Semesta Tubuh Putu Sarma!
Adakah bedanya gelaran tubuh dalam selimut berahi, saat sebagai Sudra dan saat sebagai Brahmana?
Putu Sarma*
Kepak sayapnya tak henti terbang mengangkasa dalam metamorfosis dirinya sebagai tubuh yang lain, tubuh seekor kuda jantan yang berjingkrak di langit biru, biru dan biru. Mengejar para bidadari yang menari Bumbung yang menggoyangkan berahinya setinggi langit. Ada satu bidadari yang menarik matanya tak henti-henti. Dialah janda muda, kakak iparnya sendiri. Kini ia bukan lagi seorang ”Ida”. Ia telah seperti dirinya yang seorang sudra. Karena itu, inilah pertemuan yang indah dalam balutan kemilau tubuh seorang Telaga** yang bukan lagi sebagai ”Brahmana”. Lihatlah, matanya melambaikan kode agar ia mendekat ke dalam gumpalan awan biru langit. Senyumnya mengembangkan pesona agar ia segera mengejarnya. Tiba-tiba Telaga menghilang.
Putu Sarma celingukan pada deretan bidadari lain tapi, tak di temukannya juga sosok Telaga.
Para bidadari itu malah kini yang berhamburan ke arahnya, menaiki badannya, merenggut muka kudanya menciuminya seolah mereka adalah seorang ’Joki’ pada peliharaannya (mata itu terbuka pada tengah malam dalam kegembiraannya yang sangat dan dunia kesadaran merengkuhnya pada sebuah bilik kamarnya yang sempit, dalam keringat yang membanjiri tubuhnya). Ia sendirian di dalam kamar itu. Sidri isterinya*** , ada di depan tivi dengan para Ibu tirinya yang berjejer tidur dengan pulasnya. Putu Sarma merangkak keluar rumah ia ingin melihat langit dan merasakan kesegaran angin malam.
Telaga hadir pada mimpinya itu artinya, telah membuka kembali memori lama. Saat ia ada di depan panggung dan Telaga menghipnotisnya dalam gerakan erotis tari bumbung. Saat itu ia bersumpah akan memburunya jika Telaga dekat dengannya sampai nafasnya habis.
Perkawinannya dengan Sidri ia ’sumpahi’ lebih sebagai batu antara untuk dekat dengan Telaga. Karena pasti ia akan bertemu dengannya dalam satu rumah saat berkunjung ke rumah mertuanya. Dan hal itu sudah terjadi bahkan ia hampir melunaskan kerinduannya dengan pacu kuda di padang savana.
Namun sayangnya, saat itu anaknya datang tanpa ia duga dengan seragam sekolahnya. Ia melihat saat itu penolakan Telaga dalam rontanya hanyalah pintu gerbang untuk sebuah perkenalan bahwa hasratnya akan mendekap hasratnya juga.
Baca juga: Harimau Liar di Hari ”Meugang”
Telaga tentu kesepian setelah suaminya meninggal dua bulan yang lalu. Atau enam bulan setelah kejadian terakhir tubuhnya alirkan debar jantungnya.
Ia melihat langit yang redup dalam gerimis merintik. Matanya memintanya untuk kembali labuhkan tubuhnya pada kasur. Tapi ia bilang sendiri (jangan biarkan tanganmu menyentuh secara berlebih pada kelaminmu, tunggu saat kesempatan itu tiba).
Sebuah kesepakatan iblis telah dirancangnya bersama Luh Jinggan – pemilik warung arak tiga hari yang lalu. Ia telah membujuknya agar mau membawa mertuanya itu pergi jauh dari rumahnya untuk waktu yang lama. Ia ingin sempurnakan tekadnya yang tertunda. ’Memburu Telaga sampai nafas terakhirnya!’
***
Pagi ini, perempuan itu sebentar lagi bersiap menariknya pada skenario gila yang telah disepakati bersama. Luh Jinggan datang dengan sebuah tas jinjing sebagai perayu rencana. Terdengar janda itu mengetuk pintu (ia mendengarnya dengan jelas di atas sebatang pohon sukun yang tinggi persis diatas genting kamar depan).
