Puisi-puisi Nimas Padmi
Nimas Padmi, penikmat puisi asal Solo. Antologi tunggalnya berupa geguritan mengantarnya terpilih UWRF 2017.
Kemarau 1
Kaukah itu, yang menjelma ladang gersang di jantung perempuan Dengan angka-angka retak mengharap hujan, turun memberi ciuman Di kening Dimana sembunyi wangi kemuning Menyalami musim demi musim Seperti zikir ibu, tak pernah berpaling: menunggu pagi basah mengobati rindu yang tabah
Solo, 2023
Baca juga: Puisi-puisi Faidi Rizal Alief
Kemarau 2
Apalagi yang mesti ditulis Di almanak ini, matahari terlihat antagonis Teriknya menyengat. Membakar pori-pori, menitip gusar bunga-bunga bahkan mati Sebab hasrat bertemu kupu, tak lebih igauan Semenjak gerimis raib dari jadwal, segala mimpi seolah tumbang Jauh sebelum kuldi membinasakan
Apalagi yang pantas ditulis Dari usia yang tidak muda, dari hidup yang begini-begini saja Sementara kemarau lebih setia Berjaga di kalender, mirip anjing herder Dan cahaya pagi yang kini menyerupai zombie Detik-detik berseteru pun hujan belum memberi sinyal untuk bertamu Apa lagi yang pantas dituliskan, dari kemarau panjang Selain diri yang bermuroja’ah, sempoyongan
Solo, 2023
Baca juga:Puisi-puisi Asa Jatmiko
Desember
Dengan harap masih bundar, subuh masih ingin kudirikan Di purnama kedua belas, sebelum januari turun deras Meski hangat kopi tak sanggup mengembalikan mimpi ibu Tentang kembar mayang di depan pintu pula jadah wajik awalan menu Masih ingin kunikmati wudhu Tak peduli angka-angka menjelma debu
Solo, 2023
Baca juga: Puisi-puisi Chalvin Pratama Putra
Griptha Suatu Ketika
1/
Maaf Gusti, di kota ini lagilagi puber menghampiri Di antara keriput diksi Rindu adalah fatwa, menempeli dinding Menjelma serial striping Meminta sekeping perhatian, agar syahdu malam tertinggal di kening
2/
Kemudian ingin kutikam, tatapan lurus dari wajahmu yang tirus Siang itu di meja makan Sebab hendak kukekalkan pada tangga darurat, perihal pertemuan sesaat Sebelum pikun mencegat
3.
Di lobby, kemudaan beranjak pergi Tapi hasrat tak henti menari Justru diamdiam berdoa : : semoga ada perjumpaan berikutnya meski sementara
Kudus, 2019
Baca juga: Puisi-puisi Sthiraprana Duarsa
Sketsa Uban
Rupanya Kau sudah mengirim undangan Menyelipkan disela legam rambut Putih Pertanda kemudaan mulai beringsut
Mungkinsaat diri muhasabah Menghentikan kegenitan yang selama ini pongah
Tapi tunggu, mohon jangan datangkan maut dulu Aku harus les privat Untuk pembekalan menuju akhirat
Solo, 2023
Baca juga: Puisi-puisi Willy Ana
Aphologia 1
Lama-lama aku mulai mengakrabi Kebisuan malam itu adalah tembang bagimu Dimana aku belajar meraba alif – lam dan haq bersamaan Saat puisi tak mampu khatam
Dengan bibir terkunci dan gairah mendaki. Seperti bunga menyedekah wangi tanpa kompromi Diam-diam aku mencuil sahaja lewat kopi Saat percakapan menghampiri Maka bila suatu hari jarak mata ke pipi tak lagi seinchi Ijinkan aku menyapa dari jauh Sebab padamu : selalu kutemukan doa teduh sebening kawruh
Solo, 2023
Aphologia III
Selalu saja Aku menyadap hening Dari separoh perjalananmu Tersebab aku meyakini Ada kerendahan hati Meluruh di antara alarm dan puisi Yang berkali-kali membuatku mati: untuk sementara
Solo, 2023
Lekuk Perempuan
Belajar dari simbah Perempuan harus mengalah Tak boleh marah, meski hati berdarah
Tak boleh dendam, meski dada pernah lebam Semua cukup dijalani, tanpa digetuni
Belajar dari ibu Perempuan kudu tangguh Tak usah mengeluh, meski banjir peluh Kudu pintar, agar tak gampang diremehkan Kudu mandiri, biar punya harga diri
Belajar dari kenyataan Tetap pamali, perempuan mendahului: Meski kartini bicara emansipasi
Solo, 2023