Cendana
Memang, penyesalan selalu datang di belakang ketika kita tak tahu betapa berharganya kesempatan yang harus kita ambil.
Angin bawa pergi air mataku ini
Coba kutahan namun tak berhenti
Mengalir tuk kau yang takkan mengerti.
Minggu, 24 November 2026
Lagu dari pendengung suara Amir menggelegar benar di telinganya. Bukan pula hanya mengguncang telinga, namun juga mengguncang jiwa dan batin dalam dirinya. Lirik lagu syahdu itu, mengingatkan ia pada kenangan manis yang begitu membekas di kehidupannya. Kenangan, yang mengajarkan padanya bahwa tidak semua yang ia inginkan, akan bisa kesampaian. Kenangan, yang menggores luka kebatinan dan kebimbangan pada hati bersihnya.
Hari itu, 14 November 2023
Hari yang cukup istimewa bagi seorang Amir, dan mungkin istimewa bagi yang merayakannya pula. Genap kini usianya 17 tahun. Umur yang diibaratkan adalah fondasi hidup di dunia yang tak kekal ini. Walaupun hari itu adalah hari yang istimewa bagi Amir, dan satu sekolah memberinya selamat—hanya karena ia adalah seorang ketua OSIS—batinnya tetap saja merasa tak terisi dengan betul.
Ada sebuah ruang batin yang hampa dan hilang pada hati bersih Amir. Ruang yang sudah lama tidak pernah ia isi begitu sampai di gerbang SMA Perdana Raya, setahun yang lalu.
Amir, seorang bocah pengecut yang dibesarkan dengan kasih sayang kedua orangtuanya, secara mendadak tanpa diduga menjadi pemimpin dalam organisasi tertinggi di SMA Perdana Raya. Kebetulan yang tidak direncanakan, ketika ia tahu seorang pengecut akan mengendalikan sebuah wadah fasilitator siswa.
Namun, dengan mengambil kesempatan itu, Amir bertekad untuk mengubah kepengecutan yang ia miliki menjadi keberanian yang membara.
Kawan sudah banyak, kepengecutan sudah hilang pula. Namun, apa gerangan hati seorang Amir yang terpandang ini tetap kosong dan hampa seperti beban?
Memang, dalam perjalanannya menjadi nakhoda kepengurusan OSIS, banyak sekali tanggungan. Kritikan pedas tak jarang masuk dengan sangat pedas menuju telinga kanan dan kirinya.
Ia sudah kebal. Ruangan khusus untuk kejadian-kejadian luar biasa tersebut sudah ia siapkan, andaikata ia sangat sakit hati akan tingkah laku ketidakpuasan terhadap organisasi yang dipimpinnya.
Baca juga: Bengkong Penghabisan
Akan tetapi, tetap saja ada suatu hal yang mengganjal. Ia lupa bagaimana rasanya untuk jatuh cinta. Perasaan untuk mencintai gadis pujaan yang tak pernah ia miliki lagi sejak menduduki bangku sekolah menengah lanjutan. Maklum, ketika ia pernah mendekati seorang permata pujaannya, penambang permata itu tidak setuju apabila Amir memikatnya. Lantaslah ia, kemudian menutup dan mengunci dengan rapat pintu romantisisme.
”Gua kenapa ya, Lif? Kok perasaan gua kosong banget dari kemaren tuh,” tanya Amir kepada Alif, sang sahabat tempat ia mencurahkan segala perasaan yang sangat menumpuk dan mengurung dirinya ini.
”Lah, kenapa Bos? Kan lu dah jadi ketua OSIS nih, harusnya lu seneng laah.... Bukannya malah merenung gini.”
“Lu lagi deket sama cewe-kah?” tanya Alif kepada Amir. Menanyakan kepada sahabatnya itu, apakah ia benar sedang dalam upaya pengejaran mencari teman hidup sejatinya.
”Apaan sih. Ya kali gua deket sama cewe, buat apa juga,” jawab Amir dengan nada membantah namun sungguh tertebak.
