Puisi-puisi Nafi’ah al-Ma’rab
Nafi’ah al-Ma’rab adalah Sugiarti. Tinggal di Pekanbaru. Menulis puisi di beberapa media massa dan puluhan antologi.
ikan-ikan jesna
di matamu laut menjadi marun.
ikan-ikan jesna mati di pagi hari.
nelayan riuh,
mereka menyembunyikan cerita di kapal-kapal yang pergi.
sebenarnya ini bukan tentang laut yang hujannya memendar gelombang malam.
berpercik luka di tangisan yang purna.
matamu, kulihat lebih laut dari laut, memerah, bergenang hingga tiada tepinya.
di tanah itu engkau hanya nama.
pantaimu kehilangan ombaknya.
camar-camar tak ada lagi, mati.
jesna, engkau yang menunggu samudera kembali biru,
ternyata hanya rindu.
babamu dijemput pergi dan ia tak mungkin kembali.
ia menitipkanmu di kesedihan yang terus engkau pertanyakan:
’mengapa tak ada kehidupan yang adil untuk kami?'
engkau masih di situ dengan kesetiaanmu menunggu ombak biru.
tiga puluh musim telah lalu,
dan tak juga bisa kuhadiahkan ikan-ikan itu untukmu.
jesna, aku semakin luka.
saat kau katakan:
’baba, untuk apa kita menunggui laut,
bukankah di langit lebih banyak burung yang menanti kita?
ikan-ikan tak ada lagi, aku ingin pergi.’
Pekanbaru, 7 November 2023
Baca juga: Puisi-puisi Nimas Padmi
kemuraman sungai di tubuh melayu
percakapan sungai:
____di tubuhku melayu,
____dari hilir hingga hulu
____tetapi semua kini lalu
riwayat sungai itu bermula dari sultan yang datang di remang-remang aliran siak.
ia berdoa di rakit-rakit keheningan tentang bala orang-orang kampung.
doa-doa itu menjadi sejarah kengerian luka orang melayu.
tiada tengadah lagi di malam pekat istana.
semua menjadi anyir, melesap di palung terdalam.
kemarin dan hari ini sungai adalah melayu yang menjadi luka.
hutan kami hanyut padanya,
abrasi yang menyejarah tersebab arus yang tak mampu kami halau.
oh ghatib, yang engkau datang dengan beghayut
melafal tasbih pada kapal yang pulang.
harap kami padamu di malam safar,
adalah puji-pujimu makbul untuk luka di negeri sungai jantan.
pada melayu sungai telah menjadi muram,
kehidupan hilang, cerita riau dalam kesedihan.
Pekanbaru, 22 November 2023
Baca juga: Puisi-puisi Chalvin Pratama Putra
orang yang belum tau hutan apakah tau maknanya kayu?
orang yang belum tau hutan apakah tau maknanya kayu?
yang patah, yang rapuh, yang hilang dalam semalam.
aku membuka cerita pilu tentang hutan,
dengarkan.
hutan itu rahasia raja-raja.
ranting-rantingnya dibasahi luka,
akarnya menyanyikan hujan air mata.
pohon-pohon menitipkan kesedihannya
pada ongkak yang jatuh padanya.
oh, gaharu malang,
hutan kami tidak murah, sayang.
yang kau lukiskan di warna jernang
pedalaman rimba semalam.
hutan kami mengeluh, di bukit tigapuluh.
tentang bengayoan orang-orang talang
dan janji-janji kalian pada siamang,
bahwa pohon itu pantang larangan.
cerita bulan melengkung di tanah orang beriman apakah benar?
sebab dialog dedaunan kian lambat,
dan rumput pun tak selamat.
janji-janji raja setakat keramat.
laknat.
akhirnya kini
malam di hutan telah mati.
kami tak lagi kembali.
Pekanbaru, 7 Desember 2023
Baca juga: Puisi-puisi Sthiraprana Duarsa
orang-orang yang lupa hujan
hujan menjadi cerita awan yang bimbang menemukan titik komanya di tanah dan jalanan kota. aspal-aspal membiru, dan tubuh kota menjadi abu. hujan meminjamkan kesedihan, sedikit tumpahnya di selokan beraroma anyir. apakah cerita di balik dinding kaca pada musim dingin ini terlalu kejam? gedung terlalu tinggi, dan orang-orang senja menitip lukanya pada hujan yang bergaris.
seperih itu nyanyian gerimis, tak ada definisinya. tatkala langit gelap, rasa bertimbang pun lesap. hujan memang tinggal hujan yang dinikmati si penyeduh kopi, lagi-lagi hanya di balik dinding itu.
di atas tanah yang tergenang siapakah yang paling amin doanya? angın yang bercemburu pada langit atau air mata orang-orang senja. kita tidak bisa lagi meminta orang-orang yang lupa untuk merenungkan hujan. tak bisa ia mendengar gemuruhnya, rinainya, dan halilintarnya. sebab ia benar-benar lupa.
Pekanbaru, 22 Desember 2023
Baca juga: Puisi-pusi Faidi Rizal Alief
salju di masjid kita
kita sudah lama tak gembira,
seperti salju yang menghujani pagi itu.
al a’mud dan orang-orang berlari di selasar masjid
kita pun membuat bola-bola dingin
tertawa, berlari,
dan dalam mushaf kita pun jatuh air mata
kita telah lupa cara bersuka
di masjid ini pun hanya ada luka-luka
sepanjang yang purnama yang ada
kita telah melupakan bahagia
di ibrahimi aku menangis
dua puluh dua kali orang-orang berhujan air mata
lima puluh kali azan-azan ditiadakan
dan hari hari pun menjadi kesedihan
aku terpana
ternyata masih ada salju untuk pagi kita
langit selalu penuh harapan
walau mendung selalu datang
Pekanbaru, Maret 2023