Awal Februari 2017, Santhi menelusuri Pasar 8 Alam Sutera, Serpong, Banten. Ia mengatakan selalu penasaran setiap memasuki pasar tradisional, termasuk yang sudah dipoles menjadi pasar modern. Buat Santhi, setiap pasar memiliki karakteristik tersendiri. Ini bukan soal bangunan pasar yang jelek atau bagus, becek atau kering, rapi atau amburadul, melainkan soal kekayaan yang ada di setiap pasar.
”Saya pernah blusukan ke pasar di Pangkalan Bun. Batang keladi untuk dibikin sayur banyak dijual di sana,” ujar Santhi. Ketika blusukan di sejumlah pasar di Papua, ia menemukan buah avokad yang rasanya lebih manis dari kebanyakan avokad di Jawa.
”Mungkin tanah di setiap daerah karakteristiknya berbeda sehingga menghasilkan buah yang rasanya berbeda,” tambah Santhi yang berlatar belakang food scientist alias ilmuwan makanan.
Sebelum Pasar Senen terbakar, Santhi sering blusukan ke sana dan menemukan bumbu-bumbu khas masakan Batak, seperti andaliman. Di Pasar Tebet, ia mudah menemukan aneka jenis rebung. Di Pasar Tomohon, Kota Tomohon, Sulawesi Utara, ia menemukan aneka daging hewan yang tak lazim dijual, seperti daging ular piton, monyet, tikus, anjing, anoa, babi hutan, dan kucing.
Bahan-bahan khas di setiap pasar lantas ia kumpulkan, catat, dan potret. Sepulang blusukan, ia membenamkan diri di depan komputer untuk memindahkan file-file foto dan aneka catatan. Setelah itu, ia mengidentifikasi nama-nama bumbu, sayur-mayur, buah-buahan, daging, atau makanan yang sudah jadi. Nama yang diberikan termasuk nama lokal. Kecombrang, misalnya, di Jawa Barat lebih dikenal dengan nama honje. Di daerah lain disebut kincong.
Modal pengetahuan
Santhi mengatakan sejak kecil sering diajak blusukan ke pasar oleh ibunya. Karena itu, ia merasa akrab dengan pasar tradisional, termasuk aroma tak sedap dan lantainya yang becek. Setiap menjejakkan kaki ke pasar tradisional, ia merasa bahagia. Itu sebabnya, kebiasaan blusukan ke pasar terus dilakukan hingga dewasa.
Enam tahunan terakhir, Santhi bahkan sangat intens blusukan ke pasar tradisional hingga ke luar Jawa dan mancanegara. Dari blusukan itu, ia mencatat 1.039 pasar tersebar di sejumlah kota besar di Indonesia. Masing-masing memiliki karakteristik dan kekayaannya sendiri.
Pengetahuan tentang bahan-bahan yang dijual di pasar tradisional sebagian ia manfaatkan untuk bahan penulisan buku Leaf It to Tea dan Teh dan Teh Herbal, Sebuah Warisan Budaya.
Sebagian lagi ia gunakan untuk mengembangkan kebun herbal seluas 7 hektar di Bandung. Ia menyeleksi aneka tanaman herbal dan bumbu untuk ditanam di kebun bernama Bumi Herbal Dago milik keluarga Presiden BJ Habibie. Setelah 11 tahun dikelola Santhi, saat ini tercatat ada 450-an koleksi tanaman herbal dan aneka bumbu yang ditanam di kebun tersebut.
Kebun herbal itu terbuka untuk umum. Masyarakat bisa datang, melihat, memegang, dan menggali aneka pengetahuan tentang aneka tanaman herbal di sana. ”Jangan sampai generasi mendatang hanya tahu kekayaan herbal kita dari gadget dan buku, tapi tidak merasakan langsung tanaman yang sesungguhnya,” ujarnya.
Diplomasi kuliner
Dua-tiga tahun terakhir, Santhi mendorong gerakan Aku Cinta Masakan Indonesia (ACMI). Lewat ACMI, ia menghimpun pencinta kuliner Nusantara di dalam dan luar negeri. Di Indonesia saja, jaringan ACMI telah tersebar di 34 provinsi dan 400-an kabupaten. Ada pula jejaring yang terbentuk di sejumlah negara.
”Belum lagi warga negara Indonesia yang sedang sekolah atau sudah menikah dengan warga negara asing serta chef yang berada di luar negeri,” ucap Santhi.
Semakin banyak orang yang mau mempromosikan dan memperkenalkan masakan Indonesia, semakin baik. Berarti, semakin cepat pula masakan Indonesia dikenal di seluruh dunia. Buat Santhi, setiap orang bisa menjadi duta masakan Indonesia. Ini yang dia sebut diplomasi kuliner.
Untuk mendekatkan kuliner Nusantara dengan penggemarnya, ACMI kerap membuat acara kuliner. Setiap bulan ada saja kegiatan yang dibuat, termasuk blusukan ke pasar bersama-sama. Tamu-tamu asing Santhi juga kerap diajak mencicipi masakan Nusantara. Ia pernah mengajak tamu dari Namibia ke pasar tradisional untuk makan makanan khas Batak.
Santhi pada akhirnya menemukan titik temu antara pasar tradisional, kekayaan bahan makanan Indonesia, keragaman kuliner, dan diplomasi. Lewat kuliner, ia berharap orang menemukan jejak kebudayaan dan peradaban Indonesia.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.