”Yaelah, bilang aja. Lu butuh cewe, Mir. Serius. Lu ngerasa kosong karena ga ada yang menyayangi lu sepenuh hati dan lu sayangi sebaliknya.”
“Bodo ah, lu ngomonginnya cewe mulu,” timpal Amir.
Dalam obrolan seru dan menyenangkan antara dua sahabat itu, lewatlah seorang gadis memesona di depan mereka melewati lorong kelas. Seorang gadis yang Amir bayangkan menjadi permaisurinya. Namanya pun indah. Cendana. Bak kayu cendana yang harum wanginya lagi indah rupanya. Sang pujaan kemudian berjalan menuju kelas. Amir tanpa sedikit pun mengedipkan matanya. Ia baru mengedipkan matanya ketika bel masuk menggelegar menyadarkannya dari mimpi yang ia bangun bersama Cendana.
”Cantiknya. Memang betul parasnya indah macam namanya,” batin Amir dalam hati.
Amir dengan lekas masuk menuju kelas untuk segera mengikuti pembelajaran pertama hari itu. Dalam menuju bangkunya pun, ia melewati tempat duduk di mana Cendana menempatkan dirinya. Amir dengan sorot mata sekilas melihatnya. Bahkan, hanya dengan sedikit curi-curi pandang, sudah mampu membuat Amir melemah.
Baca juga: Mudik ke Kuburan
Sebenarnya, Amir dan Cendana sudah sempat kenal satu sama lain. Selain sebab berada di dalam satu kelas, mereka pernah berjumpa dan bersua dalam satu kegiatan jurnalistik sekolah. Amir pun sempat beradu kata dengan Cendana, dan di situlah ia kemudian pertama menaruh cinta. Namun, Amir masih merasa sungkan dan menyangkal bahwa ia jatuh cinta kepada Cendana. Bahkan, Amir pun sempat menaruh perasaan cinta kepada orang yang salah sebelumnya.
Lambat laun, Amir mulai merasa bahwa ia memang benar-benar telah diikatkan batin dengan Cendana. Penyangkalan-penyangkalan sebelumnya kemudian ia empaskan. Namun, tetap saja, seorang pengecut cinta itu belum berani untuk menampakkan cintanya di depan gadis pujaannya.
Amir kemudian duduk. Raganya memang berada di bangkunya, tetapi hati dan jiwanya berada di Cendana. Ingin rasanya bagi Amir untuk duduk berdua bersama, sembari mendengarkan penjelasan dari guru mata pelajaran.
Mata pelajaran pertama adalah Sejarah. Amir sangat suka mata pelajaran ini, apalagi dia juga tergabung dalam klub pecinta Sejarah. Banyak sekali novel berkaitan dengan sejarah dunia yang ia koleksi di rumahnya. Baginya, dengan mempelajari sejarah, hidupnya akan mudah dan tenang.
”Selamat pagi, Anak-anak. Tugas Ibu minggu lalu apakah sudah selesai dikerjakan?”
Pertanyaan itu datang dari guru Sejarah, Ibu Rifana. Amir terkejut mengingat tugas tersebut belum ia tuntaskan. Dengan gelisah dan cepat, ia segera meminta bantuan kepada Delia. Delia adalah salah satu murid terpintar di kelas. Kebetulan pula, Delia adalah teman sebangku Cendana.
”Del, gua liat tugas Sejarah yang itu dong,” bisik Amir kepada Delia.
”Males ah, coba lu tanya ke Cendana aja. Dia lebih bener jawabannya,” jawab Delia dengan nada sedikit merengus.
Amir tersentak. Dadanya kemudian berdegup kencang, ketika Delia menyuruhnya untuk bertanya kepada pujaan hatinya. Si pengecut ini bimbang, apakah harus ia bertanya kepadanya? Apa yang akan terjadi ketika ia bertanya kepadanya?
