dunia pun tak sudi!
Seruput darah meleleh itu, agar arwahnya tenang....
Kau masih mencoba bertahan, tak terbakar nafsu. Perampok itu ingin menikmati kemudaanmu.
Biadab! Umpatan apa lagi yang tepat untuk seorang lelaki tinggi besar, berewokan, hitam, kasar berangasan, membuktikan kejahatannya sebagai rampok yang menyatroni rumah-rumah di pinggir hutan karet. Tak terkecuali rumahmu, kayu layu, tanpa ada lelaki sebagai pagar ayu.
Kau masih bertahan, walau kau seorang randa, jangankan membiarkan lelaki memasuki dirimu, lelaki menyentuh ruang tamu pun tidak kau izinkan. Ketika tetangga mengabarkan sesuatu kau cukup menerimanya di serambi rumah. Tak pernah kau memasukkan lelaki, selain suamimu yang hilang ketika merambah hutan.
Padahal sungguh, ketika menikah dengannya kau berharap hidup bahagia, setidaknya kau pernah merasakan bahagia, tatkala lelaki tampan dan lembut hati itu membawamu pada kenikmatan sebagai seorang istri, juga seorang ibu.
Kau mendapat peninggalannya seorang anak mungil yang kini berusia lima tahun, yang tak banyak menolongmu saat genting seperti ini-bahkan dengan tangis mungkin-sehingga tetanggamu berdatangan. Kau baru ingat bahwa anak lelakimu yang tampan serupa dewa, nyaris sempurna, hanya dia memilih tak membagi suara merdunya pada sekitarnya. Dia lebih suka menyendiri, mengajak bicara pohon, batu, air sungai atau diam mendengarkan suara angin.
Tapi denganmu karena dia lahir dari rahimmu, kau mengerti bahasa isyaratnya atau kalau dia sedang bahagia mungkin dia mengeluarkan suara-yang sangat aneh, tapi bagimu suara itu sangat merdu bagai buluh perindu, menyentuh kalbu walau sekadar memanggil ibu tak pernah, tetapi dari tatapan matanya yang polos dia banyak bertutur tentang cintanya padamu, kasihnya padamu.
Baca juga: Mengapa Mereka Tak Kunjung Datang
Sebentuk kasihkah kalau dia hanya memandang perbuatan lelaki bajingan itu tanpa menolongmu, misalnya mungkin datang keajaiban itu, dia berteriak menjerit atau menangis meraung-raung?!
Kau masih menunggu keajaiban pertolongan Tuhan, seiring makin laknat perbuatan perampok itu, kau memantra doa-doa-Tuhan, tolonglah hambamu yang lemah ini. Kau bertahan memejamkam mata, dalam bayangmu tiba-tiba melintas lelaki yang menanggalkan keperawananmu di malam pengantin. Suamiku, seandainya kau masih ada....
***
Suamiku, yang lelaki pendatang itu usianya sekitar dua puluh lima tahun, tampan gagah berotot khas lelaki. Ia datang ketika usiaku masih empat belas tahun, aku perawan kencur, anak petani miskin di lereng Gunung Kangkini.
Saban hari makan nasi jagung, atau umbi-umbian-uwi, gadung, iles-iles-yang tumbuh liar di dalam hutan. Berlauk lalap sayuran dan sambal. Sesekali ikan yang berhasil kami tangkap, tapi daripada dimakan kami lebih suka menjualnya, mendapat uang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Orangtuaku beranak banyak, setidaknya kami sebelas bersaudara seandainya mereka bisa menggapai usia remaja-tentu aku akan memiliki banyak keponakan dan ipar. Bencana kolera memangsa, nyaris membinasakan keturunan Ba-Ma.
Hanya aku yang tertolong, sementara semua saudaraku meninggal karena terlambat pertolongan. Puskesmas jaraknya berpuluh-puluh kilo berada di kota Kecamatan, dan kami harus ke luar dari hutan berjalan kaki lebih dari empat belas kilo meter, lalu harus menyeberangi sungai besar kemudian masih naik ojek sekitar lima jam.
Jangan salahkan kalau kami sakit lebih mengandalkan dukun. Belakangan baru aku tahu, ternyata tak semua penyakit bisa disembuhkan dengan semburan atau minum ramuan.
