Kasih ”Emak” Sepanjang Jalan
”Cuma jadi tambah sering lupa. Dua hari lalu saya bawa motor ke sekolah. Eh, pulang naik becak, ha-ha-ha,” kata Atik Yuliana, Minggu (5/2) sore. Saat itu, Kota Cirebon, Jawa Barat, telah beranjak gelap.
Atik, pembina Perpustakaan Jalanan (Perjal), hari itu melewatkan jadwalnya untuk mendampingi anak-anak di perpustakaan yang dibinanya. Pertemuan dengan sejumlah komunitas untuk kegiatan jambore relawan mengharuskannya urun rembuk.
Perjal yang dibentuk pada Oktober 2016 itu berkegiatan setiap Sabtu dan Minggu. Perpustakaan terletak di Kecamatan Palimanan, sekitar 30 menit dari pusat Kabupaten Cirebon. Perpustakaan itu dilengkapi dengan kurikulum dan pelajaran khusus. Menggambar dan menulis resensi adalah beberapa di antaranya.
”Saya tidak mau Perjal hanya jadi tren semata. Karena itu, saya bikin yang ada kurikulumnya. Jadi, fokus dan bukan hanya untuk meningkatkan literasi,” ungkapnya.
Menurut dia, rendahnya literasi di Indonesia karena upaya pemerintah untuk meningkatkan minat baca belum optimal.
Di Cirebon, usaha untuk meningkatkan minat baca terus dilakukan oleh pegiat literasi. Komunitas, perpustakaan bergerak, tumbuh subur di mana-mana. Namun, menurut Atik, upaya itu harus dibarengi dengan materi yang seimbang.
Pendekatan khusus
Rendahnya minat literasi telah dirasakan Atik sejak dulu. Atik menceritakan kisahnya mengajar di SMP Yappi Palimanan, Cirebon, sejak 2006. Dia mengajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial setiap Senin, Rabu, dan Kamis.
Sekolah ini merupakan sekolah yang dianggap ”buangan” oleh sebagian besar orang. Siswa badung, kurang dalam pemahaman pelajaran, dan lain sebagainya berkumpul dalam satu sekolah. Sejumlah siswa bahkan tidak mampu membaca meski telah menginjak tingkatan sekolah menengah.
Sedikit demi sedikit Atik mengajar dengan pendekatan khusus, termasuk di luar jam pelajarannya. Hasilnya, minat anak-anak untuk berkembang terus terlihat.
Pola pendekatan yang dilakukan Atik tidak tumbuh dengan instan. Sejak pindah dari Solo ke Cirebon, 2006 lalu, Atik telah berhadapan dengan banyak hambatan.
Melihat banyaknya anak yang menjadi pengamen jalanan, dia berupaya untuk mengubahnya. Di bawah kolong jembatan layang Jalan Darsono, Kota Cirebon, dia menghimpun anak-anak jalanan, termasuk anak punk yang sering nongkrong di tempat itu. Bukan usaha yang mudah karena anak-anak tersebut tidak terbiasa dengan orang luar.
”Saya mulai dengan pendekatan personal hingga akhirnya diterima. Setelah beberapa lama melatih membaca dan menggambar, tantangannya beralih ke preman di situ. Saya memang tidak pernah diganggu, hanya diliatin dari jauh. Akhirnya saya pindah ke lokasi lain,” tuturnya.
Hingga saat ini, rumahnya di Ciawi, Palimanan, Kabupaten Cirebon, selalu terbuka bagi siapa saja. Namun, jadwalnya yang sangat padat membuat bukan hal mudah untuk menemui Atik.
Kegiatannya sebagai aktivis di bidang lingkungan cukup padat. Sejak 2013, dia aktif membina siswa, khususnya SMP dan SMA, untuk mencintai lingkungan. Membersihkan lingkungan hingga menanam mangrove adalah kegiatan rutin di Sanggar Lingkungan Hidup tempatnya berkegiatan.
Sepulang dari sekolah, dia juga masih melakukan advokasi terhadap orang-orang yang mengidap kanker. Mendatangi rumah sakit atau mengunjungi rumah penyintas (survivor) kanker terus dilakukannya. ”Melihat orang lain bahagia adalah obat bagi saya. Hal itu membuat hati saya lebih bahagia dan membuat sel kanker dalam tubuh saya terkontrol.”
Stadium 3C
Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-34, tanggal 16 September 2014, Atik terus merasa begah. Berat badannya bertambah. Padahal, pola makannya tidak berubah. Dia merasa ada yang aneh terhadap dirinya. Saat ke dokter, berita buruk itu datang. Kanker ovarium stadium 3C telah merongrong tubuhnya.
Dokter menyarankan dirinya segera dioperasi. Jika tidak, sel kanker bisa dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh. ”Yang terpikirkan saat itu adalah anak dan suami. Tapi, mau tidak mau saya jalani dan akhirnya saya dioperasi beberapa minggu setelahnya.”
Setelah operasi pengangkatan ovarium, kemoterapi juga terus dijalaninya. Di sela-sela aktivitas harian, dia lalu bergabung di Yayasan Lavender dengan tujuan saling membantu dan berbagi motivasi kepada penderita kanker.
Pengalamannya bersama Afif (11) sangat membekas di hati. Anak tersebut mengidap kanker hati stadium lanjut. Meski kondisi badan yang telah menghitam, Afif tetap menunjukkan semangatnya untuk terus belajar. Atik setia mendampingi.
”Sampai dia harus dirawat di Jakarta, dia minta dibawain roti abon. Saya lalu bertemu dan ngobrol dengannya. Sekitar 30 menit saya tinggalkan rumah sakit, dia berpulang. Saya kehilangan Afif, tapi saya bertemu keluarga baru yang terasa lebih dekat. Itu membuat saya tetap bahagia,” ujar Atik.
Meski tetap menjalani kemoterapi dan pengobatan lain, sel kanker di tubuh Atik tidak mau berkompromi. Pada Oktober tahun lalu, dia kembali dioperasi untuk kedua kali.
”Sekarang rambut saya mulai tumbuh lagi,” ucapnya memperlihatkan sedikit rambut di balik hijab merah mudanya. ”Saya menyadari, semuanya harus seimbang antara pikiran, jiwa, dan raga.”
Karena itu, meski tetap aktif di komunitas literasi, advokasi kanker, dan sekolah lingkungan hidup, Atik harus pintar-pintar membagi waktu. Kegiatan yang menyita tenaga mulai dikurangi, seperti kegiatan luar kota atau ikut turun mengambil mangrove.
Hal itu untuk menjaga kondisi tubuh tetap fit dan sel kanker tidak semakin berkembang. Terakhir periksa, sel kankernya berada di angka 185. Angka normal sel kanker harus di bawah 35. Meski demikian, aktivitas dan kepeduliannya terhadap sesama terus berjalan. Pagi, siang, dan sore hari selalu penuh dengan kegiatan. Dia hanya membatasi kegiatan pada malam hari.
”Sampai kapan?” tanyanya memastikan saat ditanya sampai kapan dia akan melakukan kegiatannya. ”Sampai saya tidak ada. Saya berharap anak saya bisa memahami, apa yang ibunya lakukan itu benar.”
Simak salah satu catatan yang ditulisnya, ”Cara bernapas adalah jendela untuk mengetahui kondisi jiwa, pikiran, dan tingkat stres. Mencoba berkomunikasi dengan seluruh anggota badan, berterima kasih, dan memaafkan diri sendiri. Menyayangi semua anggota tubuh dengan menjaga pola makan, pola hidup, pola pikir. Akulah pemilik diriku, aku yang menentukan cara sehatku”.