Bagaimana jika Cendana tidak memberi umpan balik yang sama? Bagaimana jika Cendana mengetahui isi hati Amir yang sebenarnya?
Banyak pertanyaan dalam pikiran Amir hanya demi menanyakan sebuah tugas yang belum ia tuntaskan. Kepengecutannya mulai kembali, merasuk jiwa dan sukmanya, hingga ia kehilangan kejantanannya.
”Ya udah Del. Gua kerjain sendiri aja, ga mau gua ngerepotin Cendana,” ujar Amir kepada Delia.
“Ye, giliran Cendana lu pikirin,” timpal Delia.
Dalam batinnya, Amir berdebat dengan dirinya sendiri.
”Apakah keputusan yang aku ambil sudah benar? Mengapa tidak aku ambil kesempatan tadi.?
Memang, sebuah penyesalan selalu datang di belakang ketika kita tidak mengetahui betapa berharganya kesempatan yang harus kita ambil.
Pembelajaran dimulai. Satu demi satu mata pelajaran telah selesai diajarkan oleh insan pendidik yang mulia. Kini, waktunya kepulangan para siswa. Tanpa angin tanpa hujan, Amir berjalan melangkah menuju meja Cendana. Sebuah peristiwa yang sungguh luar biasa. Suatu kesempatan yang besar dia ambil. Ia menawari Cendana untuk menuju ke rumahnya bersama.
Amir menghampiri dan bertanya, ”Na, balik bareng siapa?”
Cendana dengan nada datarnya menjawab, ”Oh, ini gua dijemput. Kenapa emang?”
”Ini gua mau nawarin lu bareng sama gua. Cuma kalau ternyata memang lu udah dijemput, ya udah gapapa. Hati-hati ya.”
Apakah keputusan yang aku ambil sudah benar? Mengapa tidak aku ambil kesempatan tadi?
Kesalahan yang cukup fatal dari seorang Amir. Dia melepaskan kesempatan begitu saja. Andai dia tahu, bahwa Cendana sebenarnya hanya berpura-pura telah dijemput. Andai Amir tahu, bahwa Cendana juga menangkap radar yang Amir pancarkan. Cendana, juga memiliki secuil perasaan yang menancap kepada Amir.
Namun, ia bimbang. Ia belum merasa siap untuk itu. Dia juga masih berusaha untuk lepas dari bayangan masa lalu dengan kekasihnya yang lama. Cendana ingin mengetahui, apakah Amir memang betul seseorang yang Tuhan kirimkan untuknya melupakan masa lalunya.
Cendana, seorang perempuan yang bertalenta. Lagu kesukaannya adalah ”Mawar Jingga”, dan selalu ia putar saat berada di kelas, ketika jam pelajaran sedang kosong. Dia dipandang sebagai seseorang perempuan yang sangat ambisius oleh siswa lainnya di kelas itu.
”SOSIAL A2”. Sebuah papan tertulis demikian di depan pintu masuk kelas.
Kembali kepada Amir, ketika ia merasa bahwa kepengecutannya hadir kembali di tengah-tengah mereka berdua. Amir hanya mengiyakan, dan Cendana pergi dengan rasa penyesalannya pula.
Amir merasa bahwa, ia takkan pernah mendapatkan Cendana. Dalam batinnya, ia bertanya-tanya apakah ia akan mendapatkannya. Begitu pula Cendana, apakah sanggup ia mendapatkan Amir, seseorang yang sering dielu-elukan?
Keduanya tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Dua sejoli yang sama-sama kebingungan. Sama-sama, tak bisa mengungkapkan perasaannya satu sama lain. Sama-sama, bimbang dan kehilangan arah jalan mereka.
Amir, makin lama makin tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan dalam kepalanya. Sedangkan Cendana, tenggelam dalam kebimbangan dan kebingungannya. Tak kan ada jalan keluar yang ditemukan dari kedua insan manusia ini.
