Pelagak
Mimik Ganda seperti ada kecewa. Bukan pada Langgam yang ternyata suka dengan istrinya, tapi lebih pada makanan.
Siapa dia yang pulang ke kampung meski baru lima tahun merantau, ketika orang-orang baru selesai menimba ilmu atau merintis karier tak seberapa di kota, sudah gilakah dia?
Lagam namanya. Orang-orang menyebutnya Langgam. Salah sebut sepertinya, tapi arti tidak begitu beda, maka dia biarkan saja. Mau Lagam atau Langgam sama saja, tetap saja dirinya: berlagu; bergaya; berlagak.
Lalu, orang-orang mendendangkan rekor baru: Langgam si anak muda bawa emas dari negeri jauh. Alamak, alangkah merdu terdengar, persis nyanyian lapar pada sepiring nasi lengkap lauk; pada sawah saat jam makan ketika usai mencangkul tanah basah yang berat.
“Aku memang dilahirkan untuk berhasil, kalau yang lain aku tak tahu, mungkin sudah takdir.”
Tak ada yang membalas, bukan tak berani, tapi lebih ke malas. Warga kampung yang mengelilingi Lagam lebih memilih menyantap nasi bungkus berlauk ayam ala warung Padang yang dibeli di batas kota, yang dibeli Lagam guna unjuk keberhasilan setelah merantau. Nasi bungkus semacam itu, lengkap dengan daun ubi, nangka muda, sambal, beraneka kuah gulai, dan potongan timun, memang masih menjadi lambang kemewahan, apalagi kalau ada rendang jengkol di dalamnya.
Padahal, warga kampung itu tidaklah miskin. Sawah membentang, luasnya lebih dari setengah wilayah kampung. Ladang, baik dari tanaman ringan seperti ubi atau jagung hingga yang berat seperti nangka, buah-buahan, maupun jengkol, menumpuk. Pun ternak tak terhitung, sebut saja kerbau, sapi, hingga kambing. Ayam? Unggas ini adalah yang sangat biasa, bebas dan tak perlu kandang, warga selalu membiarkan binatang berkaki dua itu berkeliaran. Artinya, untuk memasak lauk ayam atau sapi atau kambing atau kerbau, bukanlah sesuatu yang sulit. Dalam kenduri kampung hal itu juga sering mereka lakukan. Tapi itu tadi, meski ayam sangat biasa, nasi bungkus lauk ayam ala rumah makan Padang plus rendang jengkol adalah istimewa.
Baca juga: Mawar Itu Merah, Es Itu Dingin
Maka, ketika ada yang membeli secara banyak dan membagikan ke warga kampung, dia akan menjadi tokoh utama dalam cerita-cerita. Persis Lagam saat itu, dia membusungkan dada, duduk di tengah, sembari mengatur kata agar wibawa. Dan, seperti orang-orang yang pulang dari rantau lainnya, hal semacam itu sudah biasa. Sebiasa warga kampung menyikapinya, melahap nasi bungkus sembari membiarkan sang tokoh utama bicara ke mana suka.
”Aku tak perlu seperti mereka, yang butuh puluhan tahun merantau. Atau, mereka yang bisa menghabiskan waktu belasan tahun di negeri orang. Aku hanya butuh lima tahun dan kekayaanku sudah melewati mereka.”
Seperti tadi, tak ada yang membalas. Tidak satu pun yang bertanya dari mana kekayaan Lagam. Kalau pun ada yang bersuara, paling hanya dari Ganda, menantu Pak Haji, yang baru tinggal dua tahun di kampung itu. Artinya, dia memang belum mengenal Lagam secara langsung. Itupun, terdengar seperti basa-basi saja.
”Gam, kau orang Aceh ya? Agam itu kan laki-laki ya, kayak Ucok di Batak atau Atan di Melayu?”
Atau, ”Gam, apa mungkin kau dari Sumatra Barat? Kayak nama kabupaten.”
Dan, pertanyaan itu tak harus dijawab oleh Lagam. Dia hanya tertawa saja. Pun, warga lain, semua tertawa kecuali si Ganda tadi. Setelah itu, tak ada suara lagi, semua sibuk makan. Ganda juga, memakan nasi bungkus dengan diam.
Namun, setelah kertas nasi yang bagian dalamnya diberi daun pisang sudah dilipat dan dimasukan ke dalam plastik, semuanya baru mulai bersuara. Tentu ada pujian meski tidak sedikit yang mengkritik.
”Langgam, besok ada lagi nasi bungkusnya kan?”
