Penjaga Nilai Budaya Ende
Menemui Amatus Peta (57) cukup sulit, terutama di luar jam dinas kantor. Dia jarang berada di kediaman karena selalu berkeliling ke seantero Kota Ende, Nusa Tenggara Timur, terutama pada sore hari, hari libur, Sabtu, dan Minggu untuk menghadiri urun rembuk soal mas kawin atau mahar.
Warga yang ingin mengundangnya untuk menghadiri urun rembuk mahar mesti menyesuaikan diri dengan waktu senggang Peta. ”Padahal, saya bukan satu-satunya orang yang memahami adat dan tradisi Ende, masih ada tiga-empat orang lainnya. Namun, mengapa saya selalu diminta warga untuk hadir saat membahas mahar meski hubungan keluarga antara saya dan pihak calon pengantin sangat jauh?” katanya heran.
”Soal ini, warga Ende sendirilah yang menjawab,” kata Peta saat ditemui di rumah salah satu calon pengantin di Ende, Sabtu (22/7).
Sebagai sesepuh adat, dengan pemahaman adat yang dalam, jasa Peta sangat dibutuhkan warga. Sebuah keputusan adat belum menjadi keputusan tetap dan mengikat sebelum Peta hadir dan memberi pertimbangan.
Ia selalu mengutamakan nilai adat dalam situasi persaudaraan guna menghasilkan kesepakatan bersama. Yang jelas, katanya, mahar tidak boleh membebani salah satu pihak.
Peta bercerita, saat pembicaraan awal, pihak keluarga wanita biasanya selalu meminta mahar dengan nilai tinggi, seperti uang ratusan juta rupiah, kerbau puluhan ekor, sarung, dan baju adat puluhan lembar. Terkadang keluarga orangtua calon pengantin pria menolak permintaan mahar yang terlalu tinggi karena membebani mereka dan calon pengantin yang hendak menikah.
Ketegangan saat memutuskan mahar pun kerap terjadi. Ketika itulah Peta memainkan perannya. Ia berusaha mengarahkan kedua pihak membuat kesepakatan yang bisa diterima. Dengan tutur dan bahasa adat ”dalam”, Peta selalu berhasil membuat kedua pihak merasa terwakili kepentingannya. Semua emosi dan nafsu untuk menekan lawan bicara agar menyetujui semua keinginan orangtua calon pengantin wanita mendadak pudar.
”Saya berbicara tidak membela salah satu pihak, tetapi memaparkan masa depan kedua calon pengantin, adat perkawinan yang diwariskan leluhur, dampak pelanggaran adat bagi kedua calon pengantin, dan pernikahan di tempat ibadah. Dengan cara ini, pihak keluarga calon pengantin wanita yang tadinya bersitegang dengan tuntutannya bisa melunak,” kata Peta.
Dalam pembahasan adat, demi gengsi dan nama besar keluarga calon pengantin wanita, pihak keluarga calon pengantin pria harus menghormati, mengakui, dan menuruti apa yang dikehendaki keluarga wanita. Itu tuntutan adat selama proses pembahasan. Saat itu diyakini, para leluhur dari keluarga wanita ikut hadir, termasuk leluhur dari mama kandung calon pengantin wanita.
Pada umumnya permintaan pihak keluarga calon pengantin wanita selalu disetujui keluarga calon pengantin pria, entah berapa pun mas kawinnya. Namun, sebenarnya keluarga calon pengantin pria atau kedua mempelai di kemudian hari tidak menanggung semua mas kawin yang diminta. Paling keluarga calon pengantin pria hanya menyediakan mahar sesuai kemampuan dan diberikan beberapa hari sebelum pernikahan di rumah ibadah diselenggarakan.
Meski beban ”utang” mas kawin itu tak pernah tuntas dibayar pihak keluarga pengantin pria, tetapi selama perjalanan hidup keluarga itu, mereka harus tetap mengakui bahwa masih ada mas kawin atau mahar yang belum dilunasi. Dengan pengakuan itu, keluarga wanita puas dan tetap menganggap sebagai bagian dari keluarga.
”Ini soal adat. Belum lunas pun tetap dianggap sudah lunas oleh keluarga wanita. Saya yakinkan itu kepada semua pihak,” katanya.
Peta menyosialisasi soal mahar di tengah kemajuan dan pengaruh gaya hidup modernyang semakin mengaburkan nilai-nilai adat dan budaya lokal. Fungsi adat perkawinan ini, kata Peta, untuk memastikan masyarakat, terutama kaum muda, menjaga kehormatan, kesopanan, dan tingkah laku mereka.
”Mereka tidak melakukan hubungan seksual di luar nikah karena berdampak buruk. Mereka akan dikenakan denda adat, mahar semakin berat, serta nama baik keluarga besar tercemar secara sosial dan adat. Karena itu, adat seperti ini perlu dirawat dan ditanamkan kepada generasi muda,” katanya.
Merawat adat
Peta sehari-hari bekerja sebagai guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada SMA Katolik Suryadikara Ende. Ia mengaku tertarik dengan adat istiadat Ende lantaran sejak berusia empat tahun diajak ayahnya untuk mengikuti sejumlah ritual adat, belajar tarian adat, dan lagu-lagu daerah.
Pengalaman masa kecil itu masih tertanam sampai hari ini. Ia hafal keaslian budaya Ende, terutama soal perkawinan adat, tarian, dan lagu daerah, serta perilaku hidup menyangkut sopan santun dan kejujuran.
Jika ada acara yang menghadirkan tarian daerah secara kolosal, Peta pasti hadir sebagai pengarah dan pelatih. Tarian kolosal seperti gawe bisa melibatkan 1.000-5.000 penari. Tarian itu dibawakan dengan pakaian adat, yakni lawo (sarung) dan lambu (baju) untuk wanita dan pria. Selain itu, ada pula tarian oro woko, salah satu tarian untuk menyambut tamu terhormat.
Selain tarian, Peta juga merawat lagu-lagu daerah yang memiliki nilai adat dan budaya. Lagu-lagu itu sebagian ia buatkan album. Setidaknya ada dua album yang telah ia buat, yakni Ende Sare (1990) dan Mita Sare (1995). Kedua album itu berisikan lagu-lagu tentang cinta, keindahan alam, moral, nasihat, persatuan, dan pekerjaan.
Album Ende Sare biasa dibawa ke mana-mana oleh para transmigran dan tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Ende saat mereka merantau.
Peta yakin adat, budaya, tarian, dan musik lokal menjadi pemersatu warga Ende di mana pun mereka berada. Karena itu, meski warga Ende sangat heterogen, mereka bisa hidup rukun dan damai. Kondisi ini diperkuat dengan Ende sebagai ”Kota Pancasila”, di mana butir-butir Pancasila digali dan dilahirkan di kota itu.
”Sebagai guru mata pelajaran pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau dulu disebut Pendidikan Moral Pancasila, saya punya tugas menanamkan nilai-nilai adat dan budaya yang mempersatukan kepada generasi muda Ende. Nilai-nilai budaya tersebut mengkristal di dalam falsafah bangsa, yakni Pancasila,” kata Peta.