Ludah Bertuah
Pada saat yang sama Omel sedang lewat. Seketika menghadap ke jendela yang tiba-tiba membuka. Omel yang terus menguber.
Namanya Oyong. Namun, lebih banyak yang memanggilnya ”Kong”. Bukan karena matanya yang sipit, melainkan karena tubuhnya yang segede gorila bengkak. Oyong pernah dua kali tidak naik kelas dan hanya bersekolah sampai kelas III SMP; keluar seminggu sebelum Ujian Nasional. Ukuran tubuhnya sebanding dengan tenaganya. Namun, tak diimbangi dengan kemampuan otaknya. Hal itulah yang dimanfaatkan betul oleh Omel.
”Kong, aku akan menjadi manajermu,” kata Omel. ”Tapi aku minta dua puluh persen dari pendapatanmu mengobati pasien!”
”Jangan dua puluh persen, Juragan,” sahut Oyong, ”terlalu banyak!”
”Kalau segitu terlalu banyak, pantasnya berapa?” Omel menaikkan volume suaranya. ”Aku, kan yang memromosikan kamu? Menyebarkan kabar bahwa ludahmu bertuah. Bisa menyembuhkan berbagai penyakit! Kuyakinkan orang-orang bahwa aku saksi dan buktinya!”
”Memang seperti itu, Juragan,” sahut Oyong. ”Tidak saya pungkiri. Tapi jangan dua puluh persen, lah! Terlalu banyak.”
”Kalau dua puluh persen terlalu banyak, coba sebutkan berapa!” desak Omel.
Oyong tak segera menjawab. Justru menggaruk-garuk rambutnya. “Yang penting pantas. Tapi jangan sebesar itu!”
”Kong, aku tidak minta terlalu banyak. Kamu tahu sendiri aku bukan orang tamak.” Omel menepuk-nepuk pundak Oyong. ”Begini saja. Kalau sepertiganya saja bagaimana?”
Serta-merta Oyong melebarkan bibirnya. ”Nah itu! Baru adil namanya!”
***
Seminggu sebelumnya Oyong meninggalkan gardu ronda sambil sempoyongan. Kepalanya pusing. Uang milik juragannya yang sedianya hendak dipakai untuk beli pupuk lenyap tak tersisa. Digasak lawan-lawan main judinya. Diterobosnya hujan; hampir tengah malam; takut tidak diberi pintu oleh istrinya. Tak disangka-sangka, Oyong terpeleset saat hampir tiba di depan pintu rumahnya. Keningnya terjedot dinding.
”Babi buduk! Anjing kurap!”
Entah karena terlalu banyak misuh ataukah akibat dahinya benjol sebesar bola pingpong, Oyong panas badannya. Baru bisa tidur setelah tengah malam. Mengigau, mimpi dikejar-kejar orang gila. Dalilah yang terbangun segera memasang telinga, barangkali ada nama perempuan yang terlontar dari mulut suaminya. Untungnya tidak ada, kecuali erangan yang selang-seling dengan dengkuran.
Baca juga: Anak yang Ditelan Telaga
Esoknya Oyong bangun kesiangan, dan tak kurang suatu apa, dan lupa harus beli pupuk lalu mengantarkannya ke sawah juragannya sebelum matahari cukup tinggi. Demam semalam tak lagi tersisa meskipun dahi Oyong yang benjol masih sewarna dengan buah duwet. Seperti biasa, Oyong lalu membuka jendela kamar, meludahkan dahak yang bergumpal di mulutnya sekencang-kencangnya.
Hoek! Cuuh!
Pada saat yang sama Omel sedang lewat. Seketika menghadap ke jendela yang tiba-tiba membuka. Jadilah dahak yang serupa lem kertas basi dan sebau tahi itu melabur mukanya. Seperti halnya Oyong, Omel kaget setengah mati. Serta-merta lupa niat semula; menagih pupuk. Ganti memaki-maki.
Setelah puas meneriakkan bermacam nama binatang, Omel menyeka gumpalan dahak yang memenuhi pipi kirinya, membiarkannya melekat di jari-jarinya, menerobos pintu ruang tamu yang setengah terbuka dengan berlari.
”Kong! Kong! King Kong!” teriaknya, gusar.
Namun, Oyong tidak ada, kabur lewat pintu dapur. Lintang pukang. Menerobos kebun singkong. Berkelok-kelok di antara pepohonan, lalu menyelinap. Duduk di balik pohon sambil mendekap dadanya yang kembang kempis.