”Langgam, kau pantas menjadi kepala kampung.”
”Dia masih terlalu muda!”
”Tapi, dia sudah pulang dari rantau dan kaya!”
”Agam atau Langgam?” seru Ganda.
Lalu, seperti sebelumnya, semua tertawa. Lagam tidak. Dia memandang Ganda dengan dalam. Keningnya berkerut tiga, tepat di antara kedua alisnya. ”Anak baru?”
”Iya, menantu Pak Haji. Dia nikahi si Azizah. Eh, tunggu dulu, kau kan dulu suka sama Azizah kan, Langgam?” cetus seorang warga.
Mimik Ganda langsung berubah, seperti ada kecewa. Bukan pada Langgam yang ternyata suka dengan istrinya, tapi lebih pada nasi ayam yang sudah terlanjur masuk perut. Kalau saja soal itu sudah dia ketahui, tentu dia tidak akan menyentuh makanan itu. Ya, sekadar nasi ayam ala warung Padang, dulu itu makanan sehari-harinya di kota ketika tak sanggup membeli nasi bungkus berlauk rendang daging atau gulai kepala kakap. Apalagi, Azizah sering memasakan ayam goreng, ayam gulai, atau ayam sambal. Pun, ayamnya ayam kampung bukan ayam potong seperti nasi bungkus itu.
”Bukan Azizah itu, tapi Azizah anak Pak Imam,” balas Lagam.
Wajah Ganda berubah lagi, kali ini lebih ceria. Tentu, ini soal nasi ayam yang sedang diproses dalam perutnya. Pun, selama ini istrinya memang tidak pernah cerita soal pria lain atau lelaki yang pernah suka padanya. ”Pak Imam yang penghulu itu?”
”Pak Imam jadi penghulu?” tanya Lagam.
”Bukan Pak Imam bapaknya Azizah, tapi Imam. Namanya memang Imam, baru empat tahun jadi penghulu di kampung kita. Kalau bapaknya Azizah kan memang imam masjid,” jawab warga lain.
Lagam mengangguk-angguk. Sesekali dia juga memegang dagunya yang tak berjanggut.
”Jadi, mau kau jadi kepala kampung, Langgam? Sebentar lagi kepala kampung kita mati.”
”Langgam masih muda, belum saatnya mati!”
Lalu, semua tertawa. Lagam juga. Tapi, Ganda tidak. Soal jabatan kepala kampung di kampung istrinya itu memang aneh dan sering mengusik kepalanya. Bayangkan saja, ketika di kampung lain orang berebut untuk meraih posisi tersebut, di kampung itu malah sebaliknya, warga sibuk menghindar. Bukan anti dengan jabatan itu, tapi lebih mengarah ke takut. Pasalnya, ada semacam kebiasaan (warga kampung menyebutnya kutukan) kepala kampung akan meninggal setelah lebih kurang dua tahun menjabat. Itulah sebab, jabatan itu biasanya diduduki oleh orang-orang tua. Dan, yang paling populer menduduki posisi kepala kampung adalah orang yang baru pulang dari perantauan. Biasanya, para perantau yang sukses, setelah pergi selama belasan atau puluhan tahun tak percaya dengan kutukan tersebut. Atau, mereka memang mencari mati sebagai kepala kampung. Setidaknya itu yang Ganda dengar dari istri maupun mertuanya. Selain itu, dia juga melihat secara langsung ketika baru tinggal di kampung tersebut, tiba-tiba saja kepala kampung yang jadi saksi pernikahannya mati. Tidak sakit, tapi hanya karena jatuh di halaman saat membantu istri menjemur pakaian. Padahal, mendiang kepala kampung itu bertubuh sehat, dia adalah pensiunan tentara. Ah, padahal kepala kampung adalah jabatan yang menarik.
”Kan tak harus mati, Gam,” kata Ganda kemudian.
”Gam apa? Agam atau Langgam?” balas warga lain.
Lagam tertawa mendengar semua kalimat itu. Terutama soal nama yang jadi pembahasan. Langgam, menurutnya, lucu dan tidak jauh berbeda arti dengan namanya. Tapi, Agam? Nama itu, terlalu jauh dan sangat mengarah ke daerah pun suku tertentu. Lagam jelas tidak suka, tapi dia tertawa saja.
”Sebentar lagi kepala kampung akan mati dan cuma kau, Langgam, yang baru pulang dari perantauan sekaligus kaya. Jadi, siapa lagi?”
”Ada Pak Kamal?” cetus warga lain.
