Puisi-puisi S Prasetyo Utomo
S Prasetyo Utomo sejak 1983 menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di media massa.
Ritus Percumbuan Rumi (1)
Tabir senja turun ketika aku memasuki makam
petikan baglama menyingkap tarian darwis
dan tiupan seruling menebar cinta bagi semesta
hentakan tabla mencipta keindahan koreografi
untuk sebuah cahaya yang jauh tak berjarak
dekat tak tersentuh urat nadi.
Peziarah bercerita tentang pertaruhan jiwa
dan orang-orang membasuh luka
seiring pusaran darwis
mencari atmosfer senyap
setelah hati tergetar puncak rasa
luruh segala peristiwa yang sia-sia
Darwis meretas jarak cahaya
ke mana lagi kucari keagungan seindah itu
bukankah dalam hamparan cinta
Rumi selalu mabuk cumbu?
Baca juga: Puisi-puisi S Prasetyo Utomo
Ritus Percumbuan Rumi (2)
Larut dalam perjalanan musim
Konya tergoncang angin santer
gemetar bunga tulip di taman kota
di museum Rumi menjelma doa penari sema
menyusup jiwa para pemburu surga
yang terus berdatangan meluruhkan dosa
takjub akan gerakan tari. Labirin doa
mencumbui senyap
keheningan pusat hati mengendap
Di sini zikir mengendalikan pusaran tari
petikan baglama menyentuh segala rindu
seruling memudarkan sihir napsu
berkembang jubah penari mempertautkan sunyi
Mereka ziarah dan terpana
mengenang Rumi mabuk hentakan tabla
lepaslah napsu pada kilau cahaya
tapi aku ragu larut dalam pusaran jiwa.
Baca juga: Puisi-puisi Ni Putu Ayu Yogi Ardhaningsih
Ritus Kecemasan Hari Tua
Masih tersisa sihir nasib masa silam
saat kaki terbenam lumpur
aku mesti merangkak
bangkit mencari wangsit
dan membasuh muka
tai asu lekat melumuri citra
orang meledekku sebagai badut
paling sial di bawah lengkung langit.
Aku tertambat kecemasan
dikhianati mantra kebugaran
betapa gugup di ambang usia renta
tak ada rias penipuan
saat bermain teater kehidupan
ketika sadar adegan hampir selesai
tubuh lapuk bersama panggung
dan peranku terkubur dalam tragedi
“Izrail, Izrail, masih adakah tawar-menawar kini?”
Topeng tak lagi bisa melindungi wajah
layar tertutup, kecemasan menjelang
sementara kubiarkan diri gundah
terkutuk mampus sebagai pecundang.
Baca juga: Puisi-puisi Joko Pinurbo
Ritus Perpisahan Kakek
Labirin mengendap di pendapa kayu
ruang yang lapang menerima segala peristiwa
dan kisah masa silam meneguhkan kenangan
menebar hasrat untuk mencatat tiap pergolakan
yang mencipta gugus mimpi
untuk sebuah lakon yang mengeras di sanubari
tak peduli rintangan begitu lekat
“Jelajahi gunung dan ngarai, rasakan
tajam bebatuan dan busuk lumpur
lengket dalam tubuh, bukan dalam kisah.”
kau telah mengarungi musim-musim getir
menempa hati menjadi lugas
bukan beringas, bukan menindas!
Masih kukenang saat kau pulang
pendapa kayu alangkah lengang
dalam arak-arakan panjang anak cucu
mata cemerlang melelehkan rindu.