Anak yang Jadi Pelaku Video Asusila Dikembalikan kepada Keluarga
BANDUNG, KOMPAS — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise mengatakan, tiga korban anak-anak pada kasus eksploitasi anak dalam pembuatan video asusila anak di Kota Bandung, Jawa Barat, akan diupayakan dikembalikan kepada keluarganya.
Hal itu dimaksudkan agar korban tetap dekat dengan orangtua mereka ataupun anggota keluarga lain sehingga hubungan keluarga itu tidak terputus.
”Seusai korban menjalani program pemulihan traumatis, mereka akan diupayakan dikembalikan kepada orangtua atau keluarganya. Mereka diharapkan juga bisa melanjutkan sekolahnya. Namun, apabila orangtua mereka juga berhadapan dengan hukum, akan diupayakan mereka dapat diasuh dengan tetangga dekatnya. Namun, jika tidak memungkinkan, negara akan mengambil alih dengan menempatkannya ke rumah perlindungan atau panti asuhan,” kata Yohana Susana Yembise seusai bertemu dengan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Irjen Agung Budi Maryoto di Bandung, Senin (15/1).
Yohana berkunjung ke markas Polda Jabar di Jalan Soekarno Hatta, Bandung, untuk memastikan proses penegakan hukum terhadap pelaku eksploitasi anak itu, juga program pemulihan psikis terhadap para korban.
Kementerian PPPA sangat tertampar dengan kasus eksploitasi anak yang diungkap Polda Jabar setelah video asusila anak itu viral pada 4 Januari. Ironisnya, di antara tersangka terdapat ibu kandung korban yang malah mendorong anaknya terlibat dalam video asusila tersebut.
Dalam kasus itu, polisi sudah menangkap 6 tersangka. Mereka adalah FA, SM sebagai perekrut pemeran perempuan; serta APR dan IM sebagai pemeran perempuan dalam video, sekaligus perekrut anak; SUS dan HER, ibu kandung para korban; serta tiga korban DN (9), SP (11), dan RD (9).
Setelah pengungkapan kasus eksploitasi anak itu juga, terungkap pula kasus kekerasan seksual terhadap 11 santriwati yang berusia 15-17 tahun di lingkungan pesantren di Desa Cihanjuang, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, dan Desa Maruyung, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung.
Berdasarkan data Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar tahun 2017, kasus kekerasan pada anak relatif tinggi, tercatat 232 kasus.
Rincian kasus itu, 164 kasus (70,69 persen) merupakan kasus kejahatan seksual terhadap anak, 18 kasus (7,76 persen) pembuangan bayi, pembunuhan 13 kasus (5,6 persen), dan penganiayaan 13 kasus (5,6 persen).
Kasus lainnya adalah tawuran 8 kasus (3,45 persen), penculikan 10 kasus (4,31 persen), pencurian 2 kasus (0,86 persen), penelantaran 2 kasus (0,86 persen), perundungan 1 kasus (0,43 persen), dan perdagangan anak 1 kasus (0,43 persen).
Dalam kunjungan kerjanya, Senin kemarin, Yohana juga meninjau kegiatan pemulihan psikis para korban di rumah aman, Bandung, yang dikelola Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jabar.
”Kondisi para korban semakin baik, saya tadi bernyanyi bersama mereka. Kasus ini juga menjadi masukan bagi kami akan pentingnya menjaga kekuatan ekonomi perempuan. Motif dua ibu kandung korban yang menjadi tersangka dalam kasus ini karena dorongan ekonomi,” ucap Yohana.
Agung mengatakan, dengan banyaknya kasus kekerasan anak yang terungkap, hal itu menunjukkan masyarakat kini sudah semakin terbuka dan berani melapor kepada polisi.
”Pencegahan juga bisa dilakukan lebih awal,” ujar Agung.
Sementara itu, Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Jabar Netty Prasetiyani mengatakan, pihaknya selain memberikan pendampingan kepada korban dengan program pemulihan traumatik mereka, juga turut diupayakan akses pendidikan mereka.
”Kami sudah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Jabar untuk memberikan hak pendidikan dan pengajaran bagi mereka lewat unit layanan pendidikan khusus. Usia korban 9-11 tahun, masa depan mereka masih panjang,” kata Netty.
Netty juga menyinggung, pihaknya bersama dinas terkait di lingkungan Pemerintah Provinsi Jabar sedang mengupayakan dibentuk lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA) untuk dapat menampung anak-anak yang telantar atau kehilangan orantua.
”Seperti dalam kasus ini, terdapat dua anak yang ibunya ditahan, dan dua dari tiga korban anak itu putus sekolah. Lembaga seperti ini perlu untuk mengantisipasi seperti karena faktor ekonomi atau para korban yang tidak mendapat pola asuh dan perlindungan dari orangtuanya,” ucap Netty.