Pencarian Asal-usul
Lion mendapat enam nominasi Academy Awards 2017 untuk kategori Film Terbaik (Iain Canning, Emile Sherman, Angie Fielder), Aktor Pendukung Terbaik (Dev Patel), Aktris Pendukung Terbaik (Nicole Kidman), Musik Orisinal Terbaik (Dustin O’Halloran dan Volker Bertelmann), Penulisan Skenario Adaptasi Terbaik (Luke Davies), serta Sinematografi Terbaik (Greig Fraser).
Saroo menulis buku yang mengisahkan pengalamannya saat berusia 5 tahun kehilangan keluarganya di Khandwa, Madhya Pradesh, India. Pada usia semuda itu, Saroo yang berasal dari keluarga miskin kerap ikut kakaknya, Guddu, yang berusia 12 tahun untuk mencari makan.
Suatu hari dia mengantuk, kemudian tertidur di gerbong kereta api yang kosong. Saat dia terlelap, kereta api melaju menjauh. Tanpa sadar, dia terpisah dari Guddu. Saroo kecil pun terdampar di Stasiun Howrah, Kalkutta, 1.600 kilometer dari rumahnya.
Berbulan-bulan dia menggelandang dan berusaha untuk pulang. Namun, dia tak tahu harus ke mana. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Saroj Sood yang mengelola Indian Society for Sponsorship and Adoption. Saroo berjumpa dengan pasangan suami istri warga Australia, John dan Sue Brierley.
”Pilihannya hanya ikut mereka ke negara asing atau tetap tinggal di India untuk mencari ibu saya. Jika memilih tinggal, berarti saya harus siap dengan pencarian yang sulit. Mungkin terus menjadi gelandangan dan akhirnya malah berakhir di penjara,” kata Saroo kepada Kompas.
Memilih ikut orangtua angkat berarti dia terbang ke negeri yang belum dia tahu. Akan tetapi, hidupnya akan lebih aman dan terjamin. Dia akan memiliki ayah-ibu, bersekolah, dan tak perlu mencari makan sendiri. Dia akan punya waktu untuk menyembuhkan fisik yang lelah dan mentalnya yang trauma karena hilang dari keluarganya.
Kedua orangtua angkatnya menetap di Hobart, Tasmania. Walaupun menjadi kota tertua kedua di Australia sekaligus kota ke-12 terbesar di benua tersebut, Hobart bukan kota dengan jutaan penduduk. Populasi kota ini relatif kecil, sekitar 200.000 jiwa.
”Kota yang indah, nyaman, dan aman. Sangat cocok untuk membesarkan anak karena alamnya bersih, luas, dan memiliki pantai nan cantik. Begitu pula orang-orangnya yang dekat, saling mengenal, tetapi tidak ambil pusing dengan urusan orang lain,” ujar Saroo yang tiba di Australia tahun 1987.
Ketika John dan Sue membawa pulang anak angkat yang berbeda secara fisik dengan lingkungan, tiada yang bertanya atau usil ingin tahu. ”Tentu saja mereka tahu saya pasti anak adopsi karena ayah ibu kulit putih, sedangkan saya gelap begini. Mereka tidak mempertanyakan sama sekali, hanya menerima saya dengan tangan terbuka,” lanjut Saroo.
Seperti anak-anak lain, Saroo pun bersekolah. Semasa di India dulu, Saroo belum pernah sekolah, tetapi dia paling suka mendatangi sekolah di daerahnya. Dia sering berdiri di depan gerbang sekolah menyaksikan anak-anak lain dari keluarga lebih mampu datang ke sekolah dengan riang dalam seragam mereka. Saat waktu istirahat tiba, Saroo kembali lagi ke depan gerbang sekolah untuk melihat para siswa bermain. Begitu pula ketika waktu sekolah usai, Saroo kecil datang ke gerbang untuk melihat anak-anak pulang.
”Saya bukan siswa paling cemerlang, rata-rata saja, he-he. Namun, saya selalu bersemangat ke sekolah dan senang mempelajari hal baru. Bagi saya, tidak penting menjadi nomor satu di kelas karena saya tahu banyak orang yang dulu mati-matian mengejar peringkat akhirnya tidak jadi apa-apa,” tutur Saroo.
Dia melanjutkan studi ke Australian International Hotel School, Canberra. Setelah itu, ia menjalankan usaha orangtua angkatnya di bidang bisnis penyediaan alat berat untuk kegiatan infrastruktur, kelautan, dan pertambangan.
Persimpangan jalan
Ketika usianya merambah ke angka 25 tahun, Saroo mulai bertanya kepada diri sendiri, hendak menjadi apa dirinya dan apa yang ingin dilakukannya dalam hidup ini. ”Tiba-tiba saya ada di persimpangan jalan. Kuliah sudah selesai, bekerja juga sudah, lantas apa lagi. Banyak orang pada usia itu memutuskan untuk menikah, kemudian mempunyai anak. Sebagian lagi memutuskan untuk pindah ke kota atau negara lain dan hidup di sana. Apa yang sebenarnya saya inginkan?” tanya Saroo gundah.
Dia mengakui, keputusannya untuk mencari sang ibu kandung, Fatima Munshi, bukan datang tiba-tiba. Di bagian terdalam benaknya, selalu ada kenangan akan wajah orang- orang terkasih yang dia tinggalkan di suatu tempat di India.
”Saya ingin tahu asal-usul saya, dari mana saya berasal. Batin ini terus mencari. Saya ingin mengerti diri saya. Pencarian ini penting bagi saya untuk menemukan fondasi hidup dan melanjutkan hidup saya. Tanpa ini, hidup saya mungkin akan penuh pertanyaan yang tak terjawab,” ucap Saroo serius.
Saroo pun memulai pencarian dengan berbekal ingatan akan rel kereta api. Dia mencari melalui Google Earth dari laptopnya untuk tahu nama kota-kota yang dilalui jalur kereta api. Dia tidak ingat apa nama daerahnya dulu.
Dia hanya tahu rel dan daerahnya berawalan B. Dia menjelajah internet, mencari kota-kota berawalan huruf B di peta untuk melihat pemandangan yang disediakan satelit. Dia berusaha menggali dalam ingatannya, tengara kota dan arsitektur bangunan yang dia lihat dulu.
Pencarian itu sungguh membuatnya terobsesi. Bahkan, kekasihnya, Lisa, menganggapnya gila. Berkali-kali dia kecewa karena foto suatu daerah berinisial B yang tersedia jauh berbeda dari yang ada dalam kenangannya. Berkali-kali pula dia putus asa dan hampir menyerah karena lagi-lagi menemui jalan buntu.
”Pencarian ini untuk menyembuhkan jiwa dan batin saya,” ujar Saroo yang begitu bersyukur memiliki ibu angkat sehebat Sue Brierley.
Perlu waktu hampir enam tahun bagi Saroo, sampai akhirnya menemukan daerah yang tepat. Suatu malam pada Maret 2011, Saroo melihat stasiun dengan menara air seperti yang dia ingat dulu. Di situ juga ada jalan berbentuk ladam kuda yang dia kenal. Kota itu bernama Burhanpur, padahal dia selalu mengingatnya sebagai Berampur.
Jantungnya serasa berhenti berdetak kala melihat daerah di dekat rel bernama Khandwa dengan jembatan di atas sungai besar tempat dia sering bermain dulu. Terpaku karena gembira, Saroo terus menjalankan kursor dan melihat tempat-tempat yang dia ingat, termasuk area bernama Ganesh Talai dengan jalan-jalan kecil bak labirin dan tembok.
Saroo akhirnya berhasil menemukan rumahnya dulu. Dia gembira dapat bertemu lagi dengan sang ibu dan adik perempuannya, Shekila. Dia mampu membelikan rumah untuk sang bunda dan belasan kali datang ke India.
”Untuk bercakap-cakap dengan ibu, saya memiliki penerjemah. Ibu berbahasa Hindi, sedangkan saya waktu kecil pun belum lancar bicara Hindi. Sekarang saya hanya bisa sedikit bahasa Hindi. Saya sangat beruntung memiliki tiga perempuan hebat, yakni dua ibu plus penerjemah,” tutur Saroo.
Tak lancar berbahasa Hindi ini pula yang membuat Saroo semasa kecil tak punya banyak kesulitan belajar berbicara dalam bahasa Inggris.
Soal makanan pun, Saroo tak terlalu menggemari hidangan khas India. ”Perut saya malah lebih nyaman dengan masakan Indonesia atau Malaysia yang tidak setajam bumbu masakan India. Saya juga suka terasi, loh, he-he,” ujar Saroo.