”Dia sudah tiga tahun pulang dan sudah stroke!”
”Berarti kan pas. Tinggal tunggu waktu.”
”Mau kau dipimpin orang yang jalan saja tidak benar?”
”Sama saja, sama-sama mati juga kan?”
Lagam tidak tertawa lagi, tapi tetap tersenyum mendengar perbincangan itu. Dia maklum. Sudah tujuh orang kepala kampung yang mati saat menjabat, berarti sudah 14 tahun, sebuah kenyataan yang mencurigakan. Dan sudah lima perantau, yang pulang serta menetap dan bukan sekadar pulang kampung kemudian kembali lagi, yang terpilih menjadi kepala kampung dan kemudian mati. Ada yang mati sedang memasak air. Ada yang mati ketika memberi makan cucu. Ada yang mati saat belanja di pasar. Ada yang mati kala menyapu halaman. Ada yang mati waktu mengepel dapur. Ada yang mati usai cuci piring. Dan terakhir, mati karena menjemur pakaian. Semuanya mati wajar, rata-rata kabarnya disebabkan sakit jantung, tidak ada tanda-tanda kekerasan dan sebagainya. Tapi itu tadi, karena wajar, kematian jadi mencurigakan. Pasalnya, selama empat belas tahun tersebut hanya itu kematian yang ada di kampung mereka. Maksudnya, tidak ada lagi orang yang mati kecualii tujuh orang yang jadi kepala kampung tadi.
Baca juga: Suara Tangis di Malam Lebaran
Dulu, dalam setahun bisa dua kematian, bahkan lebih. Kebanyakan yang mati adalah kaum ibu yang baru atau sedang melahirkan. Atau setidaknya, anak-anak yang hanyut di sungai dan bayi yang kehilangan ibu tadi. Selebihnya tidak ada, kaum bapak ataupun pemuda nyaman-nyaman saja. Artinya, kematian adalah sesuatu yang wajar dan tidak mencurigakan hingga kematian sekian kepala kampung itu.
”Langgam itu belum punya istri, dia juga masih muda, bisa jadi aman,” kata warga yang begitu ingin memajukan Lagam.
”Tapi, dengan tujuh kematian kepala kampung, sangat berisiko lah.”
”Tapi, tujuh kematian itu berhubungan dengan urusan istri, Langgam belum punya!”
”Itu dia, masak belum kawin jadi kepala kampung?”
”Iya, belum ada sejarah, kepala kampung belum kawin. Peraturannya harus sudah kawin!” balas warga lain yang ingin masuk medan perdebatan.
”Nah, itu yang harus diubah. Kepala kampung juga bisa dijabat orang luar, pendatang. Siapa tahu itu membuat kematian tidak datang,” cetus Ganda.
”Seperti kau? Tidak bisa! Selain pendatang, kau juga tak kaya,” balas warga tadi.
”Itu yang harus diubah!” bantah Ganda.
”Tidak baik mengubah peraturan, untuk jadi kepala kampung kan sudah menikah dan warga asli. Itu saja.”
”Berarti Langgam tidak bisa! Meski dia warga asli, tapi dia belum kawin.”
”Itu dia, karena belum kawinlah maka dia tidak akan mati saat jadi kepala kampung. Semuanya mati karena membantu istri kan? Langgam mau bantu siapa, istri saja belum punya! Kalau kau, sudah kawin, pendatang pula!”
”Kalau begitu menjabat dan setelah itu kawin, bagaimana?”
”Ya, matilah!”
Lagam tertawa mendengar perdebatan itu. Pulang dari rantau dengan kesuksesan bisa berarti jadi kepala kampung. Peraturan soal belum kawin tentu mudah diubah karena hal itu bisa berarti aman dari kematian. Pikiran-pikiran itu memenuhi kepalanya hingga tawanya semakin membahana. ”Besok kita makan nasi bungkus ayam lagi ya, biar tidak usah mikir soal kawin,” katanya kemudian.
”Berarti, mau kau kan jadi kepala kampung?”
”Kepala kampung kan belum mati.”
”Sebentar lagi, kulihat sudah sering dia mengupas bawang.”
Lau Mulgap, 2023-2004
Muhammad Ramadhan Batubara, buku terbarunya adalah novela Yang Tetap Hilang (Basabasi, 2023). Cerpennya yang berjudul ”Tiga Tanda Mati” masuk dalam 20 Cerpen Terbaik Kompas 2022. Kini tinggal di Kecamatan Namorambe, Deli Serdang, Sumatera Utara.