Omel yang terus menguber Oyong tak terkecoh. Tahu di mana Oyong sembunyi. Omel mengendap-ngendap, mendekati pohon durian yang batangnya montok. Sementara, dahak berlendir itu masih menyelimuti jari-jari. Omel ingin mencangar mulut Oyong, lalu menjejalkan dahak ke dalamnya, lalu menggenapi dengan dahaknya sendiri.
Omel membungkuk-bungkuk, menuju persembunyian Oyong, dan baru ingat kemarin sore jari telunjuknya kena sabit. Lukanya panjang, dalam, dan sakit sekali. Namun, kini tak lagi terasa perih. Omel mengerutkan kening. Sambil terus mengendap, ditekuk-luruskannya jari telunjuknya, dan memang tak terasa sakit lagi. Omel berhenti, menegakkan punggung, mengamat-amati jari yang terbenam dalam gumpalan dahak itu. Lalu membelalak. Luka itu sudah tak ada. Bahkan bekasnya.
Dari situlah sebutan Ludah Bertuah itu bermula.
***
Berkat Omel, kabar ludah Oyong yang bisa menyembuhkan 1001 jenis penyakit segera menyebar ke mana-mana. Melintasi desa, melompati kecamatan, mengangkangi kabupaten, dan entah bakal mengarung ke mana saja. Mula-mula yang datang hanya satu-dua. Rata-rata penderita panu, kadas, kurap, kudis, atau luka akibat kena gores benda tajam. Namun, seiring berjalannya waktu, jumlahnya tambah banyak. Dari berbagai kalangan. Dengan berbagai keluhan.
Siapa pun dan apa pun jenis penyakitnya, bahan dan cara mengobatinya sama. Meludahi bagian yang sakit, lalu menjilatinya. Entah karena cairan dahak itu membuat mereka jijik, ataukah mereka lalu mual-mual dan muntah-muntah usai diobati Oyong, ataukah penyakitnya sudah minggat, tak satu pun dari pasien itu yang kembali ke rumah Oyong. Apalagi sampai menagih uang ucapan terima kasih yang telah mereka berikan.
Keuangan Oyong lancar jaya. Perabot rumah baru. Lantai rumah dikeramik. Televisi lebih besar. Dalilah tak perlu lagi mengutang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dasternya tidak lagi itu-itu saja. Ada perhiasan yang melingkar di leher, lengan, dan jemari.
Selama proses pengobatan yang dilakukan di dalam kamar, Dalilah selalu menemani Oyong. Siapa tahu suaminya butuh bantuan. Mengambilkan sesuatu misalnya. Begitu dalih Dalilah. Oyong sendiri tak terlalu mempermasalahkan meskipun tahu alasan sebenarnya. Khawatir uang dari para pasien dipakai Oyong main judi.
Dalilah menyimpan amplop-amplop itu di balik kutang. Ia jago dalam mengelola keuangan. Juga lebih tahu perihal hitung-hitungan, sehingga bisa menghindarkan Oyong dari rongrongan orang-orang semodel Omel.
Masalah keuangan teratasi. Namun, bukan berarti tak ada masalah sama sekali. Siang itu, belum juga Oyong sempat memainkan ludah dan lidahnya, Dalilah buru-buru menyeretnya ke dapur.
”Kamu tidak boleh mengobatinya!” ucap Dalilah sambil mendelik.
”Kenapa?” kata Oyong. ”Kasihan! Rumahnya jauh!”
”Pokoknya tidak boleh!” Dalilah melotot.
”Iya. Kenapa? Alasannya apa?” Oyong bingung. ”Aku, kan juga pernah mengobati pasien perempuan sebelumnya!”
”Bukan itu masalahnya!” bentak Dalilah.
”Lalu masalahnya apa?”
Dalilah berkacak pinggang. ”Coba jelaskan padaku bagaimana cara kamu mengobati pasien yang satu itu!”
”Kok, bagaimana? Ya, seperti biasanya. Meludahinya lalu .... ”
Oyong tak melanjutkan ucapannya. Cengar-cengir sambil menggaruk-garuk jidatnya. Baru sadar mahasiswi yang sedang berbaring di kamarnya itu menderita kanker payudara.
Perdebatan serupa juga berlangsung seminggu kemudian. Bahkan, lebih sengit. Ketika itu yang datang perempuan yang sangat cantik. Penyakitnya kanker serviks.