Dusun kami terletak di pedalaman, jangan kau cari di peta, karena kau hanya akan bertemu kemiskinan bila menyebut nama desa kami atau satu hari kau ingin ke sana. Setidaknya kalian pendaki atau perambah hutan mungkin suatu saat tersesat bisa menuntun, atau mungkin kau sengaja datang berkompaskan mimpi, seperti laki-laki itu katanya seorang petualang sengaja merambah hutan mengenyatkan mimpi-mimpinya, kadang dia mengaku sebagai keturunan dewa.
Baca juga: Rumah Tepi Kali
Aku lebih percaya jikalau dia keturunan orang berada, dari tutur bicaranya yang halus, bentuk badannya indah, kulit tubuh bersih, bahkan aroma tubuh yang wangi, kukira dia keturunan kaum bangsawan atau masih berdarah biru. Tapi seumur hidup menjadi suamiku dia tak pernah bertutur tentang keluarganya. Pernah dia berkelakar kalau ia anak hilang, dan bahagia menemukanku yang kemudian menjadi istri sekaligus ibunya? Aih.
Ketika satu pagi ia muncul di depan rumahku, hari-hari kemudian sering datang, menemani Ba mencari rumput pakan kambing, aku tahu, kelak ia akan menjadi pendampingku. Ketika ia melamarku, Ba dan Ma langsung mengiyakan tanpa menanyaiku.
”Kau terima dia sebagai suamimu. Dia lelaki baik.”
Aku diam. Tiada niat untuk menolaknya. Dia baik dan tampan, pertama melihatnya aku sudah jatuh hati.
”Pamali kau menolak lamaran seorang lelaki.”
”Pamali?”
”Seorang perempuan yang menolak lamaran lelaki dia akan jadi perawan sunti.”
”Perawan sunti?”
”Seumur hidup tak dijamah lelaki. Hidupnya kesepian. Tua, lalu mati.”
Aku tak ingin mati apalagi belum menikah. Ba menetapkan hari baik dan kami kawin secara adat desa. Pernikahan yang sederhana, tapi aku bahagia. Ternyata benar yang dituturkan para perempuan ketika kami mandi di sungai-tentang lebih enaknya perempuan yang bersuami daripada saat masih sendiri.
Aku merasa bahagia menyiapkan kebutuhan suami sehari-hari, memasak, mencuci baju, juga membiarkannya memelukku ketika malam hujan dan dingin aku merasa hangat dan nyaman meringkuk di ketiaknya, merasakan aman tinggal dalam rumah yang ada lelakinya.
Seorang perempuan yang menolak lamaran lelaki dia akan jadi perawan sunti.
Seperti saat aku kecil dulu, waktu itu memiliki Ba yang bisa melindungi, lalu sebulan setelah aku menikah Ba ditemukan lehernya luka berdarah-darah dan meninggal di pangkuanku, seminggu kemudian menyusul Ma. Ma kulihat seperti orang tidur di pembaringan hangat. Ma pasti sedih memikirkan kepergian Ba yang sepanjang hidup selalu menemaninya
Aku saat itu sangat berduka dalam waktu yang berdekatan mesti kehilangan dua orang yang mengalirkan darah di tubuhku, tapi Tuhan Maha Adil, kepergian mereka tergantikan jabang bayi yang tumbuh di kandungan. Aku meteng kebo, dan kemudian melahirkan bocah tampan.
Duhai, betapa aku merasa senang, melengkapi sebuah kebahagian seorang perempuan, menjadi seorang ibu, tentu karunia ini bertumpuk seandainya Ba dan Ma masih ada. Percayalah Ba dan Ma, aku selalu mendoakan agar kalian mendapat tempat bahagia di alam kelanggengan. Surga yang menjanjikan kebahagian sejati, bukan semu.
Seperti impianku bahagia selalu bersama suami bukan kenyataankah? Sore nan mendung liris turun gerimis, teman pekerja perkebunan melapor miris. Aku meratap giris.
”Suamiku hilang? Apa maksud kalian?!”
”Dia jatuh ke dalam jurang!”
”Kami sudah mencarinya....”
”Kami sudah menelusurinya ke bawah, tak ada.”
”Jurang itu curam, di bawahnya mengalir sungai deras.”
”Dia mati?”
”Kemungkinan hidup sangat kecil.”
”Kami hanya menemukan topi ini. Milik suamimu-kah?”
