Sebagai kesenian tradisional, kesenian kuda lumping di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, harus berubah dan mengikuti perkembangan zaman. Perubahan antara lain bisa dilakukan dalam hal kostum penari dan tiruan kuda yang digunakan. Perubahan perlu dilakukan demi memenuhi permintaan pasar sekaligus agar kesenian ini tetap menarik perhatian banyak orang.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Sebagai kesenian tradisional, kesenian kuda lumping, di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, harus berubah dan mengikuti perkembangan zaman. Perubahan itu antara lain bisa dilakukan dalam hal kostum penari dan tiruan kuda yang digunakan. Perubahan perlu dilakukan demi memenuhi permintaan pasar sekaligus agar kesenian ini tetap menarik perhatian banyak orang.
Supriwanto, salah seorang perajin tiruan kuda di Desa Dlimoyo, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, mengatakan, sejak empat tahun lalu dirinya sering menerima permintaan tiruan kuda dengan beragam variasi warna dan motif gambar.
Untuk warna, misalnya, menurut dia, sebagian konsumen saat ini meminta tiruan kuda diwarnai dengan warna-warna terang dan mencolok, berbeda dengan warna tiruan kuda pada masa lalu yang hanya terdiri dari hitam, putih, dan abu-abu.
”Banyak konsumen sekarang memilih warna-warna terang, seperti merah, hijau, bahkan pink (merah jambu),” ujarnya, Jumat (26/7/2019).
Konsumen pun, menurut dia, saat ini tidak cukup puas dengan satu warna belaka. Terkadang ada yang meminta warna di satu sisi berbeda dengan sisi lainnya.
Tidak hanya itu, permintaan juga makin beragam pada motif yang digambar di tiruan kuda. Jika sebelumnya cukup hanya memakai beragam motif batik, sekarang ini sejumlah konsumen juga meminta ada lukisan tokoh-tokoh animasi, seperti Hello Kitty atau Doraemon.
Tidak cukup hanya gambar, terkadang ada pula konsumen yang meminta agar fotonya ditempel di tiruan kuda.
Terkadang, menurut dia, ada sejumlah konsumen yang ingin menunjukkan eksistensi atas barang miliknya, dengan meminta ada gambar wajah dirinya di tiruan kuda.
”Tidak cukup hanya gambar, terkadang ada pula konsumen yang meminta agar fotonya ditempel di tiruan kuda,” ujarnya.
Usaha kerajinan yang dijalankan Supriwanto adalah usaha kerajinan tiruan kuda yang diwarisi sebagai usaha turun-temurun yang sudah dijalankan kakeknya sejak 1931. Dia merasakan betul ada perubahan selera pasar karena sebagian tiruan kuda yang diproduksi oleh kakek dan ayahnya juga masih ada yang disimpannya.
Supriwanto menyadari dirinya berpotensi dikritik oleh pemerhati budaya karena produk tiruan kuda buatannya sangat jauh dari ”pakem”, sangat berbeda dengan tiruan kuda pada masa lalu. Namun, dia mengaku tidak bisa berkelit karena dirinya harus melayani permintaan pasar.
”Kami tidak mungkin bertahan dengan gaya konvensional karena kami juga harus memenuhi permintaan, dan nantinya juga mendapatkan uang dari pelanggan. Kami, perajin, tetap harus mengutamakan keuntungan sehingga mendapatkan penghasilan,” ujarnya.
Terlalu sederhana
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Temanggung Wara Andijani mengatakan, kostum penari kuda lumping memang harus berubah karena kostum penari pada masa lalu terlalu sederhana.
”Jika tetap dipertahankan, seperti kostum pada masa lalu, kesenian kuda lumping menjadi kurang menarik ditonton,” ujarnya.
Wara mengatakan, kreativitas atau perubahan juga bisa dilakukan pada tiruan kuda yang digunakan. Namun, pihaknya menentang keras ada perubahan dalam hal gerakan dan musik.
”Mulai tahun ini kami melarang pentas kesenian kuda lumping yang mencampurkan banyak ragam gerakan dan musik dari kesenian lain, seperti leak ataupun tari barong dari Bali,” ujarnya.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Temanggung Didik Nuryanto mengatakan, selama ini dirinya sering menerima protes dari rekan sesama aparatur sipil negara (ASN) dan seniman di Bali. Mereka keberatan kesenian kuda lumping Temanggung memakai gerakan dan musik dari kesenian di Bali.
Mulai tahun ini kami melarang pentas kesenian kuda lumping yang mencampurkan banyak ragam gerakan dan musik dari kesenian lain, seperti leak ataupun tari barong dari Bali.
Alasannya, permainan musik dan gerakan tari tersebut dilakukan dengan sembarangan, padahal di daerah asalnya di Bali setiap irama musik dan gerakan tari sarat dengan muatan spiritual dan makna luhur tertentu.