Melukis demi Darma
Sore itu, Rabu (16/2), I Ketut Soki pelan-pelan bersila melanjutkan sket lukisannya yang hampir rampung. Ia dengan teliti menggoreskan pensil pada kanvas berukuran 100 cm x 75 cm.
Goresan-goresan itu memunculkan imaji orang-orang di pasar, ritual yang dibarengi tari tradisional, keelokan pura Bali, orang-orang di sawah, dan lanskap pemandangan. Semuanya disusun membentuk scene dari bawah ke atas.
Di samping Soki, terdapat lukisan bergambar mirip berukuran 200 cm x 125 cm berjudul ”Potong Padi”. Lukisan itu memakai warna dasar terang yang mencolok seperti hijau, kuning, dan merah. Dia memperkirakan sketnya itu baru rampung menjadi lukisan tiga pekan lagi.
Kadang kala pekerjaan itu kami selingi obrolan. Ketika ditanya tentang usia, Soki tidak tahu persis tahun lahirnya. Dia sempat memperkirakan usianya 78 tahun. Namun, menurut penjelasannya lagi, ketika bertemu Arie Smith tahun 1960, usianya sekitar 12 tahun. Artinya, saat ini usianya tak lebih dari 70 tahun.
Tiba-tiba dia bangkit menunjukkan beberapa piagam yang dibingkai dan menumpuk di salah satu sudut rak di studionya, di Jalan Raya Penestanan, Ubud. Studio yang berada di atas galerinya itu berdekatan dengan rumah tinggalnya. Ketika membuka tumpukan sertifikat itu, mencuat tumpukan uang lembaran seratusan ribu rupiah. Jumlahnya Rp 1,3 juta. ”Ini uang yang saya simpan untuk anak-anak di sini,” ujarnya.
Yang dia maksud anak-anak adalah para pelukis di sekitar rumahnya. Mereka kerap datang ke Soki dan memintanya untuk membeli lukisan karya mereka. Soki selalu tak kuasa untuk menolaknya. ”Kasihan, mereka butuh uang. Kalau bukan saya yang beli, sulit lakunya,” kata Soki.
Lukisan itu lalu dia jual lagi di galerinya dengan harga yang wajar, tidak terlampau mahal dibandingkan saat dia beli dari pelukis aslinya. Misalnya, lukisan yang dia beli seharga Rp 500.000 dijual lagi dengan harga Rp 600.000. Bagi Soki, yang penting bisa menolong orang lain dan mendorong mereka untuk tetap berkarya.
Dalam menjual karyanya sendiri pun Soki kesulitan menjawab jika ditanya harganya. Alasannya sederhana. ”Kalau teman datang, ’Saya hanya punya segini’. Saya enggak bisa ngomong. Namanya manusia. Kalau uang itu biarpun Rp 100.000 atau Rp 1 juta itu tinggi. Tetapi, kalau sampai ada teman pulang tidak bawa lukisan, itu rasanya tidak enak. Makanya, saya tidak bisa menetapkan harga tinggi,” begitu kata ayah tujuh anak ini.
Namun, lain halnya jika calon pembelinya turis asing, Soki berani pasang harga. ”Kalau mereka benar-benar tertarik, bisa lebih dari Rp 10 juta harganya.”
Soki dikenal luas di kampungnya itu sebagai orang yang lembut dan bahkan cenderung pendiam. Dia sangat baik kepada warga sekitar. Rajin membantu saat ada acara-acara adat.
Berkat Arie Smith
Mengenai sikapnya yang baik itu, Soki menjelaskan, hidup kalau tidak berbuat baik akan susah sendiri. Selain itu, dia bisa melukis dan hidup berkecukupan seperti sekarang lantaran kebaikan orang lain, yakni Arie Smith.
Arie merupakan perupa yang juga tentara Belanda. Pada tahun 1960, dia mencari beberapa anak di Panestanan untuk diajari melukis yang kemudian dijuluki Young Artist. Salah satunya Soki.
Soki berkisah, waktu itu usianya sekitar 12 tahun dan masih duduk di sekolah rakyat. Sepulang sekolah, dia biasa membantu orangtua menggembala bebek atau sapi. Sambil menunggu binatang piaraannya makan, dia kerap menggambar di atas tanah. Itu dia lakukan untuk sekadar mengingat-ingat pelajaran di sekolah yang saat itu masih menggunakan sabak—semacam papan tulis kecil.
Ketika tengah menggambar itulah Arie lewat dan memuji gambarnya. Dia lalu menawarkan diri mengajari Soki melukis, tetapi remaja itu tidak berani mengiyakan karena takut dimarahi orangtuanya. Arie lantas meminta izin kepada orangtua Soki.
Sejak saat itu, setiap pulang sekolah, Soki belajar melukis. ”Saya diajari mencampur warna. Misalnya, warna hijau dicampur kuning jadi warna apa. Atau hijau dicampur putih. Dia sangat sabar mengajari,” katanya.
Soki juga diingatkan Arie untuk membuat sket dengan detail. Ini untuk memudahkan pewarnaan. Pelajaran ini yang kemudian membekas dalam karya-karya Soki, khas dengan warna-warna terang, garis yang jelas, serta fragmen-fragmen bertumpuk mirip lukisan batuan.
Selain soal pencampuran warna, pelajaran yang paling diingat dari Arie adalah untuk menjadi pelukis harus mampu menuangkan apa saja yang ada dalam pikiran dan khayalan.
”Saya terbiasa melihat upacara adat, pemandangan di sawah, orang mencangkul, ada capung, matahari tenggelam. Pagi melihat matahari terbit. Jadinya lukisannya seperti ini,” ujar Soki sambil menunjukkan lukisan berjudul ”Potong Padi” berukuran 200 cm x 125 cm.
Dari keluarga miskin
Ketika masih belajar dengan Arie, Soki diberi selembar kertas dan diminta menggambar yang lalu diwarnai. Saat lukisan itu rampung, Arie memberinya sejumlah uang. Uang itu sangat besar jumlahnya bagi Soki yang hanya anak seorang petani miskin.
Dia menggambarkan kemiskinan itu dengan hanya memiliki satu potong celana, tanpa baju. Jika pulang sekolah hujan deras dan celana itu basah, keesokan harinya dia terpaksa sekolah memakai selimut sebagai pengganti celana.
Sejak bisa melukis itu, Soki tak hanya punya uang jajan, tetapi juga bisa membantu orangtuanya. Lewat melukis ini pulalah ia mengantar anak-anaknya mengenyam pendidikan perguruan tinggi.
Soki menikah dua kali. Dari istri pertamanya, Wayan Repen, dia dikaruniai lima anak, sementara dari istri keduanya mendapat dua anak. Anaknya ada yang sarjana ekonomi, lulusan farmasi, bahkan dokter gigi. ”Jasa Arie Smith tidak bisa saya bilang. Saya bisa begini karena dia. Saya memang punya bakat, tetapi tidak akan bisa melukis tanpa Arie,” begitu pelukis itu menggambarkan gurunya.
Secara tidak langsung, Soki menangkap ajaran Arie untuk membantu orang lain. Sikap inilah yang kemudian dia terapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga bersedia membeli lukisan tetangganya atau menjual lukisan dengan harga semampu pembeli. Dia juga mengajari beberapa anak untuk melukis. Salah satunya adalah Made Rita, yang masih terbilang keluarga.
”Lebih enak punya banyak teman daripada punya banyak uang tetapi tidak punya teman, he-he-he,” katanya.
Soki melukis demi darma, demi berbuat baik untuk sesama manusia.