Aku menerimanya, menggetar lumpuh merasakan harum tubuh suamiku ada di topi itu. Empat purnama sirna, ia akhirnya dinyatakan tiada. Malam gelap gulita, temaram lampu teplok meredam, petir menyambar, seorang dukun bayi menolong kelahiran anakku.
Dia bayi mungil tampan gagah, tapi angkuh. Bahkan menyapa dunia pun tak sudi!
Baca juga: Upeti Putri
***
Kau masih bertahan, tapi bajingan itu tak pantang menyerah. Bajumu dirobek kelewang. Benda tajam itu ditempelkan di lehermu. Demi Tuhan, kau bersumpah, tak sudi ternoda, tak sudi dimasuki kotoran!
Si Biadab sudah tergelincir nafsu, kelewang diletakkan di sampingmu, berkonsetrasi pada sesuatu yang sudah lama diangankannya, bukan istrinya yang gemuk seperti kerbau berkulit kasar hitam, tapi perempuan di hadapannya adalah perempuan berkulit kuning temu giring, mulus, sehalus pualam, cantik, menggairahkan, sudah lama tak dijamah lelaki, tentu dia kembali serasa perawan. Si Biadab mengacungi napsu.
Kau di ujung pertahananmu. Kesempatan kau gunakan. Menguatkan hati mengambil kelewang itu, lalu sekuat tenaga membabi buta menusuk-nusuk jantung, perut, leher lelaki bajingan itu. Entah kekuatan apa yang merasukimu berperilaku jagal. Sedepa detik kemudian lelaki itu terkapar luka-luka menganga, matanya melotot, nyawanya terbang menengok kuburan.
Kau sesaat lekat digurati kebingungan. Seumur hidup membunuh tikus pun tak tega, tapi lelaki di depanmu sudah mampus karena sentuhan tanganmu. Kau menggetar. Matamu nanar kala melihat seorang lelaki yang masih sering kau mimpi dan angkankan berjalan ke arahmu. Dia semakin tampan saja. Tak beda ketika lima tahun lalu pergi. Oh, benarkah dia suamiku!
”Raba dadaku yang gemetar menunggu saat seperti ini menjelang.”
”Seandainya kau datang sejam atau tiga jam lalu, mungkin kau bisa menolongku, Kak.”
”Jangan menangis. Aku percaya kau perempuan hebat. Kau perempuan terpilih. Kau bisa menjaga titipanku dengan baik. Kini saatnya aku menjemput anak kita dan juga dirimu.”
”Aku sudah membunuhnya.”
”Tunggu apalagi, sempurnakan dia? Seruput darahnya. Isap!”
”Aku bukan drakula!”
Jangan menangis. Aku percaya kau perempuan hebat. Kau perempuan terpilih. Kau bisa menjaga titipanku dengan baik.
”Jangan takut. Kau harus melakukannya!”
”Aku bisa muntah mencium amis darah!”
”Pada masa-masa perang, setelah membunuh musuh…, seruput darah mereka!”
”Untuk apa?”
”Agar jiwa orang yang dibunuh tenang bersemayam. Hidupmu akan tenang karena setelah mencerecap darahnya.... kau takkan dikejar arwah orang mati tak wajar.”
”Tapi dia pantas mati. Andai kau tahu perbuatan biadabnya.”
”Dia tak hanya pantas mati, tapi juga pantas darahnya diisap. Cepat lakukan sebelum orang-orang datang dan menghakimimu. Bisa-bisa mereka membakar rumah ini, membantai kita, anak kita.”
***
Kau menghilangkan ragu. Kau berjalan mendekati mayat biadab. Kau berjongkok di hadapannya. Kau menyentuh darah yang menetes dari jantung-dengan bibirmu. Yang merah.
Indah. Menempel. Menyeruput. Mencerecap. Darah. Merah. Segar.
”Kak..., darah ternyata berasa manis. Lebih manis daripada gula atau madu.” Kau tersenyum, seiring sepasang taringmu tumbuh.
***
Kota Ukir, Kuwasharjo, 2 Januari 2024
Kartika Catur Pelita, prosa dan puisi bahasa Indonesia dan bahasa Jawa dimuat di puluhan media cetak dan daring. Penulis buku fiksi: Perjaka, Balada Orang-Orang Tercinta, Perempuan yang Ngidam Buah Nangka, Karimunjawa Love Story. Founder komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ).