”Perjalanan hidup manusia tidak ada seorang pun yang tahu karena itu merupakan rahasia Tuhan. Saya tidak pernah membayangkan terdampar di Hongkong sampai 27 tahun,” ujar Wahyudi Chandra yang akrab dipanggil Acin, akhir April lalu, saat ngobrol di Rumah Makan Chandra miliknya di Keswick Street, Causeway Bay, yang berhadapan dengan Kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hongkong.
Keberhasilan Acin tidak diraih secara instan. ”Di Lombok, saya bantu usaha orangtua, tetapi bangkrut,” ujarnya. Kemudian, tahun 1990, dia mencoba memulai hidup baru dengan bekerja ke Hongkong secara resmi. Dia membantu usaha restoran milik kakak perempuannya, Asiu Ferry Susanto, di Lockhart Road. Saat libur kerja sebagai tukang sapu dan pelayan restoran, Acin mencari penghasilan tambahan dengan berjualan koran— di antaranya tabloid Nova--selain berdagang nasi kotak menu khas Indonesia.
Dengan gerobak dorong, Acin membawa nasi kotak dari rumah majikan ke Victory Park, kawasan Causeway Bay, menyasar konsumen para pekerja migran Indonesia yang berlibur di taman itu setiap hari Minggu. Di taman yang selalu dipenuhi pekerja dari Indonesia itu, dagangannya laris terjual, apalagi saat itu Acin tidak punya pesaing.
”Saya pernah membawa 1.000 kotak nasi, habis terjual, kan tidak ada saingan waktu itu. Upah saya dihitung dari per nasi kotak yang laku, cuma jumlahnya berapa saya lupa,” ujarnya. Dari berjualan nasi bungkus dan produk-produk Indonesia lainnya selama enam tahun, Acin sering kali diminta bantuan oleh para pekerja migran Indonesia untuk mengirim uang kepada keluarganya di Tanah Air. ”Untuk pengiriman itu, saya tidak menerima upah satu sen pun,” ucapnya.
Kucing-kucingan
Hanya saja, dalam berjualan dan mengirim uang itu, Acin harus main kucing-kucingan dengan petugas karena statusnya sebagai pekerja di Hongkong. Padahal, Pemerintah Hongkong hanya menerima perempuan migran yang bekerja dan mendapat upah dari majikan. Sementara mendatangkan pekerja laki-laki ada syaratnya. Majikan pekerja laki-laki harus mengajukan permohonan kepada pihak imigrasi, dilengkapi jenis pekerjaan yang ditangani serta kualifikasi pendidikan dan keterampilan.
Aktivitas Acin akhirnya ”tercium” petugas karena dia mengantongi izin sebagai pekerja, bukan pebisnis. Acin pun mendapat ”sanksi” hanya boleh tinggal di Hongkong selama tiga hari. Namun, pada saat ada kesempatan tinggal itu, Acin tetap melayani pengiriman uang. Caranya, uang itu dibawa dari Hongkong, lalu diserahkan ke alamat tujuan di Lombok.
Serah terima uang dari pengirim dari BMI dilakukan di ”tempat aman”, seperti di bawah jalan layang ataupun di kolong jembatan di Hongkong. Namun, lagi-lagi kegiatan Acin pergi-pulang Lombok-Hongkong juga menimbulkan kecurigaan petugas. Acap kali pula lelaki itu harus keluar-masuk sel pihak imigrasi Hongkong karena masa tinggalnya lebih dari tiga hari.
”File saya sudah dihapus oleh imigrasi Hongkong. Izin tinggal saya juga ditolak Gubernur Hongkong,” ungkap Acin yang tinggal di kawasan bisnis Causeway Bay. Kendati dibelit persoalan, dia tetap mengendalikan usaha pengiriman uang dari Lombok, sedangkan urusan di Hongkong ditangani istrinya, Bekti Dwi Wahyuni, mantan pekerja migran.
Upaya mendapatkan izin tinggal dari Pemerintah Hongkong tetap dilakukan. Atas saran penasihat hukum, Acin menyurati Gubernur Hongkong yang berisi adanya diskriminasi terhadap orang yang ingin berinvestasi, tetapi Pemerintah Hongkong malah menolaknya.
Melebarkan usaha
Pemerintah Hongkong baru mengabulkan permohonan Acin tahun 1996 dengan memberikan izin usaha dan kartu tanda penduduk (KTP) sementara negeri itu. Ia kemudian mengubah visanya dari buruh migran Indonesia menjadi pebisnis. Tahun 2007, ia mengantongi izin tinggal tetap (permanent residency).
Setelah menjadi ”pendatang resmi”, Acin bersama istrinya membangun dan melebarkan sayap usahanya. Saat ini, bisnisnya merambah ke berbagai bidang dan mempekerjakan 100 orang yang meliputi pekerja lokal Hongkong dan pekerja migran Indonesia. Mereka bekerja di 28 toko yang menjual makanan-minuman produk Indonesia miliknya, tempat penukaran uang, serta kantor cabang jasa Money Changer, kantor jasa pengiriman. Bisnisnya tersebar di wilayah Kowloon, Kepulauan Hongkong, dan di Hongkong New Teritory.
Tidak itu saja, Acin juga membuka biro perjalanan wisata yang menjual jasa perjalanan ke obyek-obyek wisata di Indonesia, khususnya di Lombok dan Sumbawa. ”Gunung Rinjani jadi sasaran wisatawan Hongkong dan China ke Lombok,” katanya. Kemudian, dia juga membuka dua rumah makan Chandra di Sugar Street dan Keswick Street yang menyediakan kuliner khas Nusantara.
Warung itu, selain diramaikan oleh para pekerja Indonesia yang mendapat jatah istirahat kerja hari Minggu, juga dikunjungi oleh warga Hongkong yang ingin mencicipi masakan khas Indonesia. Bahkan, pada saat ramai, pengunjung harus rela antre untuk bisa masuk memesan dan menyantap makanan di warung itu.
Tiap kali ada kesempatan, Acin menyempatkan diri ngobrol dengan para pekerja migran Indonesia yang mampir di toko dan warung makannya. Langkah itu dimaksudkannya untuk memberikan motivasi dan semangat, dengan menceritakan kisah pengalaman hidup yang begitu berat, dari menjadi pelayan restoran, berkali-kali masuk penjara, sampai hampir ”diharamkan” masuk Hongkong.
Kepedulian terhadap sesama pekerja migran asal Tanah Air diwujudkannya dengan mendirikan balai latihan kerja bagi mereka, di Hongkong. Tujuannya, ketika masa kontrak kerja habis, mereka mampu memanfaatkan upah untuk kegiatan usaha di Tanah Air. Acin juga ikut membidani lahirnya tabloid dua mingguan Apa Kabar, yang terbit dalam edisi cetak ataupun dalam jaringan (daring). Tabloid berbahasa Indonesia ini menjadi media informasi dan sambung rasa antar-orang-orang Indonesia di Hongkong.
Meskipun berhasil membangun bisnisnya, Acin tidak ”lupa kacang akan kulitnya”. ”Saya ini TKI (tenaga kerja Indonesia), pernah menjadi pelayan restoran dan jualan nasi kotak pula. Makanya, bisnis lain jalan, usaha rumah makan juga jalan, guna membantu teman sesama TKI yang rindu masakan kampungnya,” katanya.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.