Dari dalam rumah terdengar teriakan agar orang di luar rumah bersabar menunggunya. Tentu, teriakan itu ditujukan pada Luh Jinggan. Mendengarnya Putu Sarma gembira. Itu artinya, sebentar lagi niatnya menyentuh tubuh Telaga akan terlaksana. Dan, suara langkah itu terdengar lalu, pintu terkuak. Luh Jinggan menyapanya lebih dulu. Sapa beracun bahwa ia merasakan nikmatnya ketan buatannya yang ia beli di pasar. Ia ingin, mengajaknya datang ke warungnya untuk sebuah pekerjaan membuat ketan dengan upah yang lumayan.
Terang saja pujian itu sampai di hatinya. Apalagi dengan oleh-oleh yang dibawanya dalam sebuah tas keranjang rotan. Di atas rerimbun pepohonan yang dahannya berjuntai keatas genting, telah menguping Putu Sarma yang dengan jelas mendengarnya bahwa, mertuanya itu setuju dengan pekerjaan dan upah yang ditawarkan Luh Jinggan. Namun mertuanya itu pamit sebentar ke dalam rumah dan terdengarlah teriakan agar Telaga mengurusi semua pekerjaan rumah saat ia pergi lama nanti.
Pintu berderit (dari atas genting sepasang mata Putu Sarma memperhatikan dua orang perempuan di bawahnya sedang bergerak meninggalkan rumah mertuanya. Kini ia harus bergegas turun sebelum pintu depan rumah itu di tutup oleh Telaga). Bagaikan kucing garong yang telah tentukan mangsa. Putu Sarma melangkah pasti masuk kedalam rumah.
Baca juga: Ludah Bertuah
Tubuhnya telah bergetar sengatan berahi yang memuncak, itulah saat kemistri hadir sebagai takdir. Karena di saat yang bersamaan ketika Putu Sarma mendorong pintu dari luar, Telaga sedang menghambur tergesa menuju ruang tamu untuk menutup pintu depan. Alangkah terkejutnya Telaga begitu melihat Putu Sarma telah ada di hadapannya. ”Kau!”
Sekalimat singkat itu terucap sia-sia. Putu Sarma segera menyergap tubuh Telaga. Bagai harimau pada rusa di padang savana. Tubuh kekar Putu Sarma mendekapnya erat dalam pelukan kasar yang membuat nafas Telaga sesak. Tapi hanya sebentar karena yang terjadi kemudian adalah hujanan ciuman tak terkira pada bibir, leher dan gundukan pasir kenyal berbukit. Putu Sarma kemudian mengempitnya sampai menyentuh dinding. Itulah saat seekor kuda memacu berahinya dengan ganas. Putu Sarma seolah gelap mata dan bahkan pintu depan rumah itu pun, belum ditutup Telaga.
Sesaat. Sekalimat singkat sebuah kisah. Yang seolah berulang.
Tapi, apakah kejadian di hari itu disebut sebagai perkosaan?
***
Pertanyaan itu mengulang di benaknya pada tiga bulan ke depan. Di sebuah warung kopi saat hujan memaksanya menepi. Tapi ia yang memburunya, bukankah pantas saja di sebut sebagai bentuk perkosaan? Tapi Telaga kemudian meminta tambahnya. Bukankah ia juga yang memberinya?
Biarlah angin sore nanti yang bilang, siapa yang nafsu? Dan siapa yang bersalah. Jika itu sebagai perkosaan, sebagaimana yang pernah terjadi pada neneknya yang melahirkan anak kembar. Dan menuntunnya bertanya atas semesta tubuhnya yang takdirkan bahwa, ia berjodoh secara seksual dengan Telaga.
Sama-sama simpan api sekam berahi yang bagai magma merapi. Meletup tiba-tiba setelah tersimpan lama ditekan ditahan jadi sublimasi. Dan inilah yang terjadi. Saat tubuhnya dan tubuh Telaga ketemu dalam perayaan kelamin yang lama tertahan. Dua-duanya. Satu liang gua alam dan satu pasak bumi bertemu kemistri.
Ada perasaan aneh saat tubuh Putu Sarma mengempitnya ke sisi tembok dan rekonstruksi erotis itu seperti pacu mesin yang bergerak simultan.
Sebuah sesak yang menggelinjangkan rasa. Sakit yang nikmat adalah kontradiktif fisiologis dari tubuh yang lama tersimpan tak terjamah tangan dan ombak biru. Telaga dihanyutkan walau teriakan kecil itu sempat terucap. ”Jangan!”Tapi buyar bagai buih di pinggiran pantai. Mereka berdua telah sampai di ujung kisah.
Terhempas. Bagai harimau yang kuliti mangsanya dengan arogansi kuasanya. Tapi bukan koyak yang sakit tergigit pada tubuh yang menganga luka. Justru kerinduan dari tubuh yang lama tak di sentuh. Berahi yang menjalar bagai air.
Tidak ada lagi coitus interuptus. Sebagaimana itu terjadi pada Sidri. Kini dengan Telaga, seolah Putu Sarma ingin menguraskan apa yang tersimpan pada kantung kemihnya. Menguras habis di tubuh Telaga.
Sperma yang memancar dari makhluk bodoh yang terjebak pada liang yang menunggu basa asam sebagai nutrisinya. Vagina sang penghisap. Tak hanya sekali hingga penolakan ’jangan’ itu kini, berubah menjadi ajakan.
Baca juga: Anak yang Ditelan Telaga
Seperti pucuk dicinta ulam pun tiba. Juga, suasana yang mendukung pada gelaran senggama yang pernah terpending karena si kecil tiba-tiba muncul. Itu beberapa tahun yang lalu. Kini, anaknya Telaga itu entah ada di mana.
Mungkin sepulang sekolah ia tidak langsung pulang ke rumah. Dan waktu seolah miliki sejarahnya tersendiri. Bagaimana hasrat lama mereka bertemu di sebuah hari di masa kini.
Masa itu baru saja berlalu sampai lupa waktu (berahi yang mengombak menggulung kesadaran diri sampai beberapa kali, beberapa jam mereka berpagutan sampai di tenaga yang terakhir).
Kuda pejantan itu terlentang di sisi Telaga. Beberapa saat mereka bersisian dan saling memandang. Lalu, tergelak tawa (dan Putu Sarma yang memulai bicara).
Putu Sarma memandang Telaga dalam pancaran kepuasan seolah dendam pada yang hilang terbayar lunas. Inilah yang menghuni kepala Putu Sarma. Diputarnya kaset memori Telaga.
”Dulu, tiang pernah bilang sendiri saat Ida masih menari,...(jemari Telaga menutup bibir Putu Sarma. Awalnya Telaga hendak protes bahwa sekarang ia bukanlah seorang bangsawan lagi. Ia bukan Ida. Ia kini sama seperti dirinya, seorang Sudra. Tapi Telaga urung protes. Ia mainkan jemarinya mengusap wajah Putu Sarma, naik ke hidungnya yang mancung lalu mengusap ke keningnya),...
Teruskan, bli, ceritanya!' Pinta Telaga.
Putu Sarma melayang diperlakukan romantis seperti itu. Ia tatapi wajah Telaga dalam kepuasan seorang pemburu. Ia mengulangi lagi kalimatnya dari awal. ”Dulu tiang pernah bilang sendiri saat Ida masih menari. Tiang akan memburu cinta Ida sampai napas yang terakhir. Ternyata, hari ini ucapan tiang itu terbukti. Tubuh Ida yang dulu mempesona telah tiang sentuh sampai di napas yang terakhir!”
”Menari?” (Telaga terhenyak seperti mesin waktu, sejarah itu disentakkan seketika di pupil mata. Ia yang saat itu masih sebagai Brahmana dan memakai nama Ida Ayu Telaga. Kini, ia hanya sosok rongsokan sebagai Sudra. Tanpa pekerjaan dan terbelenggu kebencian mertua). Ia seperti pemberontak tulen.
Dulu, memutuskan kawin dengan seorang Sudra dan melepaskan kemapanan hidup di Griya. Dan lelaki kedua yang barusan mengawininya juga seorang Sudra (suami dari iparnya sendiri. Sidri, teman masa kecilnya telah ia khianati dan badai itu telah ia taburkan). ”Tiang juga tahu bli Putu menikahi Sidri tidaklah dengan hati. Bukankah begitu?”
Dulu tiang pernah bilang sendiri saat Ida masih menari. Tiang akan memburu cinta Ida sampai napas yang terakhir
***
Semakin mereka bermain di pasir cinta. Debur ombak semakin kencang menggoyang lalu, menggulung mereka. Putu Sarma sadar itu. Maka sebelum ketahuan atas akal bulusnya bahwa, ia telah menjauhkan mertuanya itu dari rumahnya sendiri. Dan hasrat cintanya masih tinggi dalam gelora yang membakarkan biji pelirnya.
Ia memutuskan menyewa warung Luh Jinggan dengan bayaran sewa yang tinggi. Mereka tinggal di situ, bercinta seharian melebihi jadwal makan 3 kali sehari. Sementara anaknya Telaga telah lebih dulu ia titipkan di sanggar tari dan tinggal di situ dengan senang hati. Sebagaimana bakat bapaknya yang bisa luluhkan hati ketujuh isterinya. Begitu juga dengan Putu Sarma.
Ia bermain petak umpet dengan Sidri isterinya. Dan Telaga yang maklum Putu Sarma melakukan itu.
Ini petualangan Telaga kedua yang memberontak atas takdirnya.
Dulu ia lemparkan gelar kebangsawanan, seperti melempar sampah ke pinggiran. Nyaris tanpa beban. Benarkah atas nama cinta? Berahi terkadang sembunyikan motif itu. Lalu kini bersama Putu Sarma. Mereka telah sama-sama berdiri dalam status yang sama sebagai seorang Sudra.
Adakah bedanya gelaran tubuh dalam selimut berahi, saat sebagai Sudra dan saat sebagai Brahmana? Mereka telah bertemu sebagaimana api yang membungkus sekam. Telaga yang menangkap api yang mendekat pada sekam saat kobarannya besar membakarnya. Hingga esok harinya. Esoknya lagi dan hari berganti minggu dan bulan. Telaga terlambat datang bulan. Muntah-muntah. Putu Sarma tahu itu, tapi ia sengaja melarang Telaga pergi ke bidan. Katanya, untuk surprise pada dirinya sendiri. Karena Sidri isterinya tidak juga memberinya anak.
***
Warung Kopi
Tiga bulan berselang. Putu Sarma pergi ke pasar di suatu hari. Telaga menginginkan buah berwarna ungu. Ia tidak tahu namanya. Katanya datang keinginan itu dari tabir mimpinya. Putu Sarma pun pergi ke pasar tradisional. Karena menurut Telaga, buah itu tidak akan ia temukan di pasar modern. Ia pun pergi ke sana dengan riang. Karena keinginan Telaga adalah, suara panggilan dari calon anaknya sendiri. Tapi ia telah menghabiskan waktu dua jam lebih sampai kepalanya pusing. Saat ia patah hati mencari buah itu, hujan lebat tiba-tiba datang. Dalam lari kecil-kecil menuju sebuah warung terdekat. Sebuah percikan deja vu berkilasan pada perasaannya.
Mula-mula. Langit mendung yang memayungi bumi Kelungkung itu ia pandangi lama. Karena awan hitam di langit itu seperti membentuk kepala kuda yang sangat ia kenali. Ia berdiri di jalanan itu dengan riang. Lalu, kakinya seolah terseret takdir. Guyuran hujan telah menuntunnya ke sebuah warung kopi yang banyak ditempeli poster dua perempuan cantik : Luh Kerta dan Luh Kerti. Itulah wajah saudara kembar dari adik neneknya Telaga. Ia baru tahu, setelah lama mendengarkan obrolan politik pilkada di warung itu. Mula-mula ia mendengarnya dalam sebuah komentar atas cantiknya dua perempuan dalam poster itu.' Mereka kan kembar!' Jawab temannya.
Sebuah wajah penuh kejut tergambar. ’Oh, ya? Jadi dua saudara kembar menjadi calon di pilkada?’
’Iya! Yang lakinya juga adalah 'Paman dan Ponakan'. Mereka sama-sama berbagi kelamin. Paman menikahi adik dan Ponakan menikahi kakaknya dan kini, mereka bermain drama politik kekuasaan. Mereka menukar pasangan di pemilukada. Bukankah itu lelucon sesungguhnya? Siapa pun yang terpilih di antara dua calon kepala daerah bersama wakilnya itu. Ya, sama-sama gak berpengaruh pada keterwakilan pilihan politik warganya. Lagian kan, sudah jamak sekarang. Anak menggantikan posisi bapaknya atau isteri jadi pengganti jabatan suaminya!'
