Pandai Menabung Sampah
Rumah berdinding anyaman bambu berukuran sekitar 8 meter x 10 meter milik Diah Wuryaningtyas di Desa Jegu, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, empat tahun terakhir dimanfaatkan menjadi Bank Sampah Hidup Maju milik warga yang tergabung dalam program keluarga harapan desa setempat.
Hidup Maju merupakan bank sampah terbesar di antara bank-bank sampah lain di 11 desa yang ada di Kecamatan Sutojayan. Bank sampah lainnya dengan ukuran lebih kecil ada di Desa Bacem, Sumberejo, Sukorejo, Jengglong, Kaulon, Kembangarum, Kalipang, dan Kedongbunder.
Bank Sampah Hidup Maju tidak saja menampung, tetapi juga memilah sampah. Bagian sampah yang masih bisa dimanfaatkan kembali dipisahkan untuk bahan baku kerajinan tangan, seperti piring, kotak tisu, dan keranjang. Sampah kering yang tidak bisa diolah warga, tetapi punya nilai dijual ke pengepul.
Hanya sampah kering yang bisa disetor ke bank sampah. Sampah basah, seperti sisa makanan, diolah oleh warga menjadi kompos. Namun, baru satu desa, yakni Sumberejo, yang mengolah sampah basah menjadi kompos.
Setiap Sabtu, warga berbondong-bondong ke Bank Sampah Hidup Maju untuk menyetor sampah. Setelah dikumpulkan satu bulan, sampah setoran warga bisa mencapai satu bak pikap senilai Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta.
Uang hasil penjualan sampah langsung masuk ke rekening masing-masing warga sesuai dengan volume dan jenis sampah yang mereka setor. Satu kilogram sampah plastik bekas kemasan minuman, misalnya, dihargai Rp 1.600 sampai Rp 1.800.
Motor penggerak
Di balik antusiasme warga untuk ”menambang” uang dari sampah, ada sosok seorang perempuan bernama Farida Masrurin. Awalnya, ia adalah seorang pendamping program keluarga harapan tingkat kecamatan. Untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, pada 2013 ia mengajak warga mengelola sampah, kemudian menggunakan uang hasil pengelolaan sampah untuk ditabung.
Akan tetapi, ajakannya tidak begitu saja disambut warga. Warga enggan mengelola sampah karena menganggap sampah benda kotor dan tidak punya manfaat. Selain itu, uang hasil penjualan sampah terlalu kecil.
Farida tidak menyerah. Selama tiga tahun ia bergerilya. Hasilnya, sedikit demi sedikit warga tertarik mengelola sampah untuk menghasilkan uang. Mereka menabungkan uangnya secara konvensional yang tidak melibatkan bank. Farida tinggal mencatatnya.
Pada 2016, ketika program Laku Pandai diluncurkan, Farida bergabung dengan Bank BTPN sebagai agen Laku Pandai. Ia lantas mengalihkan tabungan peserta bank sampah yang ia prakarsai ke rekening bank dengan sistem Laku Pandai.
Ada sejumlah keuntungan yang diperoleh warga ketika menabung dengan sistem Laku Pandai. Pertama, besar setoran tabungan tidak dibatasi. Bisa Rp 1.000-Rp 2.000. Berapa pun mereka setor langsung masuk ke rekening. Kedua, warga tidak perlu datang ke bank. Orang desa yang biasanya enggan berhadapan dengan teller pun akhirnya bisa menabung. Ketiga, mereka bisa mengontrol tabungan langsung dari telepon seluler masing-masing tanpa terhalang waktu dan bisa mencairkannya setiap saat.
Farida saat ini memiliki 1.450 nasabah. Mereka terdiri dari berbagai kalangan mulai dari ibu rumah tangga, petani, pedagang, bidan, dosen, mantri puskesmas, hingga istri polisi, dan kepala desa. Sayangnya belum semua nasabah Farida rutin menabung dari uang pengelolaan sampah tiap minggu. Ada yang hanya menabung beberapa minggu sekali. Jumlah total tabungan semua nasabahnya baru mencapai sekitar Rp 20 juta setahun. Artinya, tabungan rata-rata nasabah baru Rp 13.800-an.
”Biasanya tabungan itu diambil menjelang Lebaran atau setelah uang itu terkumpul cukup banyak. Ada yang Rp 200.000, Rp 300.000, sampai Rp 600.000 per orang. Kalau diambil setiap saat, nilainya masih kecil lantaran nilai setoran yang kecil juga,” tutur ibu satu anak ini. Meskipun nilainya kecil, warga desa, yang tadinya tidak punya tabungan, sekarang punya.
Awalnya warga memang agak kaget saat pertama kali menjadi nasabah Laku Pandai. Maklum, banyak di antara mereka belum akrab dengan gawai. Ada pula warga yang terpaksa pinjam telepon seluler milik anak sehingga cukup kerepotan saat ingin bertransaksi.
Namun, dengan gerilya ke desa-desa dan sosialisasi tentang pentingnya manajemen keuangan keluarga, termasuk menabung, upaya Farida akhirnya membuahkan hasil. Farida sendiri merasa terbantu dengan program Laku Pandai lantaran memberikan banyak kemudahan, termasuk di dalamnya tidak ada biaya administrasi dari transaksi yang dilakukan.
Menurut Farida, kegiatan menabung sampah yang ia prakarsai bersinergi dengan kegiatan lain yang ia lakukan. Selain menjadi pendamping program keluarga harapan, ia juga aktif di organisasi Fatayat Nahdlatul Ulama dan Sekretaris Perempuan Indonesia Blitar.
”Dalam organisasi Fatayat Nahdlatul Ulama ini, kan, ada kegiatan bulanan. Kalau kegiatan di Fatayat bisa disinkronkan dengan kegiatan lain, maka saya sinkronkan. Misalnya, mengenai pendapatan keluarga. Sampah juga erat dengan pendapatan keluarga, kan,” ucapnya.
Farida juga menjabat Sekretaris Cabang Koalisi Perempuan Blitar. Melalui lembaga ini, Farida berusaha ikut mengadvokasi hak-hak perempuan, mengatasi kekerasan dalam rumah tangga, termasuk di dalamnya kekerasan dan pelecehan seksual. Menurut Farida, permasalahan perempuan di Blitar hampir sama dengan daerah lain.