Setia Dampingi Korban Banjir
Jauh dari hidup berkecukupan, Atep Wahyudin (34) punya segudang peran mulia. Sejak enam tahun lalu, ia setia mendampingi derita nasib pengungsi banjir Kabupaten Bandung setiap musim hujan tiba.
Tubuh kurus Atep masih meringkuk saat ditemui di pengungsian warga di Gedung Inkanas, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (7/3) siang. Topi lusuh menutup muka warga Cigosol, Kecamatan Baleendah, itu.
Kawasan Baleendah, sebelah selatan Bandung, dikenal sebagai kawasan langganan banjir yang tidak pernah mampu diselesaikan pihak pemerintah setempat. Bahkan, terkesan antartingkat pemerintah saling tuding siapa yang paling bertanggung jawab atas derita warga yang tak pernah usai.
Di Gedung Inkanas itu tidak ada kasur empuk yang jadi alas tidurnya. Hanya terpal biru yang ditumpuk berlapis memisahkan dia dengan lantai kotor. Udara dingin yang dibawa hujan di luar gedung sepertinya leluasa menembus kemeja tipis belelnya.
”Kebetulan sedang tidak enak badan. Mungkin terlalu lama begadang. Sudah sembilan hari, saya berada di sini bersama warga korban banjir,” kata Atep setelah dibangunkan temannya.
Atep bukan petugas pemerintah yang bertugas mengurus pengungsi. Namun, penjual cendol itu menjadi tumpuan para pengungsi.
Sejak tahun 2011, ia mengerjakan banyak hal bagi pengungsi. Mulai dari menyebarkan prakiraan cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) hingga membantu warga korban banjir mengungsi tanpa bayaran. ”Saya tulus dan ikhlas melakukannya. Mereka saudara dalam bencana,” katanya.
Ia menunjukkan bukti ketulusannya saat Keisya (4) melintas di depannya. Kulitnya putih dan sehat meski tinggal di pengungsian. Seperti teman sebayanya, Keisya adalah anak-anak korban banjir. Sepanjang hidupnya dihabiskan di pengungsian setiap musim hujan datang.
”Dulu saat ibunya, Ari Anggaraeni, mengandung Keisya, saya bantu bawa ke rumah sakit untuk melahirkan,” katanya.
Kenangannya kembali saat hujan turun di satu sore di Cigosol, empat tahun lalu. Terjadi selama beberapa hari, hujan meluapkan Sungai Cisangkuy, anak Sungai Citarum, hingga 1 meter-1,5 meter. Atep ikut mengantar Ari yang mulai mulas. Usia kandungan Ari hampir sembilan bulan saat itu.
”Banyak yang melahirkan saat banjir datang. Pernah ada yang saya bantu cari rumah sakit waktu banjir, anaknya lantas dinamai Inka, merujuk nama gedung ini, Inkanas,” katanya.
Perjuangan Atep, ia nekat menerjang banjir menuju rumah Ari. Sampai di sana, Ari sudah menunggu di depan pintu bersama ayah dan suaminya.
Tak mampu berjalan sendiri karena banjir sudah semakin tinggi, Atep memapah Ari menembus luapan air sungai yang dingin. Perut buncit Ari tak terlihat tertutup air.
”Saat itu benar-benar sudah terasa bayi akan keluar,” kata Ari, yang saat itu baru berusia 19 tahun. Saat itu, bukan hal mudah mendapatkan tumpangan sampan untuk membawa Ari, si ibu hamil yang akan melahirkan.
”Sekarang relatif lebih aman karena ada polisi yang ikut membantu proses evakuasi,” katanya.
Akan tetapi, melihat Keisya tumbuh sehat dan besar, hatinya seperti teriris. Hingga kini, dia belum bertemu anaknya, Anis Sekarwahyuni. Dilahirkan setahun lalu, Anis tinggal di Garut bersama ibunya. Bahkan, sepucuk foto pun tak ia miliki. Ia tak mendapat izin dari mertuanya bertemu Anis.
Atep tidak tahu persis mengapa keluarga istrinya di Garut tak mengizinkan dia bertemu anaknya. Ia hanya menduga, penghasilannya sebagai tukang cendol tak banyak. Ditambah kebiasaannya menolong korban banjir, dianggap kerap menyisihkan kepentingan keluarga.
”Setelah semua ini selesai, saya akan pulang ke Garut. Sekarang, saya pilih fokus membantu korban banjir,” katanya.
Koordinator pengungsian
Ketergantungan pengungsi di Inkanas pada Atep, yang sebagian besar warga Kampung Cigosol dan Kampung Uak itu, terbilang tinggi. Mulai dari mencari kunci gedung saat hendak diisi pengungsi hingga menghubungi tokoh masyarakat guna meringankan kebutuhan pengungsi.
”Alasan Atep dipilih jadi koordinator pengungsian karena banyak kenal orang penting. Mulai dari polisi, camat, hingga anggota DPRD,” kata Tatang Sumpena (35), warga Cigosol.
”Saya biasa jual cendol di depan kantor Kecamatan Baleendah. Saya banyak kenal orang di sana,” kata Atep.
Salah seorang pengungsi yang resah adalah Lilis Sumiyati (37), warga Cigosol. Sejak 28 Februari atau sudah sembilan hari dia tinggal di pengungsian. Ia datang bersama empat anaknya. Paling bungsu bernama Nafiza, yang siang itu tidur dalam gendongnya. Bayi yang terlihat masih merah itu baru lahir seminggu yang lalu.
”Seperti kakak-kakaknya, ia menghabiskan hari-hari pertama setelah melahirkan di pengungsian. Sulit menata hidup apabila terus begini. Ingin pindah, tetapi mau ke mana,” katanya.
Atep hanya terdiam mendengar keluh kesah itu. Ia tak bisa berbuat banyak. Seperti Lilis, ia juga harus mengungsi karena tempat tinggalnya terendam banjir. ”Rencana tahun ini mandiri jualan cendol sepertinya gagal. Semua bahan dan alat terendam banjir,” kata Atep. Selama ini, dia berjualan cendol menggunakan dana pemilik modal.
Akan tetapi, kedatangan satu per satu pengungsi mulai kembali ke pengungsian menghentikan cerita rencana masa depannya. Pagi hingga siang hari, pengungsi biasanya bekerja atau sekadar menjenguk rumah yang terendam lalu pulang saat sore dan malam.
Suasana dengan cepat penuh sesak. Orangtua melepas lelah di antara baju basah yang dijemur di dalam ruangan lembab itu. Sementara di lantai putih penuh noda, anak-anak duduk bermain seperti tanpa beban.
Riuh pengungsian seperti mengajak Atep bangkit dari duduknya. Ia mulai lagi rutinitas di pengungsian selama enam tahun terakhir. Ia mulai menghitung jumlah pengungsi agar datanya bisa dijadikan acuan pembagian bantuan pangan dan sandang yang adil. Terhitung ada 273 orang memadati aula 140 meter persegi itu.
”Saya akan terus berada di sini selama dibutuhkan. Saya siap bantu,” kata Asep meyakinkan.