***
”Kong, aku minta lima belas persen seperti perjanjian semula,” kata Omel suatu hari. ”Istrimu licik. Aku hanya diberi sepuluh. Itu pun aku tak yakin laporan pemasukannya tidak dimanipulasi.”
Oyong tak menanggapi omelan Omel. Dari balik jendela, matanya sibuk meneliti mobil yang terparkir di halaman rumahnya. Angka dan huruf di plat nomornya tidak biasa. Juga diamat-amatinya tamu yang sedang duduk tenang di kursi tunggu. Pakaiannya rapi. Wajahnya bersih.
”Itu siapa, Juragan?”
”Makanya aku minta tambahan komisi,” sahut Omel. ”Tamu istimewa! Aku telah mengiklankan ludahmu di media sosial. Kutuliskan bisa dijadikan jimat!”
Omel lalu menjelaskan nama, jabatan, dan kuasa yang dimiliki tamu yang dibawanya. Juga keperluannya. Seketika Oyong bingung. Permintaan semacam itu baru pertama kali.
”Saya harus melakukan apa, Juragan?” tanyanya.
”Lakukan apa saja! Orangnya pasti percaya.”
”Benar begitu, Juragan?”
Omel mengangguk tiga kali, sangat meyakinkan. Oyong pun segera membuang keraguannya. Dirapikannya sarung, lalu menyilakan tamu yang tampak perlente itu masuk kamar. Memintanya duduk di kasur. Usai mengucapkan maaf dan permisi, Oyong segera menjalankan aksinya: meludahi wajah yang bersih mengilat itu sepuas-puasnya. Lalu menjilatinya. Hanya itu satu-satunya cara agar si tamu disayangi atasannya.
Omel terus memromosikan ludah Oyong meskipun komisi yang diterimanya tidak sesuai permintaannya. Tip yang diterima Omel dari para pasien yang dibawanya cukup besar. Belum lagi bonus jika hajat mereka dikabulkan. Untuk sementara pekerjaan menyawah, membeli gabah, menjadikannya beras, lalu menjualnya, Omel serahkan kepada anak buah kepercayaannya.
Baca juga: Tamansari dan Lelaki di Pokok Ketapang
Saat Pemilu, promosi yang dilakukan Omel di berbagai sosial media makin menggila: ludah bertuah Oyong bisa untuk menarik simpati massa, memudahkan hajatnya terkabul, dan sebagainya. Orang-orang yang ingin terpilih sebagai wakil rakyat segera berbondong-bondong ke rumah Oyong dan Oyong melayani mereka dengan suka cita. Diludahinya foto-foto yang akan dipasang di kertas suara. Dipilihnya dahaknya yang paling kental, disuruhnya menyimpan di sapu tangan, berpesan agar dibawa saat kampanye. Dikumpulkanya ludahnya di bekas gelas plastik air mineral, menyuruh calon para yang terhormat itu mengoles-oleskannya di pintu masuk TPS.
***
”Kong, segera siap-siap! Mandi! Berpakaian yang rapi!” seru Omel pagi-pagi sekali. ”Kita ke Jakarta!”
”Mau apa?” Oyong mengucek-ngucek matanya yang belum membuka sempurna.
”Ada yang butuh jasamu.”
”Siapa?” Oyong menguap.
”Orang yang sangat penting. Kamu pasti tak pernah mengira,” Omel senyum-senyum, lalu menempelkan bibirnya ke telinga Oyong. Bisik-bisik.
”Jangan bercanda, Juragan!” Oyong membelalakkan mata. Kantuknya lenyap.
”Beneran, Kong! Sumpah!” tandas Omel. ”Tadi malam aku dihubungi ajudannya.”
”Keluhannya itu tadi?” Oyong minta kepastian.
”Betul sekali,” jawab Omel.
Oyong mengangguk-angguk. Sejurus kemudian menepuk-nepuk dada sebelah kiri. Seakan-akan ada gambar burung garuda di situ. Negara sedang butuh bantuannya. Pasti segera dipenuhinya.
”Pejabat tinggi yang tak bisa berpidato, gampang sekali mengatasinya!” kata Oyong. Matanya tampak berbinar-binar.
Kajen, 28 Februari 2024
Dewanto Amin Sadono, Guru dan Penulis Prosa. Tinggal di Kajen, Pekalongan. Beberapa karyanya dimuat di berbagai media dan memenangkan lomba.