Baju Baru
Sepasang matanya berbinar saat membayangkan jalan-jalan ke mal dan berbelanja baju baru buat Emak dan dirinya.
Selepas shalat subuh, Acil pergi dari rumahnya. Ia pergi dari rumah pada pukul enam pagi. Bocah dua belas tahun itu membuka pintu depan rumahnya dengan hati-hati, seperti kehati-hatian seorang pencuri, meskipun Acil sama sekali bukan pencuri. Ia pergi dengan langkah kaki girang menemui seseorang tak dikenal yang akan mengajaknya ke mal.
Kepergian Acil itu bukan tanpa alasan, sebab dalam hidupnya, Acil memang ingin sekali jalan-jalan ke mal dan membelikan emaknya baju baru. Acil sering menangis diam-diam di kamarnya karena belum bisa mewujudkan harapannya. Namun, suatu siang, melalui pertemuan tak terduga di pasar kecamatan, seseorang tak dikenal telah memberi harapan kepada Acil. Orang itu memberi Acil sepotong es krim dan berjanji mengajaknya ke mal dan membelikan ia dan emaknya baju baru.
Sebelum meninggalkan pasar, seseorang tak dikenal itu telah pula memberi Acil sejumlah uang. Acil sempat menggeleng, tapi seseorang tak dikenal itu lekas bilang, ”Terima saja. Buat jajan.” Acil tak bisa menolak. Ia menerima uang itu lalu memasukkannya ke saku celana. Acil ingat, ia tak pernah menerima uang sebanyak itu dari Emak. Ia senang, wajahnya yang bulat tampak cerah dan sepasang lubang hidungnya merekah.
”Ketemu besok pagi ya, Adik Manis,” kata seseorang tak dikenal itu sambil berulang menepuk lengan kiri Acil. Seseorang tak dikenal itu memakai topi putih dan kacamata hitam. Tak jelas benar, laki-laki atau perempuan. Yang jelas benar adalah Acil tak merasa asing karena merasa sering bertemu orang itu. Orang yang mirip sekali dengan Kang Maman, tetangga dekatnya.
Ketemu besok pagi ya, Adik Manis.
Acil mendongak, lantas mengangguk beberapa kali usai seseorang tak dikenal itu melempar senyum padanya. Senyum itu mampu menawan hatinya, meskipun akhirnya ia lebih khusyuk menjilati es krim yang ia pegang di tangan kanan.
Seseorang tak dikenal yang punya senyum menawan itu melambaikan tangan pada Acil sebelum berbalik badan dan berjalan entah ke mana. Acil spontan membalas lambaian itu dengan tangan kirinya, lalu menjilat dan menggigit habis es krimnya.
Setelah membuang gagang kayu es krim ke tumpukan sampah sayuran, Acil bersenandung sambil berlari pulang ke rumahnya yang dikepung petak-petak sawah.
Acil masuk rumah lewat pintu dapur yang tak dikunci sambil mengucap salam. Emak menjawab salam tanpa menoleh ke Acil. Perempuan itu sedang duduk di bangku kayu kecil dan merebus singkong dalam panci di atas tungku yang menyala.
Emak dan Acil jarang bicara. Jadi Acil tak memberi tahu Emak kalau di kantong celana panjang coklatnya ada tiga lembar uang seratus ribuan. Acil juga tak memberi tahu kalau ia sudah menjilat habis es krim cokelat vanila yang selalu diidamkannya saat siang atau sebelum berangkat tidur malam. Soal jalan-jalan ke mal untuk beli baju baru pun dirahasiakannya, termasuk pertemuannya dengan seseorang tak dikenal di pasar kecamatan.
Baca juga: Melati dan Minyak Kayu Putih
Emak tak mampu lagi menyekolahkan Acil. Emak merasa bersalah, mungkin itu yang membuat Emak jarang bicara dengan Acil. Tapi mungkin juga Acil sendiri yang tak mau melanjut sekolah lagi. Yang jelas, Acil sudah putus sekolah sejak umur sepuluh tahun. Waktu Emak bilang bahwa Emak tak sanggup lagi membiayai sekolah Acil, bocah itu sempat diam. Acil tak tampak marah, juga tak tampak senang. ”Iya, Mak,” katanya, sebelum pergi ke kamar.
Bapak kandung Acil sudah lama meninggal. Orang-orang kampung setempat bilang, Bapak kandung Acil bukan orang Indonesia, melainkan orang India yang tinggal di Malaysia. Kata orang-orang lagi, dulu Emak sempat kerja di Malaysia. Tak jelas berapa lama kerja di sana. Namanya juga kata orang, tentu lebih banyak berisi dugaan. Namun itu dulu, beberapa tahun lalu.
Sekarang berbeda, Emak sudah punya suami baru. Suami barunya itu duda beranak satu. Suami baru dan anak sambung Emak sangat sayang pada Acil. Mereka sama sekali tak pernah menjahati Acil.
”Shalat dulu.” Emak berkata pada Acil ketika bocah itu berdiri di depan meja makan dan baru saja membuka lalu menutup tudung saji.
”Sudah tadi, di masjid pasar.” Acil bergerak mengambil piring di rak. Ia kembali membuka tudung saji dan menaruh benda itu di kursi plastik hijau tua yang sudah buruk. Ia mengambil nasi, sayur nangka, dan dua potong tempe goreng. Ia makan dengan lahap menggunakan tangan. Tahi lalat di sudut kiri atas bibirnya ikut bergoyang. Sepasang matanya berbinar saat membayangkan jalan-jalan ke mal dan berbelanja baju baru buat Emak dan dirinya.
Baca juga: Tut, Tut, Tut, Waktunya Maut Menjemput
Usai makan, menutup tudung saji, dan mencuci piring, Acil pergi ke kamarnya yang juga adalah kamar Hariman, kakak sambungnya. Di rumah papan itu terdapat dua kamar, satu kamar untuk Emak dan Bapak, satu kamar lagi untuk Acil dan Hariman. Tahu bahwa Hariman sedang di sawah bersama Bapak, Acil lalu mengeluarkan uang di kantongnya. Ia ciumi uang itu berkali-kali.
”Akhirnya aku bisa beli baju baru buat Emak.” Acil berkata kepada tiga lembar uang yang tengah dipegangnya, lalu memasukkannya lagi ke kantong celana. Ia tersenyum bangga. Senyum itu terus terbawa sampai ia selesai mandi dan shalat isya.
Setelah makan malam dengan menu tadi siang, setelah memeriksa ukuran dan jenis baju kurung Emak yang sudah kusam dan kebetulan masih digantung di tali jemuran, juga setelah mengobrol sebentar soal sepetak sawah dan seekor ayam jago peliharaan Hariman, Acil berangkat tidur dengan perasaan tenteram. Di dalam tidurnya, Acil mimpi bertemu lagi dengan seseorang tak dikenal yang ditemuinya di pasar kecamatan. Seseorang itu memberinya banyak sekali uang pecahan seratus ribuan. Ia menciumi sepasang mata Acil, lalu menggendong bocah itu. Mereka pergi jalan-jalan ke mal dan Acil dibelikan satu setel baju baru. Namun sayang, di tengah mimpi indah itu, Acil harus terbangun karena beberapa tepukan di pipinya. Yang menepuk pipi Acil tentu saja Hariman. ”Sudah subuh,” kata kakak sambungnya itu sebelum keluar kamar. Acil menyusul keluar beberapa menit kemudian; ia mandi, lalu berganti pakaian. Keduanya lantas shalat subuh di kamar mereka secara bergantian.
Akhirnya aku bisa beli baju baru buat Emak.
Tanpa sepengetahuan Emak, Bapak, dan Hariman, selepas shalat subuh, Acil pergi dari rumahnya. Ia pergi dari rumah pada pukul enam pagi. Bocah dua belas tahun itu membuka pintu depan rumahnya dengan hati-hati, seperti kehati-hatian seorang pencuri; meskipun Acil sama sekali bukan pencuri. Ia pergi dengan langkah kaki girang menemui seseorang tak dikenal yang akan mengajaknya ke mal.
Baca juga: Tuan Bengis
Pergi pagi, pulang sore, rupanya sudah menjadi kebiasaan Acil dan anak-anak yang putus sekolah di kampung itu. Makanya tak heran jika Emak, Bapak, dan Hariman tak merasa kehilangan. Mereka bisa sabar menunggu kedatangan Acil sampai hampir tiba waktu magrib. Biasanya memang selalu seperti itu.
Namun, kata orang, kesabaran ada batasnya. Kesabaran Emak ternyata ada batasnya. Emak mulai cemas saat pukul tujuh malam Acil belum juga pulang. Emak ingat betul anak lelakinya itu tak pernah sekali pun menginap di rumah orang. Bocah itu selalu pulang sebelum azan magrib berkumandang.
Atas perintah Emak, pada pukul delapan malam, Hariman dan Bapak bergegas mencari Acil. Mereka keluar melewati jalan kecil yang membelah petak-petak sawah. Mereka pergi ke rumah Kang Maman, ke pasar kecamatan, ke masjid dekat pasar, lalu ke rumah kawan-kawan Acil, tapi si bocah tak juga ditemukan. Kawan-kawan Acil mengaku tak bertemu Acil siang tadi. Hariman dan Bapak lantas pergi dan bertanya pada orang-orang yang tinggal dan berjualan di pasar kecamatan, tapi mereka yang ditanya juga tak tahu semua. Orang-orang pasar kecamatan pada siang itu sama sekali tak menyadari bahwa seseorang tak dikenal telah datang menemui Acil.
Dibantu beberapa kawan Acil dan warga kampung sekitar, Hariman dan Bapak mencari Acil sampai pukul dua pagi. Namun Acil tetap belum ketemu. Rombongan pencari Acil membubarkan diri dan berjanji akan mencari Acil lagi pada pagi atau siang hari.
Setelah Hariman dan Bapak pulang ke rumah tanpa membawa Acil, Emak menangis sampai pagi. Perempuan itu tak mau tidur sebelum anaknya pulang sambil mengucap salam. Hariman dan Bapak juga tak bisa tidur meskipun sudah sangat mengantuk. ”Lapor polisi, Mak,” kata Hariman yang beberapa tahun lalu lulus SMA. Emak cuma menggeleng dan lanjut menangis lagi.
Tangisan Emak berhenti saat Hariman membawa kabar bahwa Acil telah ditemukan. Pada pukul enam sore, ketika berdiri kelelahan mencari Acil di jalan kecil dekat petak sawah tak jauh dari rumah mereka, Hariman mencium bau bangkai. Hidungnya yang pesek mengendus dan mengikuti arah bau yang membuat perutnya mual. Hariman melihat sesosok anak kecil dalam posisi telungkup di petak sawah. Hariman mendekat, lalu menjerit saat menyadari bahwa mayat yang telungkup di air dangkal itu adalah mayat adiknya. Tak butuh waktu lama, Hariman sudah bisa mengenali ciri-ciri adik sambungnya: kaus biru dan celana panjang hitam yang membungkus mayat itu adalah pakaian yang sama yang dikenakan Acil saat shalat subuh kemarin. Hariman lekas lari pulang ke rumah untuk memberi kabar pada Emak dan Bapak, dan kabar itulah yang membuat tangis Emak berhenti mendadak.
Baca juga: Negeri Pemuja Koruptor
Bersama Bapak dan beberapa warga, Hariman pergi melapor ke kantor polisi. Petugas kepolisian yang menerima laporan itu lantas menghubungi pihak Rumah Sakit Daerah. Mayat Acil dijemput ambulans beberapa waktu kemudian. Hariman dan Bapak ikut dalam ambulans itu. Mereka berdua juga ada saat mayat Acil diperiksa dan dimandikan di rumah sakit.
Emak tak mau melihat jasad Acil. Mungkin Emak takut tak kuat. Setelah beberapa hari Acil dimakamkan, Emak banyak memilih diam di kamar. Ia juga tak mau bertanya apa-apa tentang Acil pada Bapak atau Hariman. Bapak dan Hariman pun demikian, keduanya telah sepakat untuk tak memberi tahu Emak bahwa tangan kiri dan sepasang bola mata Acil telah hilang, berikut dua organ dalam: hati dan ginjal.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, apalagi sejak Kang Maman ditemukan mati gantung diri di rumahnya, ingatan orang-orang kampung tentang Acil perlahan memudar. Mereka benar-benar telah melupakan Acil, termasuk Bapak dan Hariman. Namun tidak dengan Emak. Emak terus dibayang-bayangi wajah Acil dan baju baru yang dikenakannya. Baju baru yang putih, yang membuat mata Emak selalu perih.
Lampung, 2023-2024
***
Yulizar Lubay, lahir di Lampung, 24 Juli 1986. Menulis cerpen sejak 2010. Cerpennya yang berjudul Kabar Gembira masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas2022. Sehari-hari bergiat di Komunitas Berkat Yakin Lampung sebagai aktor teater.