Lalu, meluncurlah sebuah kisah yang selama ini belum diketahui oleh Putu Sarma. Tentang sejarah kelahiran dua perempuan kembar itu yang disimpan puluhan tahun di kepala leluhur mereka. Dan kini, berkembang jadi bisikan cekikikan setelah mereka merangkak dewasa. Mula-mula adalah kisah perkosaan yang menimpa neneknya Telaga. Dan tari bungbung telah selamatkan perut mereka dari kemiskinan yang melilit. Itulah kisah dari calon mertuanya yang sekarang nyaman hidup di Grya.
”Sementara anaknya - Telaga”, ujarnya lagi. Mereka bicara tentang takdir yang dituduhkan menurun dari kelamin neneknya ke anak pertamanya, ke kedua anak kembarnya dan kini ke Telaga. Mereka bersemangat cerita, karena seksualitas selalu menjadi dorongan lebih untuk didengarkan sebagai kebenaran.
Baca juga: Bila Lelah
Kebenaran pertama, bahwa 'Brahmana' sebagai status sosial yang diturunkan pada anak-anaknya, juga menetas sebagai sejarah takdir. Atas retasan kelamin yang tak menutup pada kelas sudra. Pada kakeknya Telaga dari pihak ayah, yang diambil sebagai suami oleh neneknya dan juga ayahnya Telaga sendiri, mengambil Jero Kenanga sebagai isterinya lalu, selingkuhi dua adik kembarnya 'Kerta' dan 'Kerti'.
Seperti hukum karma. Menetas sebagai 'telur takdir' pada jenis percintaan yang sama menyukai kelas sudra. Hingga sampai ke Telaga dan bertemu dengan kelamin dirinya. Putu Sarma tertawa sendiri saat ia merunutkan retasan sejarah yang ia dengarkan secara tiba-tiba itu. Bagaimana Tubuhnya begitu mudah saja menagih retasan sejarah. Saat berahinya beberapa tahun yang lalu tertunda, kini terbalas dengan kelipatan lebih. Telaga kini, telah ada di selangkangannya.
Kapan saja semesta berahi itu memintanya terbentang, layar percintaan begitu subtil bernyanyi di erangan. Lagi dan lagi.
Sampai tanak seperti nasi dan jadilah bayi. Kebenaran kedua, bahwa sudra hanyalah sejarah sebagai sejarah. Secara seksualitas kelas sudra ternyata lebih menarik sebagai sengkarut drama cinta. Tak perlu lagi bukti njlimet. Bagaimana dua perempuan sudra di dalam poster itu telah tunjukkan fakta bahwa, kelas sudra juga diperhitungkan di ranah kuasa. Walau benar, mereka juga telah berganti kelas.
Karena kelaminnya telah menyatu dengan kelas yang lain. Brahmana.
Kini senggama politik kekuasaan telah ikut serta kentalkan - bahwa kelamin bisa cairkan dua dunia yang terpisah. Kelas Sudra dan Brahmana. Seperti juga pada semesta tubuhnya. Putu Sarma menatapnya dingin. Sering terlihat seperti sinisme dan tanpa perasaan! ****Ia pun seketika memiliki niat untuk tidak naif memandang Telaga sebagai akhir petualangan cintanya. Ia bersumpah di dalam hatinya, akan melangkah jauh melebihi capaian jumlah isteri bapaknya yang berjumlah tujuh itu. Senyum iblisnya mengembang seraya memandang lama poster-poster perempuan cantik calon kepala daerah itu.
Bandar Lampung, Januari 2024
Kudanarapadya, nama pena Jaja Suharja, alumnus Fisip Universitas Lampung
Catatan :
*, **, *** , Cerpen ini adalah 'Aprosiasi' dari novelnya 'Tarian Bumi; karya Oka Rusmini. Dalam cerpen ini tokoh-tokoh : Putu Sarma, Telaga dan Sidri 'dikentalkan' - takdirnya ke arah yang lebih substansial. 'Seks',...'apakah seks semata kegiatan tubuh belaka? Sebagaimana Ken Arok yang memburu Ken Dedes dan jadi sejarah!'
****Salah satu sifat tokoh Putu Sarma dalam novel Tarian Bumi – Oka Rusmini