Detik menjadi menit, menit menjadi jam, dan jam menjadi hari. Tidak ada perkembangan yang berarti. Biarpun, Amir sudah berusaha semaksimal mungkin untuk berhubungan dengan Cendana, umpan balik yang ia dapat sangat kering. Di lain sisi, dengan kebimbangannya, Cendana belum merasa siap apabila berkomitmen dengan Amir. Cendana sudah memberi sinyal ia sungguh mencintai Amir, tanpa Amir ketahui. Tetapi, dengan interaksi yang minim, Amir semakin menjadi pengecut saja. Pengecut, hingga tidak memiliki nyali sama sekali.
Bahkan, ia kemudian sering menghindar ketika berdekatan dengan Cendana, karena ia merasa Cendana tidak pernah menganggapnya lagi. Berbicara saja tidak pernah. Bagaimana ia mampu mengungkapkan perasaannya?
Di satu sisi, ketika Amir mulai menjauh, Cendana merasa bahwa Amir tak lagi memberikan sinyal cinta kepadanya.
Baca juga: Ludah Bertuah
Keadaan hancur antara dua insan malang ini, kemudian ditambah dengan kedatangan seseorang dari masa lalu Cendana. Amir semakin terpojok dalam keadaan ini.
”Alif, gua mau nanya dong,” ujar Amir kepada Alif yang sedang berada di pinggiran kelas.
”Menurut lu, apa gua harus ngungkapin perasaan gua ya?”
”Cie, ke siapa tu?” timpal Alif dengan nada sedikit mengejek.
”Cendana, Lif. Gua udah suka sama dia dari lama. Tapi, gua rasa, dia ga mau sama gua...,” ujar Amir.
”Kadang di satu sisi, dia terkesan mau sama gua. Tapi, di sisi yang lain dia kaya ga mau...,” sambung Amir.
”...Jujur Lif, gua walaupun kesannya keliatan deket dan ngobrol sama dia, itu semua kaya ga ada umpan balik....”
”...Semuanya ya gua kaya tanya jawab.”
”Hmm, berat juga Mir. Kalo boleh gua jujur...,” jawab Alif yang kemudian tiba-tiba dipotong oleh Amir.
”Kenapa, Lif?”
”Gua saranin, lu langsung saja tembak dia. Kita ga tahu, kapan kesempatan itu akan datang lagi.” ”Lagi pula ya, daripada lu menyesal ga nembak, lebih baik lu tembak sekarang.”
”Hmm, ide lu bagus juga, Lif,” balas Amir dengan napas sedikit lega. ”Coba, nanti gua minta ketemu.”
”Nah, bagus. Semangat ya Mir,” jawab Alif yang turut menyemangati Amir.
Dengan penuh semangat serta keyakinan yang kuat, Amir mengabari Cendana untuk bertemu di sebuah taman melalui pesan singkat. Pesan itu tak dibalas, namun tak menyurutkan semangatnya untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini Amir pendam.
Amir kemudian menuju taman tersebut, hanya untuk mengetahui bahwa Cendana sedang berada di samping pria lain. Ya, Amir terlambat. Perasaan itu kini tak bisa ia ungkapkan. Dengan penuh perasaan yang campur aduk melihat pujaan hatinya bersama dengan orang lain, Amir kemudian duduk. Duduk, tanpa berkata apa pun.
Ia kemudian pulang dengan tangan hampa. Cendana, pujaan hatinya, yang takkan pernah sampai, kapan pun Amir berusaha.
Minggu, 24 November 2026
Kembali dalam dunia kenyataan Amir. Kini, ia tak pernah tahu apakah Cendana benar-benar memiliki perasaan cinta yang sama dan murni dengannya. Yang ia dapatkan, hanya sebuah surat curhatan Cendana, berisi lagu ”Mawar Jingga” yang diberikan kepadanya.
TAMAT
Argianto Wasthu Aulya, lahir di Bogor, Jawa Barat. Pelajar SMA Negeri 2 Kota Bogor.