Kesabaran Si Ratu Kue
Telepon genggam Ina tak berhenti berdering saat ditemui di Restoran De Tuik Resto and Resort, Kota Bandung, Jawa Barat, awal Mei lalu. Beberapa pembicaraan singkat dilakoni silih berganti di restoran berlatar belakang dataran tinggi Bandung, miliknya itu. ”Sebentar ya, obrolannya dipotong. Saya menyiapkan dulu beberapa kegiatan sosial dan pengajian,” ujar Ina ramah.
Asisten pribadi Ina, Santi, lantas mengisi kekosongan dengan sedikit penjelasan. ”Bu Ina itu sangat aktif. Selain jadi ratu kue kering, mungkin dia juga ratu kegiatan sosial.”
Pada 2014, ia mendirikan Sekolah Pelangi. Itu adalah sekolah gratis bagi anak-anak autis yang ada di Bandung. Pendirian sekolah itu diinspirasi oleh kisah hidup Rina, anak tetangga Ina. ”Karena autis, Rina seperti terasing dari keluarga dan lingkungan sekitarnya. Dia suka berteriak dan menggigit siapa saja. Orangtuanya bekerja sebagai petani dengan penghasilan minim. Mereka tidak tahu bagaimana merawat Rina,” kata Ina.
Saat ini, ada 15 anak autis berusia delapan tahun ke atas yang sekolah di Sekolah Pelangi. Bukan hanya jadi penyandang dana, di waktu luangnya, Ina turun langsung memberikan pelajaran sederhana tentang pendidikan agama dan wirausaha. ”Momen terbaik selama sekolah ini berdiri adalah saat Rina akhirnya memanggil saya ibu dengan emosi yang lebih tenang. Jauh berbeda saat pertama kali saya mengenal dia. Dia jadi inspirasi saya terus melanjutkan karya ini.”
Jejak kegiatan sosial Ina lainnya terlihat di banyak tempat. Rabu (17/5), ia sukses menggelar pernikahan massal 14 pasangan tunanetra di acara Mimbar Hiburan Amal Bagi dan Duafa 2017 di Bandung. Sejak lama, ia ingin berkontribusi membangun rumah tangga sakinah bagi para difabel. Pernikahan massal itu disaksikan sekitar 1.000 penyandang tunanetra yang diundang.
Dana untuk kegiatan sosial Ina diambil dari keuntungan bisnis kue kering yang ia bangun dengan susah payah selama bertahun-tahun. Ia menceritakannya secara runut.
Ratu kue kering
Ina tak pernah membayangkan akan menekuni bisnis kue kering. Lulus dari Jurusan Bahasa Jepang Akademi Bahasa Asing pada 1985, Ina bekerja di salah satu perusahaan mobil asal Jepang. Dua tahun kemudian, ia mengundurkan diri dari pekerjaannya karena mesti menemani suami yang bertugas di Aceh.
Di ”Tanah Serambi Mekkah” itu, ia lebih banyak berperan sebagai ibu rumah tangga. Baru pada 1990, saat pindah ke Cirebon, Jawa Barat, ia berkenalan dengan dunia kue. Ia tak langsung menjadi pembuat kue, tetapi menjadi pemasok jahe untuk kue. Pelanggan utamanya adalah produsen kue jahe di Jepang. Untuk melayani permintaan pasar, ia menanam jahe di kebun seluas 13 hektar dengan 500 pekerja.
Namun, usia bisnis itu ternyata tidak lama. Usahanya kandas setahun kemudian karena pelanggan utamanya menghentikan kerja sama. Mereka beralih membeli jahe ke petani di Thailand dengan alasan ongkos pengirimannya dari ”Negeri Gajah Putih” ke Jepang lebih murah.
Akibat penghentian kerja sama itu, Ina merugi puluhan juta rupiah. Para pekerja kebun jahe pun kehilangan pekerjaan. Akan tetapi, Ina tak menyerah. Kegagalan justru melecut semangatnya untuk bangkit. Beragam peluang ia kerjakan mulai berjualan tomat di pinggir Lapangan Gasibu, Bandung. Hasilnya tidak banyak. Sering kali sehari ia hanya mampu menjual 5 kilogram.
Karena hasilnya kurang memuaskan, ia mencoba jualan beras. Bisnis ini pun tak berlangsung lama lantaran ia tertipu pelanggan. Selain itu, banyak piutang kepada konsumen yang tak bisa ia tagih. ”Saya hanya bisa sabar dan berdoa, Allah kelak pasti memberikan jalan,” kenang Ina.
Tahun 1992, pintu untuk memulai bisnis baru mulai terbuka lagi. Ia ditawari kakak iparnya untuk belajar membuat kue kering. Lantaran hobi memasak, ia segera menguasai teknik membuat aneka kue kering, di antaranya kastengel, nastar, putri salju, cokelat mede, dan cornflake putih.
Selanjutnya, ia mulai memberanikan diri menjual kue kering buatannya. Dalam keadaan mengandung anak kedua, ia jajakan kue kering buatannya dari rumah ke rumah. Awalnya ia diejek oleh tetangga. ”Mereka bilang, eksportir jahe gajah ke Jepang sekarang jadi pedagang keliling kue kering,” kenang Ina.
Ina tidak mau menyerah. Kata itu tak ada dalam kamus hidupnya. Ejekan dan cemoohan tetangga malah memicu semangatnya untuk membuktikan ia mampu. Kreativitasnya juga meningkat. Salah satunya membuat kue beraneka warna yang sukses memikat pelanggan.
Dia memberikan nama pada setiap kue buatannya. Ia mencontohkan ”Putri Unik” untuk kue nastar berbahan ketan hitam. Kue teranyar ia beri nama ”Putri Moana” yang diambil dari karakter film animasi yang beberapa bulan lalu di putar di banyak bioskop. ”Inovasi itu jadi daya tawar yang menarik bagi anak-anak maupun orangtuanya,” ujar Ina.
Setelah melewati berbagai cobaan seperti tertipu dan nyaris bangkrut, usaha kue kering Ina akhirnya berkibar. ”Manis atau pahit pengalaman hidup membuat saya lebih kuat,” ujarnya.
Saat ini, ia memproduksi 145 jenis kue kering yang dijual ke 18 kota. Dari situ, ia merambah bisnis restoran, toko kue, dan kafe. Bisnis Ina melibatkan sekitar 1.000 karyawan. Keberhasilannya membuat Ina dijuluki ”Ratu Kue Kering”.
Setelah bisnisnya berkibar, Ina tak lupa berbagi. Ia memberangkatkan karyawannya untuk umrah secara rutin dan rajin menggelar berbagai kegiatan sosial. Ia mendapat julukan baru dari orang-orang dekatnya: ”Ratu Kegiatan Sosial”. ”Kita hidup harus bermanfaat bagi banyak orang. Bagi saya, hidup jangan hanya berbisnis, tapi bersyukur kepada Allah.”
”Moto hidup saya adalah ’jus koki’. Hidup itu harus jujur, ulet, sabar, komunikatif, optimistis, berkomitmen, dan ikhlas. Itu akan terus saya jaga karena semuanya adalah kunci kesuksesan saya,” katanya.