Pemerintah Diminta Serius Bangun Lingkungan Ramah Anak
Oleh
Adi Prinantyo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Senin (13/8/2018), meminta pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap pembentukan lingkungan ramah anak di lokasi gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Intervensi diperlukan agar kebutuhan dan hak pendidikan anak yang terdampak gempa, tidak hilang.
Gempa Lombok pada 29 Juli dan 5 Agustus 2018, telah mengakibatkan 660 sekolah rusak. KPAI mengimbau pemerintah memberikan perhatian bagi penyelenggaraan sekolah darurat dengan pengadaan, distribusi, dan pemasangan tenda kelas darurat di semua sekolah yang terdampak.
“Anak-anak korban gempa harus terpenuhi haknya atas pendidikan. Pemerintah jangan mengacu pada batas penetapan kondisi darurat yang akan berakhir pada 11 Agustus 2018,” kata Komisioner KPAI Bidang Sosial dan Anak dalam Situasi Darurat Susianah Affandy di kantor KPAI, Jakarta Pusat.
Menurut dia, mengingat perlu waktu lama untuk membangun sekolah, maka penyelenggaraan sekolah darurat harus melibatkan banyak sektor, termasuk partisipasi masyarakat. Kebutuhan tenda untuk kelas darurat, terdata sebanyak 278 buah, berikut 278 perlengkapan belajar.
KPAI juga meminta agar Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyediakan tenda yang selama ini dipakai untuk pengungsi, agar dapat juga digunakan sebagai tenda kelas darurat.
Susianah mengatakan, harus ada distribusi secara merata di perlengkapan sekolah, sarana bermain, sarana dan prasarana belajar. Ditambahkannya, kebutuhan dasar anak seperti sandang, pangan, dan papan, serta kesehatan dan pendidikan harus dipenuhi oleh pemerintah (pusat dan daerah). Mengingat, proses rehabilitasi dan rekonstruksi memakan waktu.
Ke depan, terkait pembangunan sekolah, pemerintah harus melakukan penilaian kelayakan bangunan sekolah. Dalam temuan KPAI, orangtua apalagi anak-anak sekolah takut keluar rumah serta mendekati bangunan yang terdampak gempa.
Penilaian kelayakan bangunan sekolah sangat penting bagi penyelenggaraan pendidikan darurat bagi anak-anak korban gempa. Penilaian kelayakan bangunan juga nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan rehab rekonstruksi pasca gempa.
Dampak gempa di Lombok menyebabkan anak-anak yang tinggal di pengungsian dalam waktu lama akan membuat mereka merasa bosan dan jenuh. Susianah mengatakan, pemerintah harus menyediakan ruang sahabat anak di pengungsian agar dapat digunakan sebagai ruang akifitas anak seperti bermain, olahraga, dan ruang rekreasi,” katanya.
KPAI juga berfokus pada pelibatan guru garis depan (GGD) dalam penyelenggaraan layanan dukungan psikososial (LDP) bagi siswa dan sekolah terdampak. Guru-guru yang tergabung dalam GGD harus diberi pelatihan layanan psikososial yang nantinya dapat diimplementasikan di sekolah-sekolah terdampak. GGD juga diharapkan aktif dalam mengampanye anak kembali ke sekolah.
Selain itu, pemerintah tentunya harus memastikan sekolah darurat yang didirikan itu, aman bagi anak. Pelibatan GGD juga harus didukung penuh oleh pemerintah dengan menyediakan ruang konseling keluarga. Ruang konseling ini berfungsi sebagai ruang edukasi perilaku hidup bersih dan sehat, serta pusat trauma healing bagi anak-anak dan keluarga yang terkena dampak gempa. (Aguido Adri)